INDONEWS.ID

  • Sabtu, 14/03/2020 20:01 WIB
  • Tak Terpengaruh Dunia Maya, Mahasiswa Harus Berkarakter dan Cerdas

  • Oleh :
    • very
Tak Terpengaruh Dunia Maya, Mahasiswa Harus Berkarakter dan Cerdas
Alumnus PPSA XXI Lemhannas RI, Caturida Meiwanto Doktoralina, yang juga Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dam Bisnis Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta. (Foto: Ist)

Bogor, INDONEWS.ID -- Mahasiswa harus memiliki karakter, cerdas dan memiliki sense of crisis agar tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai pendapat yang berseliweran di dunia maya dan demi masa depan Indonesia yang berketahanan nasional. Ketidakmampuan mahasiswa dalam membedakan nilai yang baik atau buruk, yang merusak atau membangun serta yang bernuansa provokasi atau bernuansa mewujudkan persatuan, akan menempatkan Indonesia di masa depan rapuh. Alasannya adalah para mahasiswa adalah agent of change dan sekaligus calon pemimpin masa depan.

Demikian ditegaskan oleh Alumnus PPSA XXI Lemhannas RI,  Caturida Meiwanato Doktoralina yang juga dosen Universitas Mercu Buana kepada para Mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Mercu Buana Jakarta, yang merupakan peserta gladi kepemimpinan melalu siaran pers, di Villa Purnama, Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/3/2020).

Baca juga : Direktur Indo Barometer M Qodari dan Demokrat Tanggapi Gugatan Uji Materi Dr Audrey Agar Pelantikan Prabowo Dipercepat

Dalam pembekalannya yang berjudul, "Menciptakan Pemimpin Berintelegensi, Berintegritas, dan Bersosiabilitas”, Caturida Meiwanto Doktoralina menegaskan, zaman sudah berubah. Dunia yang dihadapi oleh bangsa Indonesia termasuk para mahasiswanya adalah dunia nyata dan dunia maya. Kedua dunia ini akan menjadi tantangan nyata bagi para mahasiswa dalam mendidik dirinya sebagai calon pemipin masa depan yang berkarakter, berintegritas, berkemampuan bersosialisasi dan memiliki sense of crisis.

“Ketika pemilihan Komisioner KPK berlangsung, rekan-rekan mahasiswa turun ke jalan dan kemudian diikuti oleh adik-adik generasinya yang bersekolah di SMA. Meskipun sikap mendukung ataupun tidak mendukung atas komisioner yang terpilih adalah pilihan dari masing-masing kelompok mahasiswa, namun keputusan untuk turun ke jalan belum didasarkan pada karakter, kecerdasan dan integritas yang seharusnya  dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi beberapa hari setelah mahasiswa memutuskan turun ke jalan,” ujar Caturida.

Baca juga : Mungkinkan Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Bisa Dipercepat? Simak Penjelasannya!

Menurut Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMB ini, sebagai agent of change (agen perubahan), turun ke jalan adalah semacam tradisi yang selalu ada di mana-mana. Namun karakter mahasiswa yang memiliki sense of crisis, perlu diasah lebih tajam lagi. Ketidakmampuan mahasiswa memiliki sense of crisis menempatkan mereka pada posisi tidak mampu menganalisa nilai-nilai baik atau buruk, fakta atau hoax dan kebenaran sebuah informasi atas keputusan yang berwujud sebuah gerakan bersama.

“Menjadi pemimpin, secara sederhana, adalah  menjadi mentor, yang jika berbicara kepada rekan seperjuangan atau adik angkatan, bisa dilihat dari respon para audiensnya. Apakah arahannya didengarkan dengan baik, tidak mencari kambing hitam jika ada kesalahan, tidak menyalahkan pihak lain tetapi meluruskan. Jika ada nasihat yang kurang tepat wajib berpikir cepat dalam analisis situasi.  Tetapi jika bertolak belakang dengan  aturan dan regulasi serta cita cita yang anti idiologi serta nasionalisme,  harus berani mengatakan tidak.  Jadi ada sikap tegas atas nilai-nilai yang sudah disepakati sebagai satu bangsa dan negara,” tegas Caturida.

Baca juga : Upacara Peringatan ke-116 Hari Kebangkitan Nasional di Kabupaten Maybrat: Menuju Indonesia Emas

Alumnus PPSA XXI Lemhannas RI ini juga menegaskan bahwa di zaman perjuangan kemerdekaan hanya dikenal dua tipe yang harus dipilih yakni sebagai pahlawan atau pengkhianat. Mereka yang memilih memiliki karakter pahlawan akan membentuk dirinya sebagai  orang yang mencintai banga, negara serta tanah air secara total. Tipe Pahlawan ini akan segera bangkit mengangkat senjata ketika sense of crisisnya mengatakan, negara dan tanah airnya mendapat ancaman.

Sementara yang tipe pengkhianat, dijelaskan lebih lanjut oleh Caturida, pilihan dirinya diputuskan berdasarkan kepentingan, tawar menawar, untung dan rugi serta mencari selamat. Dalam konteks seperti ini, para pengkhianat tidak memikirkan masa depan bangsa dan negaranya tetapi diri pribadinya bersama para kelompoknya. Ada pamrih yang selalu menjadi ukuran pengambilan keputusannya.

Dosen UMB  Jakarta ini juga menganjurkan kepada para mahasiswa untuk menggunakan nalar dalam mengunyah setiap informasi yang diterimanya. Tanpa menggunakan nalar membiarkan diri mahasiswa dikunyah oleh informasi hoax dan bernilai negatif. Tantangan dan ancaman Indonesia di masa mendatang lebih berat dan sebagai calon pemimpin masa depan, mahasiswa harus menjadi pahlawan yang memiliki sense of crisis. (Very)

Artikel Terkait
Direktur Indo Barometer M Qodari dan Demokrat Tanggapi Gugatan Uji Materi Dr Audrey Agar Pelantikan Prabowo Dipercepat
Mungkinkan Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Bisa Dipercepat? Simak Penjelasannya!
Upacara Peringatan ke-116 Hari Kebangkitan Nasional di Kabupaten Maybrat: Menuju Indonesia Emas
Artikel Terkini
Dikunjungi Menko PMK dan Mensos, Masyarakat Korban Banjir Bandang dan Longsor Terima Bantuan Dari Presiden Joko Widodo
Direktur Indo Barometer M Qodari dan Demokrat Tanggapi Gugatan Uji Materi Dr Audrey Agar Pelantikan Prabowo Dipercepat
Mungkinkan Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Bisa Dipercepat? Simak Penjelasannya!
WWF ke-10 di Bali, Deklarasi Menteri Resmi Diadopsi 133 Negara dan Organisasi Internasional
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Maybrat Lakukan Study Tour ke Minahasa Tenggara
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas