INDONEWS.ID

  • Jum'at, 28/09/2018 16:01 WIB
  • Deputi BPIP: Masyarakat Harus Melampaui Politik Identitas

  • Oleh :
    • very
Deputi BPIP: Masyarakat Harus Melampaui Politik Identitas
Deputi I bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Dr Anas Saidi, MA, di Jakarta, Kamis (27/9/2018). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Masyarakat Indonesia sering disebut dengan masyarakat yang majemuk. Secara teoritik sangat rentan terjadinya konflik, terutama menguatnya ikatan primordialisme melalui politik identitas keagamaan atau enisitas.

“Kalau  seseorang sudah melampaui politik identitas dan primordialisme, maka dengan sendiriya paham-paham yang di luar Pancasila yang menjadi komitmen bangsa ini akan leleh atau mengalami suatu kemunduran,” ujar Deputi I bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Dr Anas Saidi, MA, di Jakarta, Kamis (27/9/2018).

Baca juga : KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia

Namun yang menjadi problem menurutnya kesalahpahaman yang hampir semi permanen itu seolah-olah agama islam itu bertentangan dengan Pancasila. Padahal jelas bahwa nilai-nilai Pancasila itu ada di dalam Islam tapi sekaligus juga ada di dalam nilai-nilai agama yang lain. Musyawarah mufakat, keadilan sosial, kesetaraan dan sebagainya sebenarnya  sama sekali tidak ada perbedaan

“Karena itu bagi orang-orang muslim yang menjadi mayoritas moderat itu selalu mengatakan bahwa  Pancasila itu menyerupai apa yang disebut dengan piagam Madinah. Ini yang saya kira masih sering disalahpahami seolah olah bahwa yang disebut Pancasila itu sekuler, dan kemudian perlu ditata dengan apa yang disebut dengan Islam murni dan yang sebagainya,” ujarnya.

Baca juga : Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel

Untuk menyikapi propaganda yang dihembuskan kelompok radikal bahwa ideologi Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai agama, dirinya mengungkapkan bahwa Islam dengan  Civil Society di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban untuk mengisi ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan bahwa Pancasila adalah Jalan Tengah yang paling bagus.  Karena didalam Pancasila itu tidak sekedar mengaplikasikan doktrin agama yang sesuai dengan Islam, tapi juga sesuai dengan seluruh agama yang ada di Indonesia.

“Ini masih kurang disosialisasikan dan kebetulan absennya Pancasila di ruang publik selama 2 dekade dikalangan milenial ini ternyata membawa implikasi yang tidak sederhana. Anak-anak yang sekarang berumur sekitar 20- 30 tahunan umumnya tidak memahami sejarah dan esensi dari Pancasila. Bisa dikatakan Pancasila itu surplus wacana, tapi defisit tindakan. Pancasila belum menjadi bagian Pedoman tingkah laku, belum menjadi alat evaluasi terhadap kebijakan negara,” ujarnya.

Baca juga : Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat

Untuk itu menurutnya perlu adanya mengembalikan dan memperkuat lagi di sekolah sekolah terhadap mata pelajaran yang berhubungan dengan Pancasila. Hal ini dikarenakan anak-anak mulai SD hingga perguruan  tinggi cenderung tidak mengenal Pancasila sebagai satu doktrin.  Karena kalau  generasi muda  tidak mengerti dan bahkan membenci Pancasila, maka bangsa ini bisa mengalami keretakan.

“Tapi tentu saja bahwa pendidikan Pancasila juga harus didampingi dengan pendidikan agama yang toleran, yang kemudian memberikan kebebasan kepada perbedaan keyakinan dan tidak memutlakkan tafsir yang kemudian memberikan penekanan terhadap kelompok yang berbeda dengan kalimat kalimat bid’ah,  takfiri dan lain sebagainya,” ujar pria kelahiran Blitar 7 Februari 1955 ini

Dikatakannya,  BPIP sendiri sudah melakukan sejumlah langkah dengan membuat garis besar ideologi Pancasila itu sendiri yang  memuat apa yang disebut dengan, etos, logos dan kepercayaam.  Karena Pancasila tidak cukup sebagai ideologi saja, tapi perlu digeser perkembangannya yang disebut dengan paradigma ilmu.

“BPIP melakukan pedoman tindakan di  seluruh perguruan tinggi  agar menjadi satu pedoman tindakan. Kita belum punya rumusan kecuali kisi-kisi bahwa demokrasi Pancasila itu apa bedanya dengan demokrasi liberal dan apa yang disebut dengan ekonomi Pancasila dan sebagainya. Persoalan fundamental inilah yang digarap BPIP,”  kata peraih doktoral di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia  ini.

Dan BPIP sendiri selama ini sudah melakukan MoU dengan berbagai kementerian dalam upaya memperkuat mata pelajaran Pancasila di sekolah sekolah, meskii masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam agar pendidikan Pancasila bisa sejalan sebagai upaya untuk membentengi diri dari pengaruh paham radikal.  

“Semoga kedepan masyarakat sudah memiliki kesadaran bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang bisa mempertemukan perbedaan, tanpa harus melakukan suatu pemaksaan,” ujarnya mengakhiri. (Very)

 

Artikel Terkait
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Artikel Terkini
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Akses Jalan Darat Terbuka, Pemerintah Kerahkan Distribusi Logistik ke Desa Kadundung
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Penutupan Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Bagian dari Strategi Bisnis untuk Fokus pada Lini Penjualan
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas