Nasional

Penembakan di KM 45, PBHI: Militer Sudah `Offside` dari Tugasnya

Oleh : very - Senin, 13/01/2025 13:55 WIB


Penembakan di KM 45. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tiga anggota TNI AL menjadi pelaku penembakan terhadap bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak pada 2 Januari 2025.

Hal itu mendapat respons Panglima Komando Armada dengan pernyataan bahwa penembakan terjadi karena pengeroyokan. Respons Panglima Komando ini yang berbeda dari keterangan korban, yang menunjukkan adanya indikasi esprit de corps yang justru melindungi anggota TNI yang bersalah.

Demikian dikatakan Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (BPN PBHI), Julius Ibrani melalui siaran pers di Jakarta, Senin (13/1).

Dia mengatakan, motif penembakan dengan dasar pengeroyokan menunjukkan gagalnya TNI memisahkan antara tugas militer dan masalah sipil. Pengeroyokan merupakan ranah sipil yang ditangani oleh Polri, tidak seharusnya berujung penembakan oleh anggota TNI di jalanan dengan tujuan menertibkan.

Kejadian ini menambah daftar panjang kasus TNI melakukan penembakan di luar tugas. Sepanjang 2024 terjadi 12 kasus penembakan TNI terhadap warga sipil dengan alasan “penegakan hukum dan ketertiban umum”.

“Hal ini menunjukkan militer yang sudah ‘offside’ dari tugasnya,” ujarnya.

Menurut Julius, penembakan tersebut menunjukkan urgensi reformasi yang tercantum pada pasal 30 UUD 1945 yang menyatakan pemisahan antara fungsi pertahanan dan keamanan. TNI bertugas menjaga kedaulatan negara dalam konteks pertahanan.

Pada masa orde baru terjadi penyimpangan tugas dan fungsi TNI yang terlibat dalam ruang sipil dan politik. Hal tersebut menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan sosial dan politik.

Hal ini kemudian dibenahi melalui reformasi, pasca orde-baru lewat gerakan memulangkan militer ke barak, melalui mandat TAP MPR No. VI tahun 2000. Dalam konsiderans dasar menimbang bahwa penyimpangan peran dan fungsi TNI dari tugas profesionalitas militer menyebabkan stagnasi sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Darii hakikatnya, tugas TNI sejak awal dilatih untuk berperang dengan insting kill or to be killed disebabkan karakteristik tugas dan fungsi yang sudah diatur dalam UU TNI ada di dua titik yaitu operasi perang dan operasi militer selain perang.

Dengan tugas-tugas yang hanya berfokus pada operasi militer dan perang, TNI memiliki alat tugas termasuk senjata api. Karena itu, penggunaan senjata api di kalangan TNI diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan No 12 tahun 2020 tentang perizinan, pengawasan, dan pengendalian senjata api di luar lingkungan Kemhan dan TNI. Melalui aturan ini telah diatur bahwa anggota TNI tidak diperbolehkan membawa senjata api saat kondisi non-tempur, kecuali dalam kondisi khusus seperti sedang tugas jaga atau intelijen.

Dalam kasus penembakan bos rental di KM 45, patut dicurigai juga terkait dengan kepemilikan senjata api berupa hand gun yang digunakan TNI AL yang merupakan senjata jarak dekat dan lebih sesuai dalam konteks pengamanan sipil dan latihan, bukan untuk operasi tempur.

“Sehingga apabila terbukti kepemilikan senjata api berupa hand gun merupakan senjata ilegal, maka dapat dikenai sanksi berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 2951 yang membatasi kepemilikan senjata api di Indonesia,” katanya.

 

Selidiki dan Sidangkan Kasus KM 45 di Peradilan Sipil

Peristiwa tersebut, menurut Staf Advokasi, Annisa Azzahra, menunjukkan urgensi revisi UU peradilan militer yang menjadi warisan rezim orde baru dan belum tersentuh sejak reformasi.

Keberadaan UU lawas ini menjadi petaka yang melanggengkan impunitas terhadap anggota TNI, dengan dalih yurisdiksi peradilan sipil dan militer, tidak transparan dan tidak manusiawi.

Proses hukum terhadap anggota TNI juga menghadapi tantangan berupa intervensi pihak militer yang menolak anggotanya diproses melalui peradilan umum.

“Kasus KM 45 sebagai pembuka tahun 2025, harus menjadi titik perubahan dari kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI, untuk memastikan tidak adanya keberulangan lagi untuk kasus-kasus serupa. Maka seluruh proses hukum harus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan nilai-nilai peradilan yang adil lewat peradilan sipil,” imbuhnya.

Dalam kasus yang melibatkan militer, selagi UU Peradilan Militer belum direvisi, maka jalan yang dapat dilakukan ialah melalui Peradilan Koneksitas.

Pengaturan terkait koneksitas telah diatur secara jelas dalam Pasal 89-94 UU KUHAP dan Pasal 198 ayat 1 UU Peradilan Militer, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh militer dan termasuk dalam yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan umum. 

Harus digaris bawahi bahwa penembakan terhadap warga sipil merupakan bentuk pelanggaran hukum umum yang diatur dalam KUHP, sehingga harus diproses melalui mekanisme peradilan umum.

“Hal ini juga untuk mendorong transparansi peradilan dan menghapus kultur impunitas di budaya militer, ketika kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI disidangkan melalui peradilan militer dan berujung vonis bebas atau sanksi ringan saja yang mengakibatkan ketidakpercayaan dalam sistem peradilan,” pungkasnya. *

 

Artikel Lainnya