INDONEWS.ID

  • Kamis, 25/06/2020 21:30 WIB
  • GMKI: Mahasiswa Akan Mengawal Semua Kebijakan Negara Terhadap Papua

  • Oleh :
    • very
GMKI: Mahasiswa Akan Mengawal Semua Kebijakan Negara Terhadap Papua
Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) menggelar diskusi bertajuk “Pasca Putusan 7 Tapol Papua, Menggugat Negara Hukum Rasisme”, di Jakarta, Kamis (25/6). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Majelis hakim pengadilan negeri (PN) Balikpapan Kalimantan Timur memutuskan bahwa tujuh tahanan politik (tapol) Papua dinyatakan bersalah dalam sidang putusan pada (17/6/2020).

Ketujuh Tapol Papua tersebut dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan tindakan pidana makar. Namun vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Baca juga : Semangat Kartini dalam Konteks Kebangsaan dan Keagamaan Moderen

Menyikapi putusan tersebut, Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) menggelar diskusi bertajuk “Pasca Putusan 7 Tapol Papua, Menggugat Negara Hukum Rasisme”, di Jakarta, Kamis (25/6).

Diskusi menghadirkan pemateri di antaranya, Direktur Perkumpulan Advokat Ham Papua” (PAHAM) Gustaf Kawer, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari, Direktur Eksekutif Lokatura Hariz Azhar, Manager Advokasi Yayasan Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Masyarakat Adat (PUSAKA) Tigor Hutapea, dan Mantan Komanas HAM RI atau Aktivis HAM Natalius Pigai. Diskusi tersebut diikuti oleh seluruh anggota GMKI seluruh Indonesia maupun semua komponen organisasi mahasiswa Cipayung.

Baca juga : Kementerian PUPR Tuntaskan Pembangunan Enam Titik Sumur Bor Bertenaga Matahari di Mamuju

Dalam kata pembukaan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Korneles Galanjinjinay mengatakan, Pengurus Pusat GMKI sudah berulangkali melakukan kajian serta pengadvokasian terkait isu rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya. Saat itu, kata Korneles, koordinator Wilayah V telah melakukan pendampingan terhadap mahasiswa Papua yang menjadi korban rasisme dari ormas yang represif serta juga anggota aparat TNI.

Selanjutnya, Korneles mengatakan bahwa kebebasan berpendapat saat ini kembali ditekan. Jika pada era Orde Baru para mahasiswa dan para pejuang HAM dihilangkan dengan cara diculik, maka saat ini kembali muncul gaya otoritarianisme baru yang dilakukan oleh Negara. Hal tersebut dapat terlihat dalam beberapa kasus seperti diskusi mahasiswa yang kembali dibubarkan.

Baca juga : Kemenangan Prabowo-Gibran Peluang Bagi Pengembangan Ekonomi Kelautan dan Konektivitas Antarpulau

“Kebebasan ekspresi menyampaikan pendapat telah diberangkus oleh negara itu sendiri, termasuk tindakan negara lebih banyak melakukan aksi represif kepada mahasiswa Papua. Praktek-praktek negara dalam membungkam kebebasan berekpresi dengan selalu mengadakan teror dalam setiap diskusi yang berbicara terkait Papua, menunjukan bahwa negara gagal menjamin kebebasan berpendapat dan mengayomi orang Papua,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers.

Karena itu, Korneles mengatakan, para mahasiswa akan terus mengawal para Tapol Papua.

“Maka teman-teman mari kita bersama-bersama menjadi pionir gerakan untuk mengawal semua kebijakan negara kepada orang Papua. Karena jika tidak, maka keadilan tidak pernah ditegakkan kepada orang asli Papua yang ingin menyampaikan pendapat di depan umum dalam memperjuangan diskriminasi rasial,” ujarnya.

Direktur Perkumpulan Advokat Ham Papua (PAHAM) Gustaf Kawer mengatakan, penahanan tujuh tahanan politik Papua oleh Jaksa Penuntut Umum di Balikpapan merupakan sebuah ketidakadilan negara. Serta sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang Papua dalam menyampaikan pendapat di depan umum. Sebab kata dia, ketujuh Tapol tersebut merupakan mahasiswa yang sedang memperjuangkan hak sesamanya terhadap bentuk diskriminasi yang terjadi di Surabaya.

“Ketika melakukan proses persidangan kepada tujuh Tapol, Negara telah ikut serta memberi ruang kepada aparat untuk melakukan penindasan terhadap orang Papua. Sebab, ketujuh tapol tersebut dipindahkan ke Balikpapan untuk disidangkan. Dimana hak pembelaan hukum oleh pengacara juga dibatasi. Hingga sampai pada putusan hakim pun tidak memiliki bukti yang kuat dalam fakta persidangan. Karena ketujuh tapol malah divonis dengan hukuman yang sangat tinggi, dibandingkan pelaku rasisme di Surabaya yang vonis hukumannya sangat rendah,” ungkapnya.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari menjelaskan, melihat persoalaan ketidakadilan dalam putusan kepada ketujuh tapol tersebut, seolah-olah Negara hanya berdiam diri dalam setiap persoalan orang Papua. Sebab, dalam setiap persoalan orang Papua isu yang dibangun dalam setiap fakta persidangan adalah pasal makar. Orang-orang Papua selalu dijerat dengan pasal makar yang buktinya tidak disebutkan oleh hakim ketika dalam persidangan.

“Dimana berbicara tentang makar, maka harus dibuktikan siapa yang dirugikan serta wajib menghadirkan saksi. Tapi, kenyataannya setiap persidangan orang Papua hakim tidak pernah menghadirkan saksi maupun fakta yang terjadi. Artinya pasal makar akan selalu digunakan untuk memberantas kebebasan orang Papua dalam hal berpendapat,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lokatura Hariz Azhar menjelaskan, dalam setiap persoalan Papua, Negara perlu hadir untuk menegakkan keadilan. Tidak hanya berbicara pembangunan yang ada di Papua. Tapi kata Azhar, masalah penegakkan Hak Asasi Manusia sudah menjadi tradisi penindasan negara terhadap orang Papua, mulai dari menambah aparat kemanan yang bukan menjadi solusi keamanan di Papua. Malah penambahan aparat keamanan tersebut, katanya, akan menambah konflik besar, karena banyak membungkam kebebasan berekspresi bagi orang Papua itu sendiri.

“Maka sebagai masyarakat Indonesia harus kita sama-sama berjuang untuk menegakkan keadilan di Tanah Papua. Serta Negara juga jangan hanya terus melakukan pembangunan, tapi harus hadir dalam setiap persoalan orang Papua yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Supaya isu rasisme tidak lagi terulang,” jelasnya.

 

Konstruksi Sosial yang Dibangun Negara

Manager Advokasi Yayasan Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Masyarakat Adat (PUSAKA) Tigor Hutapea memaparkan, persoalan rasisme yang terjadi yaitu karena adanya kontruksi sosial yang dibangun oleh Negara dalam bentuk kekuatan politik bagi orang Papua.

Hampir setengah bagian wilayah Papua, katanya, merupakan wilayah konsesi dalam hal lahan industri. Oleh karena itu, penegakkan hukum bagi orang Papua selalu tidak adil. Karena disebabkan adanya sebuah kepentingan politik demi menguasai alam Papua.

“Sebenarnya harus ada pendekatan hukum kepada masyarakat Papua. Serta hentikan semua tindakan pengiriman keamanan yang akan membuat masyarakat tetap menjadi resah dan takut. Karena yang orang Papua inginkan adalah pendekatan adat, bukanlah dengan mengirimkan aparat kemanan. Sebab orang Papua sendiri lebih damai apabila tidak ada aparat keamanan yang represif,” paparnya.

Selanjutnya, mantan anggora Komanas HAM yang juga Aktivis HAM Natalius Pigai mengatakan bahwa semua persoalaan rasisme dan diskriminasi bagi orang kulit hitam sudah dimulai sejak masa penjajahan. Karena itu, hingga masa kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah memilah orang Papua untuk merupakan orang terbelakang. Karena berdasarkan letak geografis dan biologis orang Papua berbeda. Maka isu inilah yang kembali diangkat saat ini.

“Dimana ketika orang-orang Papua mau mengadakan diskusi tentang masa depan daerahnya selalu dituduh melawan terhadap negara. Maka hal itulah yang menjadi kenyataan bahwa secara jelas Negara gagal melindungi orang Papua itu sendiri,” tegasnya.

Natalius Pigai menyatakan bahwa kehadiran Negara belum maksimal dalam mengawal persoalan di Papua. Di mana ketika ada aktivis HAM maupun mahasiswa yang mau mengadakan diskusi terkait Papua selalu diteror oleh buzzer Negara. Tapi, malah Negara diam saja, tanpa adanya pengungkapan atau penangkapan kepada si peneror.

“Kejadian-kejadian seperti itulah yang semakin memperjelas bahwa persoalan Papua masih menjadi pekerjaan rumah bagi Negara. Maka keadilan tidak pernah ada di tanah Papua, apabila Negara masih memberikan ruang kebebasan pada aparat kemanan untuk menindas secara represif terhadap orang Papua itu sendiri,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
Semangat Kartini dalam Konteks Kebangsaan dan Keagamaan Moderen
Kementerian PUPR Tuntaskan Pembangunan Enam Titik Sumur Bor Bertenaga Matahari di Mamuju
Kemenangan Prabowo-Gibran Peluang Bagi Pengembangan Ekonomi Kelautan dan Konektivitas Antarpulau
Artikel Terkini
Semangat Kartini dalam Konteks Kebangsaan dan Keagamaan Moderen
Kementerian PUPR Tuntaskan Pembangunan Enam Titik Sumur Bor Bertenaga Matahari di Mamuju
Kemenangan Prabowo-Gibran Peluang Bagi Pengembangan Ekonomi Kelautan dan Konektivitas Antarpulau
Musrenbang RPJPD Tahun 2025-2045, Kalimantan Barat Tawarkan Visi Pembangunan Berkelanjutan
Kemenparekraf Kick Off Akselerasi Sertifikasi Halal Produk Makanan dan Minuman di 3.000 Desa Wisata
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas