Bisnis

Tantangan Danantara, dari Ketidakjelasan Agenda Institusional Hingga Penerapan GCG

Oleh : very - Jum'at, 07/03/2025 19:17 WIB


Diskusi yang digelar Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pada Sabtu (1/3/2025). (Foto: tangkapan layar)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Halaman Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin, 24 Februari 2025.

“Peluncuran Danantara Indonesia hari ini memiliki arti yang sangat penting karena Danantara Indonesia bukan sekadar badan pengelola investasi melainkan harus menjadi instrumen pembangunan nasional yang akan mengoptimalkan cara kita mengelola kekayaan Indonesia,” ujar Presiden Prabowo saat meluncurkan Danantara.

Muncul sejumlah pertanyaan terkait kemunculan Danantara tersebut. Misalnya, adanya regulasi yang memberikan perlindungan hukum bagi pengelola BUMN.

Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, misalnya, mengkritisi aspek hukum dan politik dalam pembentukan Danantara. Menurutnya, pembahasan undang-undang terkait dilakukan secara terburu-buru.

“Saya diminta hadir di DPR, hanya dalam dua hingga tiga hari undang-undang ini langsung disahkan. Ini menjadi persoalan besar,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pada Sabtu (1/3/2025).

Diskusi mengambil tema “Apakah Pengelola Dana Negara Danantara Kebal Hukum?” yang dilakukan secara daring. Diskusi ini membahas berbagai aspek tata kelola Danantara, termasuk regulasi hukum, dampak ekonomi, serta transparansi pengelolaannya.

Didik juga menyoroti asas impunitas dalam Danantara yang dapat menurunkan kepercayaan publik. “Business judgment rule dalam Danantara tidak boleh menjadi perlindungan bagi pelaku korupsi,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyoroti masalah mendasar dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menegaskan bahwa regulasi saat ini memberikan perlindungan hukum bagi pengelola BUMN.

“Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, menteri dan pegawai organ BUMN tidak dapat diminta pertanggungjawaban jika tidak ada bukti yang cukup. Artinya, mereka seolah kebal hukum. Padahal, dalam prinsip good governance, harus ada pemisahan jelas antara regulator dan operator,” ujarnya.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyoroti kurangnya inovasi dalam kebijakan pemerintah dan BUMN. “Pemerintah kita kurang kreatif dan lebih menghargai administrasi dibandingkan inovasi. Konsolidasi BUMN sebenarnya sudah diinisiasi sejak lama, namun tertunda akibat krisis,” ungkapnya.

Ia mengibaratkan BUMN sebagai ‘telur emas’ milik rakyat yang dikumpulkan dalam satu wadah bernama Danantara. Yang patut disayangkan, katanya, adalah kurangnya transparansi dalam penyusunannya.

“Skeptisisme masyarakat dan investor terhadap Danantara sangat besar. Dalam 10 tahun terakhir, kita melihat berbagai kasus korupsi besar yang membuat publik tidak ingin sejarah kelam ini terulang,” tegasnya.

Wijayanto juga menyoroti dampak Danantara terhadap pasar saham. “Kinerja Jakarta Composite Index (JCI) saat ini merupakan yang terburuk dibandingkan indeks utama dunia dan Asia. Penurunan harga saham BUMN lebih tajam daripada JCI, di mana kehadiran Danantara diduga menjadi salah satu faktor utama,” jelasnya.

Direktur Hukum, HAM, Gender, dan Inklusi Sosial LP3ES, Hadi R. Purnama, menekankan pentingnya kepastian hukum dalam status kelembagaan Danantara.

Dia mempertanyakan Danantara merupakan lembaga publik atau privat. Kedua status ini, katanya, memiliki konsekuensi hukum dan mekanisme pengawasan yang berbeda.

Ia juga mempertanyakan mekanisme pertanggungjawaban hukum terkait kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh Danantara. “Bagaimana mungkin aset BUMN dikelola oleh Danantara, tetapi kerugian yang terjadi tidak dianggap sebagai kerugian negara?” tanyanya.

Hadi menekankan bahwa regulasi Danantara harus diperbaiki agar tidak menimbulkan celah hukum. “Jika ingin dikelola dengan baik, maka harus dipastikan bahwa Dana Danantara benar-benar digunakan untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi masyarakat,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan negara harus berpihak kepada rakyat. “Usia bangsa ini lebih panjang daripada usia pejabatnya. Kebijakan harus berorientasi jangka panjang demi kepentingan rakyat,” tutupnya.

Diskusi tersebut menggarisbawahi enam tantangan utama dalam tata kelola Danantara, mulai dari ketidakjelasan agenda institusional hingga lemahnya penerapan good corporate governance.

Wijayanto mengajukan enam rekomendasi utama sebagai solusi antara lain transparansi dalam rekrutmen pengurus, seleksi berbasis profesionalisme, serta penguatan corporate governance dan pengawasan internal.

Para narasumber sepakat bahwa Danantara harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan ekonomi di masa mendatang. *

 

 

Artikel Lainnya