Opini

Kota Palu & Geliat Maju

Oleh : luska - Senin, 13/01/2025 11:55 WIB


Oleh: Muhadam Labolo

Minggu, 12 Januari 2025, gubernur terpilih Dr. Anwar Hafid menginisiasi jalan santai bersama Alumni Pendidikan Pamong se Sulawesi Tengah di Palu. Ia Pamong senior mantan Bupati Morowali dan anggota DPR RI. Alumni APDN, IIP, STPDN dan IIP diundang hadir. Acaranya meriah, disambut Gubernur Sulteng Rusdi Mastura. 

Moment kali ini menarik, sebab sudah jarang alumni sekolah pamong kumpul berbarengan. Biasanya kumpul per angkatan, atau berdasarkan almamaternya masing-masing. Dari yang paling senior; APDN, IIP, STPDN, hingga IPDN. Semua di ajak kumpul di Lapangan Votulemo, depan Kantor Walikota Palu.

Kota Palu sudah ramai. Beda dengan 10 tahun lalu. Pusat keramaian dan ekonomi tumbuh dimana-mana. Subur pasca tsunami. Semua berbenah dan bergerak mengejar ketertinggalan dengan kota-kota lain sebagai Kota Global _(city for all)._ Palu terasa hidup dan mengejar keramaian Kota Medan, Bandung dan Makassar.

Saya pernah ke Banda Aceh. Kota itu berbenah cepat pasca di sapu tzunami. Ekonomi subur mulai Subuh hingga malam hari. Banyak kafe bisa di pilih, bahkan tak jauh dari pantai tempat musibah. Generasinya seakan melupakan, dan belajar menghadapi masa depan yang lebih baik. Mereka Generasi Milenial yang cuek dengan sekitarnya.

Lapangan sederhana di depan Kantor Walikota Palu di sulap jadi pusat keramaian. Dirangsang ekonomi yang berputar saban senggang mencapai 400-500 jt. Kata Kepala Bappeda Kota Palu dengan penuh optimisme. Arfan, Pamong, Purna Angkatan 03. Ia tentu penanggungjawab utama perencanaan kota. Tak lupa dilengkapi musholla cantik di pinggir lapangan.

Lapangan itu mungkin hanya salah satu dari pusat keramaian. Pak Wali punya visi untuk mengubah wajah Kota Palu sama seperti kota-kota maju lainnya. Di luar itu Ia menata trotoar agar lebih manusiawi bagi pejalan kaki. Jalan diperlebar kanan kiri. Dihias bongkahan batu bulat berjejer kokoh, tak kalah dengan trotoar Kota Bandung.

Sepuluh tahun lalu lapangan kecil itu mungkin sama dengan kisah Jembatan Ancol, tempat jin buang anak. Sepi, gelap, berdebu, tertutup pohon, serta tak layak di sebut taman. Kini, warga bisa menikmati hingga pagi dengan temaram lampu, kafe, dan hiburan lokal yang hampir tak pernah tidur. Saya kagum setelah lama tak perhatikan.

Kali ini lapangan dipenuhi Drumband Gita Abdi Praja IPDN Makassar. Suaranya menarik anak muda hingga berkerumun. Sejak kemaren sore lapangan itu sesak oleh masyarakat pencari hiburan. Disisi lain kelas menengah memenuhi kafe, restoran, dan warung disepanjang jalan _Hotel Best Western._ Macet. 

Saya tak sangka Palu bisa semacet itu. Resto dan kafe lokal-asing bersaing menarik pelanggan. Padahal siangnya bisa lengang, seperti menyepi dari sengatan mentari panas. Palu benar-benar berubah lebih rapi, dinamis dan menyala. Anda bahkan tak akan kesulitan menemukan Ramen Korea dan Jepang.

Tahun lalu saya berkesempatan ke Tokyo dan Hainan. Saya hanya memeriksa tata kelola kota dari aspek kebersihan dan transportasi. Luar biasa memang. Mudah-mudahan kota-kota di Indonesia menuju kesana, termasuk Kota Palu. Kita hanya butuh kesadaran masyarakat.

Kesadaran masyarakat adalah kunci keberhasilan pemerintahnya. Bisa dimaklumi mengapa anggaran kebersihan Tokyo lebih rendah dibanding kota-kota di Indonesia. Jawabannya sederhana, urusan kebersihan menjadi tanggungjawab masyarakat ketimbang dinas kebersihan kota.

Transportasi publik justru sebaliknya. Menjadi urusan pemerintah hingga masyarakat tak perlu berlomba-lomba memperbanyak kenderaan guna mengurangi kemacetan, polusi dan stres. Kota menjadi lebih manusiawi sejalan dengan kebijakan _environmental issues._ 

Pertumbuhan pusat-pusat keramaian Kota Palu secara ekonomi mengindikasikan meningkatnya pendapatan masyarakat. Mungkin dampak positif pertambangan di circle sebagai penopang kota (Donggala, Morowali, Banggai). Di luar kritik atas sisi negatifnya yang mesti di urus dalam jangka panjang. Masyarakat mencari hiburan ke Kota Palu.

Kota Palu seperti menyediakan fasilitas itu. Menahan tumpahan rezeki nikel agar tak mengalir deras ke kota disekelilingnya. Sama halnya Singapura yang memperbanyak hiburan agar limpahan kesejahteraan tak banyak tumpah ke negara disekitarnya. Sebab titik tumpah kemakmuran biasanya menetes ke Malaysia dan Batam _(trickle down effect)._

Saya setuju bila pusat-pusat ibukota kabupaten di Sulteng merujuk ke Kota Palu. Maklum, Sulteng tak punya banyak kota seperti di Jawa. Jalan-jalan sempit diperlebar, harus ada distribusi keramaian agar tak sesak di suatu tempat. Tanpa melupakan fasilitas bagi pencapaian kebutuhan rohani. Termasuk penataan lahan pemakaman yang tak beraturan dan menakutkan.

Pemakaman di kota-kota maju berubah menjadi taman indah. Tak ada pusara yang menancap tak beraturan. Semua sama rata, hijau oleh Rumput Jepang, tanpa memperlihatkan kesan itu kuburan orang kaya dan orang miskin. Masyarakat bahkan bisa bermain disekitar kuburan tanpa merasa ditunggui Hantu Wentira.

Saya ingat petuah salah satu Bupati Luwu tempo hari, fokus pembangunan pada tiga tempat keramaian, yaitu pasar, tempat olahraga, dan rumah ibadah. Disanalah masyarakat berkumpul, mengelola urusan jasmani dan rohani. Bila ketiganya menjadi perhatian serius, sudah pasti pelayanan melahirkan keseimbangan.

Faktanya, efek dari semua itu elektabilitas walikotanya meningkat tajam.Tanpa kampanye berlebihan, membuang banyak sampah baliho dan kebohongan, pasangan Hadianto signifikan dipilih kembali dengan perolehan 63,36%. Itulah model kepemimpinan pemerintahan yang perlu dicontoh sembari menikmati jalan santai bersama rekan-rekan seangkatan.

Artikel Lainnya