Jakarta, INDONEWS.ID - Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa menegaskan, rencana pemerintah melaksanakan program strategis nasional food estate (lumbung pangan) di Provinsi Kalimantan Tengah akan berakhir gagal. Penegasan tersebut ia sampaikan setelah melihat beberapa indikator dasar terwjudnya program nasional itu belum dipenuhi pemerintah.
Dalam penjelasannya, Dwi Andreas Santosa menyebutkan, setidaknya ada empat indikator penting yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebelum melaksanakan program lumbung pangan atau food estate. Pertama kelayakan tanah, kelayakan infrastruktur, kelayakan budidaya dan teknologi dan kelayakan sosial dan ekonomi.
"Berlali- kali saya sampaikan baik di teman-teman pemerintahan, di wedminar, di teman-teman media bahwa itu proyek yang jawaban akhirnya sudah ada, yaitu gagal," kata Dwi Andreas Santosa dalam webminar yang dilaksanakan oleh Pantau Gambut Nasional bertajuk `Food Estate Untuk Krisis Pangan 2020, Perlu atau Tidak, Jakarta, Selasa,(1/09/2020) kemarin.
Ia pun menguraikan lebih lanjut terkait dengan penilaian terhadap rencana pemerintah membangun lumbun pangan nasional di salah satu provinsi di Pulau Kalimantan tersebut. Menurutnya, beberapa faktor pendukung untuk mencapai program itu terlaksana seperti kelayakan tanah, kelayakan infrastruktur, kelayakan budidaya dan teknologi dan kelayakan sosial dan ekonomi, belum dipenuhi oleh pemerintah.
Menurutnya, beberapa point penting ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika salah satunya tidak ada maka proyek tersebut pasti berujung mangkrak.
Lebih lanjut ia menjelaskan, studi terhadap empat point kelayakan dalam merencanakan program lumbung pangan mesti digarap serius oleh pemerintah atau badan yang akan melaksanakan program yang ada. Ini menjadi prasyarat utama jika ingin rencana yang telah ditetapkan sukses di kemudian hari.
Namun, Kepala Bioteknologi IPB ini menegaskan, selama ini pemerintah sering menganggap studi kelayakan itu bukan hal penting dalam membangun lumbung pangan. Studi kelayakan dibuat biasa-biasa saja sehingga pada akhirnya sebuah program gagal besar.
"Sering kali kelayakan -kelayakan tersebut dinisbikan dan akhirnya dibuat-buat, dipas- dipaskan layak gitu kan, akhirnya bubar, hanya tinggal cerita ketika kita telah menghabiskan puluhan triliunan," jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, Dwi Andreas Santosa juga mempertanyakan alasan pemeritah mengatakan pada tahun 2020 ini akan terjadi krisis pangan. Padahal menurutnya, secara global masalah seputar pangan masih dianggap aman - aman saja.
Pemerintah seharusnya terlebih dahulu mempelajari secara cermat berkaitan dengan perkembangan pangan global saat ini. Prediksi badan PBB yang menagani masalah pangan mesti dipelajari dengan baik dan melihat kenyataan sesungguhnya di Indonesia.
Ia kemudian menerangkan, ada dua persyaratan utama terjadinya krisis pangan. Pertama adalah produksi turun pada tahun tersebut atau tahun - tahun sebelumnya, dan karena produksi pangan turun maka kenaikan harga pangan cukup tinggi. Kondisi ini, menurutnya, belum terjadi.
"Dengan demikian saya simpulkan krisis pangan dunia tidak akan terjadi untuk tahun 2020," tutupnya,".