Nasional

Politik "P" Besar Selamatkan Negara

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 11/02/2024 10:37 WIB

Oleh Dr Alexande Jebadu (Dosen Institut Filsafat & Teknologi Kreatif Ledalero)

Opini, INDONEWS.ID - (Pengarang Buku Drakula Abad 21: Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali dan Ancamannya terhadap Sistem Economi Pancasila, 2020)

Penulis Opini Tempo 4 Februari 2024 yang berjudul "Dari Rektor Menuju Operator" menilai apa yang telah dilakukan Menteri Sekretaris Negara RI Pratikno sebagai hal yang tidak patut secara moral dan etika. Pratikno yang statusnya sebagai seorang akadmisi yang tetap melekat pada dirinya dan mantan Rektor UGM seharusnya berpolitik dengan “P” huruf besar atau berpolitik non-partisan. Tapi kenyataannya, ia berpolitik dengan “p” huruf kecil atau berpolitik partisan. Salahkah yang lakukan Pratikno?

Kategori politik dengan "P" huruf besar dan politik dengan "p" huruf kecil diperkenalkan antara lain oleh teolog Leo Boff dari Amerika Latin dalam bukunya Church Charism and Power/Gereja, Karisma dan Kuasa (1985).

Singkatnya, politik dengan "p" kecil adalah politik partisan di mana orang berjuang untuk mencapai kepentingan negara seturut agenda partai-partai politik. Agenda-agenda partai-partai politik bisa sempit karena utamakan kepentingan kelompok sendiri. Agendanya juga bisa luas yang meliputi perjungan untuk kepentingan umum semua orang sebagai satu bangsa dan negara.

Para pendukung politik partisan biasanya, atau mati atau hidup, akan mendukung agenda partai politik dukungannya, entah agendanya sempit atau agendanya luas. Mereka akan dukung mati-matian sambil tutup mata terhadap agenda-agenda lain di luar partai politik mereka.

Sedangkan politik dangan politik "P" besar adalah politik yang agendanya luas dan bisa melampaui agenda-agenda tertentu yang jangkauan tujuannya agak sempit yang diusung oleh partai-partai politik.

Politik dengan “P’ huruf besar adalah politik kebangsaan. Politik ini memperjuangkan kepentingan umum (common good) yang telah digariskan oleh konstitusi 1945, mengedepankan nilai-nilai agama dan budaya bangsa seperti yang dikristalkan ke dalam Falsafah Pancasila seperti persauaraan sebagai satu bangsa, keadilan, kebenaran, kepatuhan terhadap hukum, taat terhadap hukum, junjung tinggi hati nurani, etika dan moral serta mengkritik semua pelanggaran terhadapnya seperti korupsi, kolusi, kekerasan, dan nepotisme seperti yang Mahkamah Konstitusi dan Presiden Jokowi telah lakukan dalam rangka capres-cawapres tahun 2024 ini. Hakim Konstitusi Anwar Usman mengangkangi Undang-Undang Pemilu untuk meloloskan keponankan kandungnya sendiri dan anak kandung Presisden Jokowi, Gibran yang tidak memenuhi persyaratan usia, menjadi calon wakil presiden Indonesia.

Politik "P" besar ini yang disebut oleh Leo Boff sbg sebagai “politic luhur” (noble politic). Menurut ajaran sosial Gereja Katolik (Catholic Social Doctrine), politik dengan “P” huruf besar ini g diperankan kaum hirarkisnya seperti oleh paus, para uskup dan para pastor. Untuk konteks Indonesia, politik kaum akademisi di perguruan tinggi yang mengedepan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok berada pada ranah ini.

Lalu dalam rangka pemilu, khususnya dalam rangka menggunakan hak pilih pada hari pencoblosan, para pengusung politik "P" besar tatap memilih satu capress-cawapres atau parpol yang kira-kira mengakomodir nilai-nilai umum yang mereka perjuangkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan prinsip memilih capress-cawapres atau parpol yang “minus malum” (Latin) yang artinya keburukannya sangat sedikit.

Dalam satu situasi di mana semua capres-cawapres dan semua parpol atau semua sistem politik partisan yang sedang berjalan adalah buruk alias malum, maka orang yang berpolitik non- partisan alias orang yang berpolitik dengan "P" huruf besar tidak harus atau tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Karena menurut ajaran moral iman Katolik, saya tidak bisa memilih salah satu yg buruk dari semua yang buruk.

Contohnya adalah seperti yang terjadi pada tahun 1996. Pada waktu itu hanya ada tiga partai yang memenuhi persyaratan hukum untuk mengikuti kontestan pemilu yaitu Golkar, PDI dan PPP. Tapi diduga, diskenario oleh Pimpinan Rezim Orde Baru Presiden Suharto, PDI pecah dua sebelum pemilu berlangsung. Hasilnya PDI Suryadi yang diakui pemerintah diisinkan ikut pemilu dan PDI Megawati diblokir.

Warga minoritas termasuk umat Katolik sulit membuat pilihan politik. Mereka tidak bisa memilih Golkar karena sudah tidak suka Presiden Suharto yang sudah berkuasa 30 tahun. Mereka juga tidak bisa pilih PDI Suryadi karena dinilia cacat hokum sebagai hasil politik Suharto yang mulai terganggu dengan popularitas Megawati sebagai putri Sukarno. Sementara PDI pimpinan Megawati sudah berada di luar kotak pemilu.

Nah dalam konteks itulah Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menerbitkan Surat Gembala dalam Rangka Puasa Persiapan Paskah tahun 1996 yang salah satu poinnya sangat mengejutkan Presiden Suharto saat itu berbunyi kurang lebih demikian: "Kalau Anda sebagai warga negara saat ini, oleh kerena kebimbangan untuk menentukan pilihan politik, tidak bisa membuat pilihan politik, maka pilihan utk golput itu bukan dosa."

Saat ini, politik dengan “p” huruf kecil atau politik partisan telah membuat membuat Indonesia berada dipersimpangan jalan kembali. Politik yang tidak beretika sangat menodai kehidupan bernegara sebesar Indonesia di zaman modern ini. Suburuk-buruknya Rezim Orde Baru Suharto tapi barangkali tidak sejorok politik Rezim Presiden Jokowi saat ini. Gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia pada tahun 1998 tidak diawali oleh Seruan Moral dan Etika para Profesor dan dosen di pelbagai Perguruan Tinggi seperti yang terjadi saat ini dalam rangka Pemilu 2024.

Kehidupan bernegara bangsa Indonesia saat ini sudah sangat terpuruk. Indonesia akan keluar dari keterpurukan ini jika rezim Jokowi dan seluruh pengusung politik partisan bersedia mendengar suara moral para Profesor dan dosen dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia serta suara moral para pemimpin agama seperti Ulama, Pastor dan Pendeta. Mereka tidak sedang cari muka di ruang politik praktis seperti yang dimengerti salah oleh sejumlah orang. Mereka sedang berpolitik luhur (a noble politic) menyelamatkan negara dengan mengedepankan politik yang beretika, bersih, taat hukum dan junjung tinggi nilai-nilai suci Pancasila. ***

Artikel Terkait