Opini

Manajemen Risiko sebagai Pilar Utama Kesiapan Tempur KRI dan Ujung Tombak Pertahanan Laut

Oleh : donatus nador - Sabtu, 16/08/2025 21:40 WIB


KESEHATAN dan Keselamatan Kerja (K3) sebagai salah satu domain risiko yang sangat spesifik dan krusial, terutama di lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya fisik yang tinggi seperti di Kapal Perang Republik Indonesia (KRI).

Oleh Letkol Laut (KH/W) Elyah Musarovah,M.Pd

 

KESEHATAN dan Keselamatan Kerja (K3) sebagai salah satu domain risiko yang sangat spesifik dan krusial, terutama di lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya fisik yang tinggi seperti di Kapal Perang Republik Indonesia (KRI).

Hal ini disebabkan karena risiko keselamatan kerja terfokus pada terjadinya kecelakaan di laut. Sebagai contoh peristiwa yang baru-baru ini terjadi dengan tenggelamnya kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada hari Rabu, 2 Juli 2025 malam yang menambah catatan buruk penyelenggaraan trasportasi laut di Indonesia.

Kapal yang mengangkut penumpang 65 orang dengan 12 awak kapal serta 22 kendaraan tenggelam dan hanyut dalam waktu kurang dari 20 menit setelah berangkat dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi menuju Gilimanuk Bali. Kecelakaan demi kecelakaan yang terjadi di laut jelas merefleksi buruknya tata kelola pelayaran di Tanah Air.

Hal ini ditandai dengan banyak kejadian besar menyangkut kecelakaan kapal antara lain peristiwa tenggelamnya KMP Tampomas II pada 1981 yang menewaskan 1.200 orang dan tenggelamnya selam KRI Nanggala 402 saat melakukan latihan penembakan torpedo di Laut Bali bersama 53 awaknya pada Sabtu, 24 April 2021 yang terjadi juga di Selat Bali.

Hal tersebut menjadikan pembelajaran bagi kita semua bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) jelas terlanggar dengan tidak mematuhi SOP pelayaran, sebelum kapal berlayar.

Awak kapal mestinya harus mengetahui informasi lengkap mengenai personel dan material dengan pengecekan terhadap kondisi fisik kapal yang menjadi syarat mutlak untuk keselamatan kapal dengan pemeliharaan berkala sampai pengecekan terakhir sebelum kapal berlayar dengan harapan terjadinya “zero mistake”.

Hal itu  dapat meminimalisasi adanya kesalahan fatal seperti yang terjadi kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya, terlebih lagi dengan masih banyaknya kapal-kapal yang berumur tua bahkan renta karena sudah lebih dari 25 tahun yang seharusnya sudah pensiun akan tetapi tetap dipaksa berlayar dengan perawatan yang tidak maximal.

Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) sebagai ujung tombak pertahanan di laut harus menganut “zero mistake” dengan secara professional untuk senantiasa melaksanakan mitigasi risiko sebelum KRI berlayar dan bertempur, dengan strategi mitigasi risiko yang mempertimbangkan sumber daya untuk mengetahui tingkat kelayakan risiko pada KRI sebelum berlayar dan bertempur dengan memperhatikan 3 karakteristik utama dalam perancangan strategi mitigasi risiko meliputi

a. biaya untuk menerapkan strategi tersebut, b. kemungkinan terjadinya risiko, dan c. langkah-langkah mitigasi risiko dengan berdasarkan pada 3 indikator, dengan tiga indikator mitigasi tersebut meliputi risiko dan pengoptimalan berbasis biaya, mengukur dan memastikan signifikansi dalam pengurangan risiko, dan mengukur serta memastikan kemungkinan efisiensi biaya tinggi.

Peranan manajemen risiko sangatlah penting dalam mengatasi kecelakaan di laut karena manajemen risiko meliputi beberapa aspek :
1. Identifikasi dan Analisis Risiko
Pada manajemen risiko dimulai dari proses identifikasi dan analisis terhadap potensi bahaya di tempat kerja yang meliputi pemahaman jenis pekerjaan, peralatan yang digunakan, kondisi lingkungan serta faktor-faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kecelakaan, dengan mengadakan analisa risiko.

Analisis resiko meliputi penilaian terhadap tingkat keparahan dan probabilitas terjadinya suatu kecelakaan, dengan memahami tingkat risiko setiap KRI dapat mempriorotaskan upaya pencegahan yang lebih efektif.

2. Pengendalian Risiko, pengendalian risiko dapat dilakukan dengan:
- Eliminasi risiko dilakukan dengan menghilangkan sumber bahaya secara
langsung sebagai contoh dengan mengganti peralatan berbaja dengan peralatan yang lebih aman atau merancang ulang proses kerja yang
beresiko tinggi.

- Mitigasi risiko dengan tujuan untuk mengurangi tingkat keparahan dan probabilitas terjadinya risiko sebagai contoh penggunaan alat pelindung
diri (APD) pelatihan keselamatan kerja dan penerapan system pengamanan yang memadai.

- Trasfer risiko dilakukan dengan tujuan untuk memindahkan resiko kepada pihak lain melalui asuransi;dan
- Penerimaan risiko yang dilakukan ketika risiko tidak dapat dieliminasi, dimitigasi atau ditrasfer, dalam hal ini setiap KRI perlu memahami risiko
tersebut dan merencanakan respon yang tepat jika risiko tersebut terjadi.

3. Monitoring dan Evaluasi. Perlu diketahui bahwa manajemen risiko bukanlah proses statis melainkan proses dinamis yang membutuhkan monitoring dan evaluasi secara berkala, sebuah KRI perlu dipantau dalam efektivitas strategi pengendalian risiko yang telah diterapkan dan melaksanakan evaluasi apakah strategi tersebut sudah sesuai dengan kondisi dan tuntutan terkini.

Sebab,  dalam proses monitoring dan evaluasi sangatlah penting untuk memastikan bahwa strategi pengendalian risiko terus efektif dan dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi di KRI.
4. Budaya Keselamatan. Dengan manajemen risiko yang efektif membutuhkan dukungan dari budaya keselamatan yang kuat di sebuah KRI dengan budaya keselamatan tercipta melalui komitmen dari manajemen puncak untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman serta partisipasi aktif dari seluruh Anak Buah Kapal (ABK) untuk lebih menyadari pentingnya keselamatan kerja sehingga akan dapat meninggalkatkan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan keselamatan.

Mengingat begitu penting dan vitalnya penerapan manajemen risiko di KRI yang merupakan ujung tombak pertahanan negara di laut serta menjadi pilar utama kesiapan tempur laut dengan melakukan upaya-upaya yang meliputi:

a. Alat Pelindung Diri (APD) dengan mempersiapkan peralatan/alat pelindung diri guna mengurangi cidera dan mencegah timbulnya penyakit akibat kerja;

b. Kesiapan peralatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) atas dasar dengan memperhitungkan kekuatan dan metode kerja dan kebutuhan peralatan yang akan digunakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan agar lebih dipersiapkan;

c. Dalam proses pengadaan KRI harus adanya jaminan dalam rati memenuhi persyaratan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) agar
dipastikan mengenai resiko-resiko kecelakaan kerja. 

d. Dengan melaksanakan komuniaksi dua arah yang efektif serta pelaporan secara rutin yang menjadi sumber penting pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). 

e. Training dan Pelatihan dalam menjamin Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) dengan penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan dana yang memadai sesuai dengan persyaratan sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang ditetapkan sesuai SOP. 

f. Inspeksi dan perbaikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan mengutamakan personel yang terlibat memiliki kopentensi yang cukup, pengalaman, catatan, rekaman hasil inspeksi, pengujian dan pemantauan dipelihara dan tersedia dengan manajemen yang baik.

g. Prosedur Pemeriksaan dengan melaksanakan inspeksi yang dilaksanakan secara harian (daily), mingguan (weekly), bulanan (monthly) dengan dijalankan secara tetap dan kontinyu secara berkala dan terus menerus dengan mempertahankan hasil terbaik untuk
dicapai. 


h. Dengan melaksanakan tindakan perbaikan yang ditunjukkan dan bersifat memperbaiki keadaan terhadap situasi bahaya yang akan
timbul, tindakan perbaikan yang dilaksanakan dilapangan secara umum menjadi tangungjawab Komandan KRI dengan melaksanakan
perbaikan yang dapat dilakukan dengan adanya beberapa temuan yangmenyimpang dari ketentuan/standar dalam sasaran dan program kerja yang telah direncanakan; dan
i. Adanya prosedur pengendalian dalam rangka memantau dan mengukur pencapaian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan didasarkan pada hasil kerja masing-masing proses kegiatan dan sasaran;
j. Pengendalian administratif prosedur dan instruksi kerja yang dibuat dan harus mempertimbangkan segala aspek pada Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan setiap tahapan, rancangan tinjauan ulang prosedur dan instruksi kerja harus dibuat oleh setiap ABK sesuai jabatannya di KRI.

Terjadinya iInsiden keselamatan dapat merusak reputasi organisasi dengan penerapan manajemen risiko membantu menjaga reputasi organisasi dengan mencegah terjadinya insiden oleh karena itu dalam memitigasi adalah dengan meminimalisasi terjadinya kecelakaan dengan penerapan manajemen risiko secara efektif dan efisien dalam suatu organisasi perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Membentuk Tim Manajemen Risiko: Tim ini bertanggung jawab untuk memimpin dan mengelola seluruh proses manajemen risiko.
• Mengembangkan Kebijakan dan Prosedur: Kebijakan dan prosedur yang jelas dan terstruktur akan memandu proses manajemen risiko dan memastikan konsistensi dalam penerapannya.
• Melakukan Pelatihan Keselamatan Kerja: Pelatihan keselamatan kerja penting untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada karyawantentang risiko di tempat kerja, prosedur keselamatan, dan penggunaan APD.
• Melakukan Audit Keselamatan Kerja: Audit secara berkala akan menilai efektivitas sistem manajemen risiko yang telah diterapkan dan mengidentifikasi kekurangan atau kelemahan yang perlu diperbaiki.

Manajemen risiko adalah investasi jangka panjang yang sangat penting bagi keberlangsungan suatu organisasi diharapkan dengan menerapkan strategi mitigasi risiko yang tepat, sebuah organisasi dapat mengurangi risiko, meningkatkan kinerja, dan mencapai tujuan organisasi TNI AL yang lebih baik dengan KRI sebagai ujung tombak pertahanan di laut.

Artikel Lainnya