INDONEWS.ID

  • Kamis, 14/05/2020 15:30 WIB
  • Covid-19 dan Tuntutan Hukum Terhadap China

  • Oleh :
    • indonews
Covid-19 dan Tuntutan Hukum Terhadap China
Elias Sumardi Dabur adalah Advokat dan Pendiri Akuity Law Firm (Foto: Ist)

Oleh: Elias Sumardi Dabur*)

Opini, INDONEWS.ID - Covid-19 membawa nestapa tidak hanya bagi raga manusia, tapi juga berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Situasi menekan ini menimbulkan lahirnya tuntutan hukum terhadap pemerintah China di sejumlah negara. Gelombang gugatan hukum terhadap China saat ini terus bergulir sebagaimana dilaporkan dalam pemberitaan media-media. Sejak Maret hingga Mei 2020, sedikitnya ada sepuluh upaya hukum yang diajukan, mulai dari negara bagian Missouri dan Nevada Amerika Serikat (AS), menyusul Inggris, Australia dan India. Belakangan, negara-negara bagian lain di AS, seperti California, Florida, pennyslavania dan Texas juga mengajukan tuntutan hukum.

Baca juga : Kasus COVID-19 kembali meningkat

Enam negara bagian di AS mengajukan gugatan perwakilan kelompok (Class Action) mewakili setiap orang, badan hukum, kelompok usaha yang mengalami penderitaan, kerugian, kerusakan akibat Covid-19. Tuntutan mereka hampir identik, putusan injenctive relief. Tuntutan ini tidak secara langsung menuntut ganti rugi uang (monetary benefits), tapi lebih kepada tekanan kepada tergugat untuk mengubah perilaku.

Sementara itu, penggugat lain dalam petitum menuntut China melakukan reparasi karena melanggar kewajiban hukum internasional dengan tidak melaporkan kejadian Covid-19 secara cepat dan transparan.

Baca juga : Mengenal Tujuh Aspek Vaksin Booster COVID-19

Bagaimana prospek langkah-langkah hukum ini? Dapatkah China diadili di pengadilan negara-negara bagian AS? Apakah China bisa diadili di Mahkamah Internasional?

Imunitas Kedaulatan

Baca juga : Peran Experiential Travel dan Digital Story Telling dalam Mengembangkan Desa Wisata di Indonesia Pasca Pandemik Covid-19

Upaya litigasi ini sayangnya bakal berbenturan dengan tembok besar hukum dan non-hukum. Penghalang besar pertama adalah soal sikap China. Dalam kasus nyata saja, yakni terkait sengketa territorial di Laut China Selatan antara China dan Filipina, Tiongkok menganggap putusan tribunal internasional yang memenangkan Filipina tidak lebih dari secarik kertas. Apalagi, dalam perkara yang belum dapat dibuktikan secara saintifik bahwa virus Covid-19 ini berasal dari China. Hal ini bisa diikuti dari protes keras pemerintah China kepada Presiden AS, Donald Trump yang sempat memakai frasa “virus China” untuk menyebut Covid-19.

Kesulitan lainnya, China dilindungi prinsip hukum sovereign immunity (Kekebalan kedaulatan). Secara singkat, doktrin ini menentukan pengadilan negara asing tidak dapat mengadili negara dan pejabat negara asing. Prinsip ini merefleksikan asas hukum “Par in parem, imperium non habet.” Artinya, suatu negara berdaulat harus menghormati perbuatan dari negara berdaulat lainnya. Dan hakim dari negara berdaulat yang satu tidak dapat mengadili tindakan dari negara berdaulat lainnya.

Dalam hukum internasional, kekebalan kedaulatan ini memiliki kedudukan kuat. Pada 2002, Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) menguatkan kembali akan pentingnya prinsip imunitas ini dalam rangka memfasilitasi relasi internasional yang positif dan efektif dalam kerjasama antarnegara serta menjaga stabilitas politik global dan keamanan.

Dalam perkembangannya, imunitas ini memang tidak lagi absolut. Ada restriksi atau pembatasan-pembatasan tertentu. Misalnya, jika negara bertindak dalam fungsinya sebagai pedagang atau melakukan aktivitas ekonomi di negara lain, imunitas kedaulatan itu tidak berlaku. Namun sebaliknya, membuktikan bahwa sebuah negara menjalankan peran sebagai pedagang tidak mudah.

Demikian pula, dalam kasus pelanggaran atau kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti aksi terorisme, pembunuhan dan agresi, pejabat negara bisa dimintakan pertanggungjawaban secara hukum di Mahkamah Internasional.

Di Amerika Serikat, asas hukum publik ini diadopsi dengan diundangkanya “Foreign Sovereign Immunity Act of 1976 (FSIA)”. Diadopsinya Undang-undang FSIA ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada negara asing dari beban litigasi.

Selain itu, dalam sistem hukum AS, dikenal pula yurisprudensi Act of State Doctrine. Suatu prinsip hukum yang didasarkan pada keadaan khusus tentang pembatasan kekuasaan. Bukan saja diakui kedaulatan dari negara-negara asing, bahkan pihak swasta asing dalam suatu proses peradilan dapat mengajukan Act of State Doctrine ini.

China tentunya mengajukan alasan yurisdiksi (imunitas primer) dan yurisprudensi Act of Stae Doctrine (imunitas sekunder) sebagai dasar pembelaan untuk menolak diadili di pengadilan-pengadilan negara-negara bagian AS.

Hukum Internasional Tentang Penyakit Menular dan Tanggung Jawab Negara

Tuntutan lain bahwa China harus memberikan kompensasi kerugian terhadap negara-negara lain akibat Covid-19 dengan dasar prinsip hukum internasional tentang tanggung jawab negara merupakan persoalan yang rumit. Sejak abad ke-20, tidak ada satu pun kovenan internasional yang mengatur pembayaran kompensasi atas kerusakan di negara lain yang dihubungkan dengan pelanggaran traktat penyakit menular. Bahkan, pakta terbaru, The International Health Regulation (2005) tidak memiliki ketentuan pada isu ini.

Demikian pun, kalau merujuk pada Hukum Kebiasaan Internasional tentang tanggung jawab negara. Sepanjang sejarah Kerjasama Kesehatan Global, Hukum kebiasaan ini tidak menunjukan peran yang kelihatan dalam hal terjadinya epidemi. Bahkan, ketika suatu negara dinyatakan telah melanggar aturan yang berlaku.

Tiadanya praktik ganti rugi yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional disebabkan oleh pertautan kepentingan antara pertimbangan politik dan epidemologis. Memenuhi kewajiban perjanjian internasional untuk melaporkan wabah penyakit berhubungan dengan tantangan ilmiah, persoalan kesehatan publik dan kalkulasi kesulitan secara politik.

Sementara itu, di sisi lain, negara-negara menyadari bahwa ancaman pathogen dengan potensi penyebaran lintas batas bisa saja muncul di berbagai negara. Sebagai contoh, meskipun pandemik influenza 1918-1919 asal-muasalnya masih belum jelas, Amerika Serikat masuk dalam daftar potensial negara asal penyebaran pandemik ini. Virus HIN1 yang menyebabkan pandemik influenza tahun 2009 terdeteksi pertama kali di AS.

Realitas ini membuat negara-negara berbagi kepentingan yang sama untuk tidak terlalu legalistik dan menggugat isu-isu berkaitan dengan penyakit menular. Hal ini memberi suatu gambaran bahwa membawa China ke Mahkamah Internasional sulit dilakukan.

Kesehatan Publik sebagai Agenda Utama

Tantangan hukum dan non-hukum ini disadari betul oleh para penggugat. Hal itu terbukti dari upaya menghapus imunitas China dari pengadilan di AS, dengan mengusulkan Undang-Undang Keadilan Korban Covid-19 yang disponsori Senator dari Partai Republik, daerah pemilihan Missouri, Josh Hawley. Namun, usaha ini sulit karena bersifat rasial, diskriminatif dan menyangkut isu sensitif dalam hubungan AS dan China.

Terlepas dari kesulitan-kesulitan yang ada, langkah hukum yang diajukan pihak swasta terhadap negara ini menarik. Aksi ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah pandemik, setidaknya 100 tahun terakhir, sejak pandemik Flu Spanyol 1918. Bahkan, negara bangsa tidak pernah menggugat negara lain atas kerugian yang disebabkan penyakit menular.

Aksi hukum ini bisa dibaca sebagai desakan kepada China dan negara-negara umumnya agar mengubah perilaku dengan bersikap lebih transparan dan berbagi informasi yang cepat bila ada kejadian luar biasa terkait penyakit menular. Upaya hukum ini bisa juga dilihat sebagai sinyal perlawanan masyarakat terhadap negara-negara yang lebih mementingkan pertimbangan politik sehingga wabah penyakit dan dampaknya tidak diatur secara jelas dalam kovenan-kovenan internasional.

Oleh karena itu, setelah pandemik Covid-19 berlalu, mudah-mudahan, Komisi Hukum Internasional PBB dapat menjadikan Covid-19 sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun aturan baru terkait sanksi bagi negara yang menjadi sumber persebaran penyakit.

Lebih dari itu, Majelis Umum PBB diharapkan dapat menggelar sidang khusus untuk merevisi keseluruhan agenda global. Keamanan manusia (human security) dengan jalan ketahanan pangan, air dan lingkungan bersih serta peduli pada kesehatan publik mesti menjadi agenda utama.*

*) Elias Sumardi Dabur adalah Advokat dan Pendiri Akuity Law Firm

Artikel Terkait
Kasus COVID-19 kembali meningkat
Mengenal Tujuh Aspek Vaksin Booster COVID-19
Peran Experiential Travel dan Digital Story Telling dalam Mengembangkan Desa Wisata di Indonesia Pasca Pandemik Covid-19
Artikel Terkini
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Pj Bupati Maybrat Temui Tiga Jenderal Bintang 3 di Kemenhan, Bahas Ketahanan Pangan dan Keamanan Kabupaten Maybrat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas