INDONEWS.ID

  • Minggu, 15/12/2019 22:46 WIB
  • Cabut atau Judicial Review Perda yang Bertentangan dengan Pancasila

  • Oleh :
    • very
Cabut atau Judicial Review Perda yang Bertentangan dengan Pancasila
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Pancasila menciptakan segregasi sosial atau pemisahan masyarakat semakin tajam.

Baca juga : Pj Ketua TP PKK Sumsel Tyas Fatoni Kukuhkan Ketua Pembina Posyandu Kabupaten/Kota se-Sumsel

Demikian dikatakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum, disela-sela Seminar Nasional Analisis dan Sinkronisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), pada tanggal 13-15 Desember 2019 di Jakarta.

Liona mengatakan, Peraturan Perundangan mulai dari tingkat nasional sampai dengan tingkat daerah (Perda) yang bertentangan dengan Pancasila menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama yang semakin tinggi dan tajam. Tentu hal ini, katanya, bertentangan dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Pancasila yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia bahkan sejak sebelum bangsa ini berdiri. Karena itu tidak mengherankan jika terjadi ketegangan yang menyinggung ras, etnis terlebih agama, begitu cepat mempertajam potensi konflik horizontal, sehingga mengancam Persatuan dan Kesatuan Indonesia.

Baca juga : Sekjen Kemendagri Jelaskan Pemberian Penghargaan Prestasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan LPPD

“Oleh karena itu, perlu segera melakukan tindakan hukum, baik melalui pencabutan oleh pihak yang mengeluarkan peraturan tersebut maupun melakukan judicial review,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (15/12).

Liona Nanang Supriatna, yang juga alumnus Lemhannas RI Angkatan 58 mengemukakan dalam seminar hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen-dosen Fakultas Hukum seluruh Indonesia terungkap bahwa pada umumnya para legislator terlebih legislator di daerah dalam membuat peraturan tidak menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 2 UU ini secara eksplisit menyebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara. Artinya bahwa setiap sila dari Pancasila merupakan bagian yang terintegrasi satu dengan yang lainnya, dan dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara harmonis.

Baca juga : Hadiri Upacara Hari Otonomi Daerah Tingkat Nasional, Pj Gubernur Agus Fatoni Sebut Capaian Ekonomi di Sumsel Sangat Baik

Kemudian Pasal 5 UU diatas menegaskan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Sedangkan Pasal 6 ayat (1) mengenai asas materi muatan juga mencerminkan nilai-nilai Pancasila yaitu pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, menurut Liona ada ratusan produk peraturan daerah tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan ini, bahkan hanya berdasarkan keyakinan agama tertentu serta bias gender.

Liona mengatakan, sebagai dasar negara, Pancasila harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia serta Pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan  demikian rumusan Pancasila adalah jaminan perlindungan dari prinsip demokrasi berdasarkan Pancasila yang tidak bisa ditawar.

Di sisi lain, Pancasila adalah moral ketatanegaraan, artinya diterapkan bukan karena adanya kewajiban hukum tertentu, namun karena secara moral adalah suatu kewajiban untuk mengejawantahkan Pancasila ke dalam semua peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk oleh aparatur Pemerintah.

“Dengan demikian unsur terpenting dalam negara hukum berdasarkan Pancasila adalah terikatnya aparatur negara dan rakyat pada hukum yang berlaku umum berdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan agama serta keyakinan tertentu,” tegas Liona yang juga Pengurus Pusat ISKA serta Presiden Bandung Lawyers Club Indonesia.

Liona Nanang Supriatna, yang juga penasihat Lawyers Social Indonesia (Lysoi) serta anggota Dewan Kehormatan Peradi Jawa Barat ini secara khusus melakukan evaluasi terhadap nilai-nilai Pancasila pada substansi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia apakah telah sesuai dengan asas-asas dalam Pancasila.

Menurut Liona, secara umum Undang-Undang HAM telah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun demikian masih terdapat beberapa pasal yang tidak selaras dengan Pancasila terutama tentang hak yang tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights).

Pertama, tentang hak hidup, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dan oleh siapa pun. Hal ini diperkuat dengan Pasal 9 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Namun, pembatasan mengenai Pasal 9 ini tercantum dalam Penjelasan, bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya, dan dalam hal pidana mati yang harus didasarkan pada putusan pengadilan, tentu saja pidana mati bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU Ham itu sendiri, hal ini menimbulkan masalah dalam hal sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kedua, dalam hal rumusan hak memeluk agama, melaksanakan ibadah, dan penghormatan terhadap perbedaan agama yang seharusnya mencerminkan Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sulit untuk dilaksanakan terutama terkait peran negara (pemerintah) dalam melindungi hak-hak tersebut (Pasal 4, 6, 8, 9, 71, 72, 73). Hal ini potensial dapat mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum khususnya terkait pelaksanaan hak-hak tersebut.

“Adanya ancaman terhadap kebebasan beribadah disebabkan aturan pembatasan yang multi-tafsir menunjukkan inkonsistensi dengan nilai dalam Sila Pertama Pancasila,” pungkas Liona. (Very)

 

 

Artikel Terkait
Pj Ketua TP PKK Sumsel Tyas Fatoni Kukuhkan Ketua Pembina Posyandu Kabupaten/Kota se-Sumsel
Sekjen Kemendagri Jelaskan Pemberian Penghargaan Prestasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan LPPD
Hadiri Upacara Hari Otonomi Daerah Tingkat Nasional, Pj Gubernur Agus Fatoni Sebut Capaian Ekonomi di Sumsel Sangat Baik
Artikel Terkini
Pj Ketua TP PKK Sumsel Tyas Fatoni Kukuhkan Ketua Pembina Posyandu Kabupaten/Kota se-Sumsel
Sekjen Kemendagri Jelaskan Pemberian Penghargaan Prestasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan LPPD
Hadiri Upacara Hari Otonomi Daerah Tingkat Nasional, Pj Gubernur Agus Fatoni Sebut Capaian Ekonomi di Sumsel Sangat Baik
Ke Perbatasan Papua, BNPP Pastikan Pembangunan Infrastruktur Berjalan
Sri Agustin, Nasabah Mekaar Yang Dipuji Jokowi Berbagi Tips Eksis Jalani Usaha Sambel
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas