Oleh: Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D.*)
Jakarta, INDONEWS.ID - Tekad Indonesia untuk mencapai Indonesia Maju di tahun 2035 serta Indonesia Emas di tahun 2045 bukanlah hal yang mustahil; mengingat sejumlah kebijakan Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo telah mengawalinya lewat sejumlah pembangunan infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Pembangunan tersebut meliputi pembangunan jalan tol maupun jalan provinsi, serta 44 bendungan pada sejumlah sungai berikut sistem irigasi airnya untuk mengairi jutaan hektar sawah tradisional yang selama ini sudah ada, serta pembukaan lahan sawah baru yang akan diolah secara mekanisasi pertanian modern.
Proyek hilirisasi atas sejumlah hasil penambangan yang sebelumnya memberikan pemasukan lewat pajak ekspor yang rendah, kini telah meningkat berkali lipat.
Semua hal tadi telah memperkuat fondasi perekonomian Indonesia; sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya inflasi serta naiknya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah kebijakan semi-lockdown oleh Indonesia, yang sempat diprotes keras oleh sejumlah negara di awal pandemi Cofid-19 tahun 2020 yang lalu. Kebijakan tersebut terbukti telah berhasil mengantar Indonesia dalam mempertahankan aktifitas ekonominya selama pandemi.
Ketika itu Pemerintah telah memborong vaksin buatan RRC, di saat banyak negara memilih antre untuk membeli vaksin buatan perusahaan-perusahaan farmasi terkenal.
Pembangunan Infrastruktur Transportasi dan Smelter untuk Memperkokoh Ekonomi Nasional.
Program pembangunan infrastruktur jalan dan pembukaan smelter yang mengolah bahan mentah menjadi bahan dasar bagi sektor industri telah terbukti dengan meningkatnya roda ekonomi serta lapangan kerja baru bagi ratusan ribu hingga jutaan orang.
Aktivitas UMKM di provinsi-provinsi semakin meningkat karena terbangunnya infrastruktur transportasi tersebut. Di samping infrastruktur jalan, juga telah dibangun pelabuhan dan bandar udara disertai perpanjangan runway-nya agar dapat didarati oleh pesawat udara berukuran besar.
Bagian pesisir utara Jakarta mengalami penurunan permukaan tanahnya sebesar 10-25 centimeter per tahun. Di samping itu, juga terjadi kenaikan permukaan laut karena es mencair di kedua kutub akibat pemanasan global. Dengan demikian, kota ini akan berisiko jika dipertahankan sebagai ibu kota negara, yang juga sebagai pusat perdagangan nasional.
Seluruh kebijakan pembangunan yang telah berlangsung selama 10 tahun di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo perlu dilanjutkan, bahkan ditingkatkan lewat kebijakan-kebijakan baru oleh Bapak Prabowo Subianto selaku presiden terpilih.
Pembangunan nasional menuju Indonesia Baru, yang serentak dengan terjadinya Bonus Demografi, merupakan tugas berat yang akan dihadapi Bapak Prabowo dan kabinetnya.
Situasi yang berbarengan tersebut menuntut strategi yang tepat di sektor ekonomi, peningkatan gizi, dan kualitas pendidikan, demi menghasilkan SDM yang berkualitas.
Program “makan siang gratis” bagi pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah yang sudah dimulai dan akan berlanjut di masa kepemimpinan Bapak Prabowo, serta ketersediaan BBM/BBG dan energi listrik dengan harga yang terjangkau merupakan unsur penting dan vital dalam mendukung bonus demografi.
Indonesia Sangat Potensial dalam Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang dapat diolah menjadi energi listrik maupun bahan bakar bagi kendaraan bermotor. Sebagai negara yang memiliki puluhan gunung berapi aktif, Indonesia sangat strategis untuk membangun pembangkit listrik lewat pemanfaatan potensi “energi geothermal” dari gunung-gunung tersebut.
Demikian juga dengan “potensi laut” di wilayah negara kita lewat pemanfaatan daya dari “gelombang, arus laut, serta pasang-surut permukaan lautnya”. Laut-laut kita dengan kedalaman sekitar 200 meter dan berdekatan dengan pantai, sangat berpotensi sebagai sumber energi listrik lewat penggunaan teknologi Ocean Technology Energy Conversion (OTEC). Pasang-surut permukaan laut juga dapat dimanfaatkan lewat tidal power plants.
Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa sangatlah potensial dalam memanfaatkan energi matahari dan turunannya, y.i. pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), maupun energi panas matahari dan pembangkit listrik tenaga angin.
Uranium dan Thorium sebagai Bahan Bakar PLTN yang Langka dan Mahal
Monasit adalah mineral fosfat yang berwarna coklat kemerahan yang mengandung logam tanah jarang (RE) dari penambangan timah perlu diolah secara kimia untuk menghasilkan garam unsur Uranium (U), Thorium (Th), RE dan Fosfat.
Unsur garam RE mempunyai nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan lainnya, namun produk tersebut perlu memiliki kemurnian tinggi, serta bebas dari unsur radioaktif U, Th dan unsur pengotor lainnya seperti PO4, TiO2 dan lain sebagainya. Dengan demikian, unsur uranium sebetulnya merupakan produk sampingan dari proses pemurnian RE.
Uranium, sebagai bahan bakar nuklir jenis reaksi fisi, akan menjadi sangat mahal karena tergolong langka dan harus menjalani proses pemurnian dan pengayaan. Meskipun dalam jumlah sangat terbatas, unsur U dapat diperoleh, antara lain dari hasil penambangan timah di Bangka.
Menurut Badan Pengawas Tenaga Nuklir di Indonesia (Bapeten), tidak ada uranium di tambang emas Grasberg - Papua. Keterangan tersebut dibenarkan oleh Direktur Utama PT. Freeport Indonesia, Bapak Tony Wenas.
Maka dapat disimpulkan, bahwa PLTN tidak cocok untuk Indonesia karena kita harus mengimpor pellet-pellet uranium yang mahal dan dipastikan akan berujung pada kenaikan tarif listrik di negara kita.
Besarnya tarif listrik tersebut tentunya akan memperhitungkan dana yang akan dikeluarkan untuk menyimpan limbah pellet yang masih bersifat radioaktif selama lebih dari 50 tahun. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa akan banyak negara pengguna PLTN yang akan “menitipkan limbah nuklirnya untuk dibuang di laut-laut dalam Indonesia”, apabila Indonesia juga memiliki PLTN.
Sebuah PLTN yang telah mengakhiri fungsinya sebagai pembangkit listrik wajib menjalani tiga tahap pemrosesan, yaitu: Nuclear Decommissioning, Waste Management dan Environmental Site Remediation.
Ketiga tahap proses tersebut akan berlangsung lama dan mahal, dan biayanyapun akan dimasukkan ke dalam tarif listrik; meskipun PLTN tersebut telah berakhir pengoperasiannya.
PLTN bukan Pembangkit Listrik yang Aman dan Tanpa Risiko
Banyak negara maju yang telah membangkitkan energi listriknya lewat pemanfaatan teknologi nuklir. Penerapan teknologi nuklir sebagai pembangkit listrik telah dimulai pada 20 Desember 1951, namun semakin populer ketika terjadi “krisis minyak dunia” di awal tahun 1970-an.
Sejumlah negara di Eropa dan negara-negara di benua Amerika memanfaatkan teknologi tersebut sebagai energi alternatif untuk menghasilkan listrik, mengingat mereka tidak memiliki sumber energi lainnya.
Namun, pemanfaatan energi nuklir untuk memproduksi listrik ternyata bukan tanpa masalah, dan terbukti berisiko besar ketika kebocoran radioaktif; bahkan hingga meledak reaktornya.
Contohnya, antara lain tragedi PLTN Three Mile Island (AS, 28 Maret 1979), PLTN Chernobyl (Ukraina, 26 April 1986). PLTN Fukushima (Jepang, 12 Maret 2011) yang telah dirancang sebagai reaktor tahan gempa, ternyata meledak akibat diterjang gelombang tsunami (12 meter) yang ditimbulkan oleh gempa berkekuatan 9.0 SR. Proses pendinginan reaktor tersebut diperkirakan akan memakan waktu 30-40 tahun, karena kandungan radioaktif pada air limbah pendinginnya membutuhkan waktu lama sampai dianggap cukup aman untuk dibuang ke laut.
Disamping ketiga tragedi tersebut, juga telah muncul risiko besar dan berbahaya ketika terjadi pemalsuan sertifikasi 23 reaktor nuklir Korea Selatan (Koran Tempo, 8 November 2012). Skandal pemalsuan sertifikat tersebut jelas akan mengancam keselamatan penduduk Korea Selatan dan mengganggu ekspor negara tersebut yang bernilai miliaran dollar AS.
Uranium (U) dan Thorium (Th) bukan tergolong logam tanah jarang (RE), melainkan merupakan produk sampingan lewat proses pemisahannya dari RE.
Pembangunan PLTN di Indonesia tidak cocok bagi Indonesia karena Indonesia tidak kaya akan mineral uranium. Proses untuk mengolah bijih-bijih uranium dan pengayaannya hingga menjadi pellet uranium yang siap untuk menggerakkan reaktor nuklir secara reaksi fisi (pembelahan atom) memerlukan biaya yang besar dan mahal. Dan harga tersebut tidak sepadan dengan kemampuan daya beli masyarakat pelanggan listrik kita yang selama ini sudah terbiasa dan mampu membayar tarifnya karena dibangkitkan oleh PLTA, PLTU, PLTPB, PLTD, dan PLTS.
Penulis berharap, bahwa Bapak Prabowo dan kabinetnya akan mempertimbangkan risiko besar tersebut sebagai konsekuensi akan tingginya tarif listrik, mengingat mahalnya harga pellet tersebut. Apalagi kita sangat kaya akan sumber “energi hijau” yang jauh lebih murah dan aman, serta tersedia di Indonesia.
Indonesia bahkan mampu menjadi pelopor dalam pengembangan energi terbarukan di dunia. Semoga menjadi perhatian kita bersama.
*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D., adalah Guru Besar Sistem Daya Listrik dan Energi Terbarukan, dan mantan Rektor UKI (2000 sd 2004).