Opini

Tom Lembong dan Politik Belah Bambu

Oleh : luska - Minggu, 03/11/2024 10:31 WIB


Penulis : Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong sangat kental bernuansa politik belah bambu atau dalam perspektif hukum tebang pilih. Jika penegak hukum betul-betul ingin menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya, maka permainan izin impor komoditas pangan dan hortikultura tidak hanya terjadi pada era Thomas Lembong. Tentu saja, publik harus mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkapkan tindak pidana yang dilakukan mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus impor gula. Dan, publik pasti akan mendukung tindakan hukum oleh Kejagung terhadap berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara dan pemerintahan sebagaimana komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Namun begitu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar juga harus melakukan tindakan hukum yang sama atas penyalahgunaaan wewenang dalam menangani kebijakan importasi gula, beras, terigu, garam dan lain-lain tidak hanya diperiode 2015-2016. Semisal, soal pertanyaan salah seorang aggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka terkait jumlah impor garam yang cukup besar, mencapai 2,8 juta ton pada bulan April 2023. Kebijakan importasi garam ini berimbas pada terserapnya devisa Indonesia sejumlah Rp1,35 triliun atau senilai US$ 135,3 juta yang melonjak dibanding tahun 2022 yang hanya sejumlah US$124,4 juta. Kemana selisih harga importasi garam ini mengalirnya? Artinya, hal yang sama seharusnya juga dilakukan kepada para mantan Menteri Perdagangan serta pejabat terkait lainnya sebelum dan sesudah Thomas Lembong atas kebijakan importasi berbagai komoditas, termasuk minyak dan gas bumi (Migas) dengan jumlah dan volume lebih besar.

Sebab, merujuk pada data BPS, Indonesia mengimpor garam 2,8 juta ton pada 2021 nilainya lebih rendah dibanding tahun 2023. Apalagi, dengan masuknya garam impor mengabaikan perlindungan terhadap petani garam lokal yang semakin lemah. Seharusnya, Kementerian  Perdagangan melakukan berbagai perbaikan kebijakan untuk mengubah ketergantungan impor dan kesejahteraan petani berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian agar permasalahan petani garam di dalam negeri terselesaikan. Begitu juga halnya dengan komoditas pertanian dan hortikultura lainnya, seperti gula yang selalu diimpor ini. Bahkan, untuk impor migas kenaikan jumlah dan volumenya malah lebih dari dua (2) kali lipat dari tahun 2019-2023 dan pada bulan September 2024 telah mencapai US$26.742 juta atau senilai Rp421,186 triliun.

Salam,

Artikel Lainnya