Nasional

Penangkapan Mahasiswa ITB Pengunggah Meme AI Prabowo-Jokowi Tuai Kecaman Publik dan Ahli Hukum

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 13/05/2025 12:23 WIB


 

Jakarta, INDONEWS.ID - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS pada Selasa, 6 Mei 2025, di tempat kosnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

SSS, yang merupakan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, ditangkap karena mengunggah meme hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI) yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo berciuman.

Kepolisian menjerat SSS dengan pasal kesusilaan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1). Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Erdi A. Chaniago membenarkan penangkapan tersebut dan menyatakan kasus masih dalam penyidikan.

Namun, penangkapan ini memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga bantuan hukum.

Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut tindakan penahanan itu sebagai “berlebihan dan konyol”. Ia menilai meme tersebut merupakan bentuk kritik dan satire yang sah dalam demokrasi.

“Prabowo dan Jokowi bukan pribadi lagi, mereka adalah institusi publik,” ujarnya. Ia juga meminta Presiden Prabowo menegur Polri agar tidak memberi kesan antidemokrasi.

Hal senada disampaikan pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini. Menurutnya, meski UU ITE bisa digunakan untuk menjerat konten tertentu, meme tersebut tidak semestinya diproses secara pidana. “Ini bisa berdampak buruk terhadap kebebasan berekspresi. Hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan yang pertama,” tegasnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, juga mengecam penangkapan tersebut. Ia menilai tindakan polisi melanggar KUHP dan UU ITE karena meme itu merupakan ekspresi kritik terhadap isu "matahari kembar", yaitu dominasi pengaruh Jokowi dalam pemerintahan Prabowo.

“Ini bentuk satire politik, bukan pornografi,” kata Isnur. Ia juga menekankan bahwa meme semacam itu belum tentu memenuhi unsur asusila dalam hukum.

Isnur merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 115/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa keributan di media sosial bukan merupakan tindak pidana kecuali menimbulkan kerusuhan fisik. Ia mendesak Kapolri untuk membebaskan SSS dan melakukan evaluasi terhadap proses penegakan hukum kasus ini.

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi. “Polri telah melanggar putusan MK dan menunjukkan pola represif terhadap kritik publik,” katanya. Amnesty mencatat ada lebih dari 530 kasus serupa dalam lima tahun terakhir, sebagian besar melibatkan patroli siber Polri.

Pihak ITB melalui Direktur Komunikasi dan Humas Nurlaela Arief menyatakan telah berkoordinasi dengan keluarga SSS. Orang tua mahasiswi tersebut juga telah menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada pihak kampus.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang batas antara kebebasan berekspresi, satire politik, dan penerapan pasal-pasal karet dalam UU ITE.*

Artikel Lainnya