INDONEWS.ID

  • Rabu, 06/03/2019 10:01 WIB
  • Waspada, Hoaks yang Mengarah ke Black Campaign Akan Semakin Masif dan Agresif

  • Oleh :
    • very
Waspada, Hoaks yang Mengarah ke Black Campaign Akan Semakin Masif dan Agresif
Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies, Girindra Sandino. (Foto: Ist).

Jakarta, INDONEWS.ID -- Sebentar lagi pemilu serentak 2019 akan memasuki tahapan rapat umum, masa tenang dan pemungutan suara. Berbagai elemen sudah saling mengkonsolidasikan diri, baik sebagai pendukung masing-masing peserta pemilu maupun yang menyatakan diri sebagai kelompok-kelompok independen.

Baliho, spanduk dan alat peraga kampanye sudah semakin banyak ditemui, walau di jalan sempit sekalipun ada saja spanduk-spanduk berukuran tidak kecil. Akan tetapi, ada fenomena yang akan hadir, dan yang mungkin dampaknya bisa sangat destruktif terhadap proses pelaksanaan pemilu yang damai dan demokratis. Kedua kubu mengklaim tidak memproduksi berita-berita hoax yang membingungkan dan menyesatkan masyarakat.

Baca juga : JK Negarawan Luwes dan Selalu Menjaga Tali Silaturahim

Namun sejauh pengamatan Seven Strategic Studies masih terdapat isu hoax yang berkembang di beberapa daerah, misalnya di Jawa Barat.

Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies, Girindra Sandino mengatakan, isu hoax tersebut hanya salah satu dari awal strategi Black Campaign di lapangan yang agresif dan ofensif sebagai testing the water atau bagaimana publik menyikapi hal-hal demikian. Kabar bohong tersebut memang berkorelasi dengan elektabilitas Capres-Cawapres tertentu.

Baca juga : Kartelisasi Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

“Oleh karena itu, jangan dianggap enteng, karena strategi tersebut dianggap jitu, maka akan diteruskan sebagai senjata ampuh mendobrak elektabilitas capres-cawapres agar naik. Artinya ke depan hoax yang beraneka ragam dan cenderung mengarah ke black campaign berpotensi menyebar kebencian massal akan semakin massif, terukur, dan sistematik di basis-basis kuat lawan yang akan dirangsek salah satu kubu,” ujarnya.

Menurut Girindra, ada juga fenomena sikap atau aksi-aksi intimidatif dari beberapa kelompok atau organ-organ untuk melanjutkan pembenaran hoax yang berhasil dilempar ke beberapa wilayah daerah. Pengalaman Pilkada di beberapa daerah terjadi menjelang pemungutan suara dan pada proses pemungutan suara, mereka hadir di TPS-TPS.

Baca juga : Jubir Presiden Pastikan Jokowi Hadiri Penutupan Kongres Partai Nasdem

“Karena itu, jangan sampai aksi dan sikap intimidatif berpotensi kuat terjadi di tahapan pemilu ke depan. Artinya harus ada langkah antisipasi yang konkret dari pihak-pihak terkait, baik penyelenggara pemilu seperti halnya pemerintah setempat, Kepolisian dan Bawaslu dan jajarannya untuk memetakan aksi intimidasi sel-sel organ yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam tahapan kampanye rapat umum maupun psikologis pemilih dalam memilih pada proses pemungutan suara,” ujarnya.

Alumnus FISIP UI ini mengatakan, penegakkan hukum harus dibuka seluas-luasnya. Bila kanalisasi konflik melalui jalur hukum terhambat, maka potensi konflik aktual di jalur politik akan terbuka. Paling tidak arus gugatan secara hukum langsung ke pengadilan – melalui proses hukum akan  lebih tinggi, dengan penyelesaian yang bukan mustahil tidak memuaskan secara sosial. Oleh karena, fragmentasi politik masyarakat yang sudah mengidentifikasikan diri secara emosional dengan kubu capres dan cawapres. Dalam kondisi ini, tensi politik lebih menyengat, dan mudah terpicu menjadi konflik sosial.

Girindra mengatakan, agar kedua kubu tidak saling terus menyalahkan diperlukan himbauan dari berbagai kalangan pemerintah, politisi dan tokoh agama agar pemilu berlangsung damai terhindar dari konflik sosial bermuatan kekerasan pemilu yang bermuara dari hoax dan aksi intimidatif harus menjadi pedoman bagi setiap warga negara yang kritis dalam berdemokrasi.

“Walau pun pemilu belum menjamin proporsionalitas, keterwakilan politik maksimal, bahkan belum tentu berkorelasi dengan kemajuan demokrasi, namun memelihara agar tahap kehidupan demokrasi yang sudah dicapai tidak mengalami kemunduran adalah tanggung jawab setiap warga negara,” ujarnya.

Legitimasi pemilu demokratik ditentukan oleh imparsialitas, independensi dan akuntabilitas institusi-institusi penyelenggara, kontestan yang bersaing secara jujur, kuantitas dan kualitas partisipasi politik rakyat, serta kebebasan rakyat menentukan pilihan politik yang diproteksi oleh negara, termasuk bebas dari rasa takut dalam memilih di bilik-bilik suara.

“Maka aksi-aksi intimidatif yang berpotensi terjadi di tahapan pemilu ke depan harus menjadi perhatian serius dan perlawanan kaum demokratik,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
JK Negarawan Luwes dan Selalu Menjaga Tali Silaturahim
Kartelisasi Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Jubir Presiden Pastikan Jokowi Hadiri Penutupan Kongres Partai Nasdem
Artikel Terkini
Menteri AHY Jelaskan Tentang Reforma Agraria dan Agenda Undangan Bank Dunia di Depan Para Diplomat
Presiden Jokowi Resmikan Inpres Jalan Daerah Sepanjang 165 km pada 15 Kabupaten/Kota di Sultra
Pj Bupati Maybrat Dukung Penuh Proses Studi Masterplan Kementerian PUPR untuk Revitalisasi Danau Ayamaru
Siddharta The Musical Hadir Kembali di Jakarta, Nantikan Keseruannya
Pos Fohuk Satgas Yonif 742/SWY Dampingi Petani Panen Kacang Tanah di Perbatasan RI-RDTL
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas