
Oleh: Muhadam
Jauh dimasa lalu, filosof Plato pernah mengingatkan bahwa berdusta semacam hak prerogatif pemerintah. Ia menganalogikan praktek itu seperti obat yang diberikan tabib dengan semua keunggulannya (Russell, 2024:152). Bisa dimaklumi bila ada yang berkata, produksi _hoax_ terbesar berasal dari pemerintah.
Konstruksi mitos diproduksi sebagai instrumen untuk menjustifikasi posisi politik para pejabat di kelas tertentu. Narasi itu misalnya, Dewa menciptakan manusia dalam tiga kualitas utama. Kualitas pertama terbuat dari emas, berikutnya perak, serta lapisan terbawah kuningan dan besi.
Kualifikasi pertama berhak duduk sebagai pemimpin, selanjutnya tentara, sisanya
pekerja kasar. Konstruksi mitosentris faktanya memengaruhi teosentris di era selanjutnya. Dalam keyakinan ortodoks, pengaruh mitos menciptakan sistem sosial yang membagi
manusia dalam kelas.
Mereka yang hidupnya hanya memikirkan nasib keluarga adalah kelas terbawah sehingga tak mungkin punya waktu mengurus negara. Hanya mereka yang hidupnya habis memikirkan nasib orang banyak yang layak
mengurus negara. Pada Bangsa Lebah dan Serigala, stratifikasi sosial itu terlihat jelas.
Hanya Ratu yang
memerintah, sisanya pejantan dan pekerja pencari _nectar_ dan _pollen._ Pada Serigala, kelas sosialnya terdiri dari _Alfa_ sang pemimpin, _Beta_ kelompok tentara pengawal, _Gamma_ kelompok muda penyerang, dan _Omega_ sebagai kelompok terendah yang tak punya nyali.
Plato menegaskan bahwa hanya kelas tertinggi yang layak mengurus negara. Dengan standar moral itu mereka punya konsekuensi sepadan bila melakukan kejahatan. Mereka bukan saja dapat dipidana, juga menerima implikasi etik seperti dikucilkan, diberhentikan, dihukum seumur hidup, bahkan di hukum mati.
Kini, konstruksi mitos yang membentuk sistem sosial bertransformasi dalam pemerintahan. Para elite di Asia Timur seperti Jepang bukan orang biasa. Mereka punya garis _Mikado_ hingga layak mengurus negara sekaligus pantang berbuat jahat. Keluarga Samurai lebih pantas menjadi tentara,
sisanya duduk sebagai kelas pekerja produktif.
Sosiolog Maslow mengingatkan, mereka yang belum selesai dengan urusan perut _(fisiologi need)_
tak bisa mencurahkan hidup untuk mengurus orang banyak. Derajat manusia pada tahap aktualisasi setelah tangga _esteem need_ lebih mungkin menegaskan posisinya untuk mengurus kepentingan orang banyak.
Malangnya banyak politisi meloncat sebelum isi perutnya selesai. Realitas itu kontras antara melayani orang banyak _(publik)_ di tengah kelaparan pribadi dan keluarga. Artinya mereka belum selesai dengan dirinya sendiri. Kenyataan itu bisa dilihat dalam kasus sejumlah aktivis kelas jalanan jadi elit Pertamina masuk buih.
Mesti diakui bahwa fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian tubir dan menebal dewasa ini meyakinkan kita akan satu hal, bahwa mitos terlepas ia diawali oleh dusta punya signifikansi. Salah satunya membatasi kaum _demos_ mengurus negara dengan kenyataan bahwa mereka tak lain kelas besi, _shudra,_ dan omega yang masih terjebak pada urusan subsistensinya.