Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Pesawat Mirage 2000-5 ke KPK

Oleh : very - Selasa, 13/02/2024 14:22 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) minta KPK mengusut pembelian Mirage 2000-5 dari Qatar. (Foto: Poskota.co.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan yang terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Imparsial, Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Centra Initiative, Setara Institute, HRWG, Lingkar Madani, dan KontraS menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat Mirage 2000-5, Selasa (13/20).

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, ada sejumlah problematika yang dipantau dari proses pengadaan pesawat Mirage 2000-5 dan patut untuk ditelusuri lebih lanjut oleh KPK.

Pertama, indikasi kemahalan harga saat merencanakan ingin melakukan pengadaan pesawat Mirage 2000-5.

Merujuk pada informasi resmi Kemenhan RI, nilai kontrak sebesar USD 66 juta per-unit untuk Mirage 2000-5 beserta beberapa item lain yang melekat.

“Harga beli Indonesia terhadap Mirage 2000-5 sesuai kontrak tersebut jauh lebih mahal daripada harga beli pesawat yang ada di kisaran USD 30 juta, di beberapa sumber lain menyebutkan bahwa harga pesawat itu adalah USD 23 juta. Namun harga ini belum memperhitungkan biaya jangka panjang yang terkait dengan biaya pemeliharaan, pelatihan, dan operasional,” ujar Koalisi mengutip laporan https://aerocorner.com/aircraft/dassault-mirage-2000-5mk2/.

Koalisi mengatakan, pembelian jet tempur Mirage 2000-5 bekas pemakaian Angkatan Udara Qatar mencapai 27 tahun dengan harga yang mencapai dua kali lipat harga beli tersebut harus dipertimbangkan bahwa nilai ekonomis Mirage 2000-5 sudah turun bahkan habis. Jika Indonesia membeli 12 unit pesawat tersebut, maka akan ada kelebihan harga sebesar:

 

Kedua, pembelian pesawat Mirage 2000-5 oleh Indonesia patut diduga melanggar UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam pasal 43 ayat (3) UU a quo disebutkan: Dalam hal alat peralatan pertahanan dan keamanan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh industri pertahanan, pengguna dan industri pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar pemerintah atau kepada pabrikan.

Merujuk kepada pasal diatas, menurut Koalisi, hanya ada dua mekanisme dimana Kementerian Pertahanan dapat melakukan pembelian alutsista dari luar negeri.

Pertama, skema Government to Government (G to G). Skema ini dianggap lebih baik karena pembeli, dalam hal ini Pemerintah Indonesia tidak perlu membayar biaya success fee kepada broker.

Dalam kasus Mirage 2000-5, nilai success fee dapat berkisar antara 10-15% dari nilai kontrak mengingat adanya beberapa pihak yang terlibat dalam mengatur pembelian tersebut.

Di samping itu, jika melalui skema antar-pemerintah, Indonesia juga diuntungkan karena mendapatkan jaminan fasilitas pembiayaan yang lebih murah dan terjangkau. Semisal ketika Indonesia ditawari oleh Pemerintah Rusia dalam pembelian pesawat Sukhoi, dibarengi dengan pinjaman luar negeri dengan bunga lunak, bukan bunga pasar.

Kedua, skema pembelian langsung dengan pabrikan atau pembuat pesawat. Hal ini juga memangkas mata rantai pengadaan karena pabrikan yang ada di berbagai negara merupakan industri yang secara langsung disokong oleh pemerintah. Misalnya Dassault Aviation yang disokong oleh Pemerintah Perancis, Rosoboronexport yang disokong Pemerintah Rusia, termasuk Boeing yang didukung Pemerintah Amerika Serikat.

“Oleh karena itu, dapat dikatakan pembelian Mirage 2000-5 oleh Kemenhan patut diduga melanggar UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan,” ujar Koalisi.

Hal ketiga yang patut ditelusuri KPK adalah adanya indikasi penerimaan suap oleh pejabat di Kementerian Pertahanan. Berita terbaru yang disebarluaskan oleh msn.com, sebuah portal web news aggregator (pengumpul berita) berafiliasi dengan Microsoft. Dalam laman yang pada saat laporan ini ditulis, telah mengalami penapisan (DNS filtering), disebutkan adanya proses penyelidikan oleh Badan Antikorupsi Uni Eropa (GRECO) terhadap kontrak pembelian pesawat Mirage 2000-5 bekas antara Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan dengan Pemerintah Qatar.

Pemberitaan msn.com juga menyebutkan indikasi pemberian kick-back sebesar 7% dari total kontrak, yakni sebesar USD 55,4 juta yang digunakan untuk pendanaan kampanye presiden pada Pilpres 2024.

Adanya kick-back yang sangat fantastis sebesar USD 55,4 juta atau hampir Rp 900 Miliar untuk pendanaan kampanye tersebut bukan hanya berarti adanya dugaan korupsi suap, tetapi juga dugaan pelanggaran Pemilu dalam konteks Pidana.

Disamping bukti telegram dari GRECO EU ke Kedutaan AS di Indonesia terkait dengan penyelidikan dugaan suap pembelian Mirage 2000-5 oleh Indonesia, terdapat bukti rekaman pembicaraan yang diduga antara seorang pejabat di Kementerian Pertahanan dengan pihak lain yang berkaitan dengan indikasi kesepakatan kick-back.

Karena itu, Koalisi mendeska KPK RI untuk segera melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan terkait dengan pengadaan pesawat Mirage 2000-5.

Kedua, Koalisi juga mendesak KPK untuk membangun komunikasi dan kerja sama dengan badan-badan anti korupsi internasional, khususnya The Group of States Against Corruption (GRECO) guna mengusut tuntas dugaan perkara ini.

“Sebab, sejumlah perkara korupsi yang pernah ditangani oleh KPK dapat diproses lebih lanjut karena adanya kerjasama internasional yang baik,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait