Opini

Pendidikan yang Dikhianati

Oleh : luska - Kamis, 05/06/2025 09:37 WIB


Oleh. Muhadam Labolo

Ranking pendidikan kita memprihatinkan, bila tidak di sebut tertinggal atau terbelakang. Kelas menengah paham betul masalah ini. Menurut PISA (2022), sistem pendidikan kita bertengger diperingkat ke 6 Asean. Dari segi kualitas pendidikan duduk di posisi ke 67 dari 209 negara. Di Asia Timur, China tentu saja mendominasi, selain Jepang dan Korea Selatan.

Mereka haus pengetahuan. Semua akses digunakan. Trumph sampai kewalahan. Jumlah Mahasiswa China di Harvard tertinggi, mencapai 1.016 dibanding Indonesia yang hanya 33 peserta. Total alumni Harvard asal Indonesia hanya 315 orang. Sejak Restorasi Meiji, Jepang mengirim lebih banyak mahasiswa ke luar negeri. Demikian pula Korea Selatan pasca perang saudara.

Hasilnya, China, Jepang dan Korsel kini menjadi raksasa ekonomi di dunia dan asia. Investasi pendidikan memang tak langsung dirasakan. Tapi dalam jangka panjang semua itu terasa. Jepang hanya butuh dua kali durasi RPJP untuk memperbaiki Nagasaki dan Hiroshima. China hanya butuh 30 tahun untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem dari 700 jutaan menjadi 166 jutaan. Singapura apalagi.

Sebenarnya, ikhtiar mengintervensi sistem dan kualitas pendidikan kita tidak gelap dalam komposisi APBN. Amanah konstitusi pasal 31 ayat (4) jelas memaksa 20% minimal dibelanjakan pada sektor pendidikan. Artinya, keberpihakan pada pendidikan relatif tinggi dibanding negara lain, sekurang-kurangnya di Asean.

Pada level operasi, Pemda tak ketinggalan berlomba menjual isu pendidikan. Tiap moment pilkada, hampir semua kepala daerah berkampanye soal pendidikan murah, bahkan gratis. Ambisi itu menunjukkan negara dengan segenap instrumen organiknya serius menuntaskan problem pendidikan.

Malangnya, kemurahan hati (negara) tak kunjung dijalankan dengan sungguh-sungguh. Kesannya, pendidikan menjadi semacam komoditas politik murahan. Meringankan, namun gagal mengeksekusi sumbu masalah yang saling berkait. Problem itu misalnya sumber daya manusia, tata kelola, infrastruktur, dan kompetisi.

_Pertama,_ rendahnya kualitas sumber daya pendidik. Korelasinya mungkin saja terkait rendahnya insentif. Peringkat honor dosen di Indonesia dibanding negara di Asean dan dunia, jauh di bawah rata-rata. Kita di urutan ke 6-7 dengan 4,2 jt rupiah/bln (Tempo & DataIndonesiaid, 2025). Belum lagi guru honorer, selain dibawah standar UMR (sekitar 300-500rb/bulan), pun dibayar serabutan.

Upaya peningkatan sumber daya difokuskan pada tenaga pendidik dan kependidikan. Dari sana kualitas sumber daya pembelajar dapat terungkit. Tak ada siswa bodoh, hanya kebetulan tak berjumpa dengan pendidik bermutu, kata Fisikawan Yohanes Surya ketika mendidik Siswa Papua.

Kedalam negerinya, pendidikan berusaha meletakkan karakter dasar disamping identitasnya sebagai anak bangsa. Keluar, pendidikan mendorong perubahan wawasan dan koneksi tak hanya pada aspek kognisi dan psikomotorik, juga afeksi (kultural). Perubahan dapat mencipta _agent of change._ Kata Dewey, fungsi pendidikan tak lain mengubah diri dan lingkungannya menjadi lebih baik.

_Kedua,_ tata kelola pendidikan. Rendahnya perhatian pada tenaga kependidikan berdampak pada kinerja guru dan dosen yang terkuras energinya dalam pekerjaan administrasi. Presensi, beban kerja, serta kinerja menjadi tanggungjawab total para pendidik. Eksesnya, pendidik lebih berorientasi pada upaya pemenuhan kewajiban administrasi dibanding tugas pokoknya.

Sebuah survei menunjukkan angka ketidakhadiran dosen dengan dan tanpa alasan mencapai 94%. Anehnya, mereka tetap menerima gaji dan tunjangan tanpa korting dengan alasan terpenuhi syarat administrasi. Gambaran ini selain meyakinkan angka ketidakjujuran akademik (16,7% dibawah Kazakhstan; Srholec, 2024), juga bocornya alokasi pendidikan tanpa kualitas yang diharapkan.

_Ketiga,_ minimnya infrastruktur pendidikan menjadikan peserta didik tak betah lama di ruang kelas. Tak hanya media pembelajaran yang didukung teknologi, juga minus laboratorium berstandar. Pola monolog tanpa bimbingan di luar kelas melalui ekosistem yang menyerupai dunia kerja hanya memproduk penghayal. Luarannya surplus pemimpi bukan pemimpin. _Dealer_ bukan _leader._

Di luar upaya keras presiden memberi makan gratis, perbaikan jalan dan Jembatan Tarzan menuju sekolah belum tersentuh. Kritik publik dianggap kurang bersyukur dan menganggap semua itu adaptif secara _socio-cultural._ Bukankah presiden, mentri, gubernur, bupati dan walikota pun tak di chek sekolah, ijazah, dan tak pintar bahasa asing bisa jadi pemimpin hebat. Padahal realitas kekinian butuh lebih dari sekedar kekunoan di atas pondasi keadaban.

_Keempat,_ hilangnya _competitiveness_ melemahkan _fighting spirit_ peserta didik. Pola pendidikan agar _semua harus lulus_ tak merangsang kompetisi bagi lahirnya pembelajar terbaik untuk posisi prospektif. Kondisi ini sering terjadi pada model _boarding school_ yang seterusnya melahirkan budaya birokrasi; _kerja tak kerja gaji tetap sama._ 

Pola _stick and carrot_  perlu dikembangkan. Tujuannya menghela peserta didik berprestasi dan memacu yang lelet. Dengan begitu akan muncul siswa unggul sebagai _primus inter pares._ Mereka dapat dijadikan _role model_ hingga mencapai titik tertinggi. Pendidikan tak boleh kehilangan karakter di tengah kompetisi yang kian tajam. Baik karakter moral maupun karakter kinerja.

Lemahnya kesungguhan membenahi empat variabel itu dalam jangka panjang menjadikan investasi pendidikan kita cenderung mengalami _lost investment_ ketimbang berharap _return investment._ Kondisi ini mengakibatkan porsi anggaran terkesan bak menghambur garam di laut. Pendidikan tumbuh tanpa kualitas sumber daya yang membuat kita cemas dan lemas memandang periode emas.

Sejujurnya, kita masih berkutat pada tema politik pendidikan sebagai simbol pembaharuan seperti kasus _merdeka belajar._ Kita sibuk melengkapi asesoris kurikulum, namun lupa menyentuh variabel lain yang sama pentingnya. Lebih menyedihkan lagi ketika integritas pengelolaan pendidikan bermasalah. Kasus _chromebook_ senilai 9,9 T di Kemendikti sedikit indikasi yang menambah daftar pengkhianatan pendidikan dalam konstitusi.

Artikel Lainnya