INDONEWS.ID

  • Selasa, 20/10/2020 10:45 WIB
  • Menyoal Proyek Biodiesel Jokowi

  • Oleh :
    • indonews
Menyoal Proyek Biodiesel Jokowi
Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia, Ferdy Hasiman

Oleh: Ferdy Hasiman, Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia

Opini, INDONEWS.ID- Dalam berbagai pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulangkali menyampaikan, pemerintah sedang membangunan kemandirian energi dengan mengembangkan energi biofuel (minyak sawit) B20 dan B30 menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Baca juga : Luhut Binsar Panjaitan Diangkat sebagai Ketua Percepatan Pembangunan PLTN, Mengapa Muncul Lagi Isu PLTN di Indonesia?

Setelah sukses menerapkan kebijakan penggunaan biodiesel berupa acid methyl ester (FAME) dari minyak sawit 20 persen dan 80 persen minyak diesel (B20), mulai awal januari 2020, pemerintah meningkatkan penggunaan biodiesel 30 persen dan minyak diesel 70 persen (B30).

Jika diimplementasikan dengan baik, maka secara bertahap akan ditingkatkan menjadi B50. Penggunaan minyak diesel kemudian menjadi lebih kecil dan menghemat anggaran negara sebesar Rp 110 trilun (produksi B30 9.5 juta kilo liter).

Baca juga : Perubahan Dramatis Indonesia Menuju Semi-Otoritarianisme dan Politik Dinasti

Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Presiden No.66/2018, tentang kewajiban menggunakan biodiesel bagi sektor non-subsidi, seperti transportasi tambang, kereta api dan alat berat.

Pengembangan biodiesel menimbang tiga hal. Pertama adalah energi alternatif. Biodiesel menjadi energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Semua negara membutuhkan energi baru terbarukan (renewable energy), karena energi Fosil berkurang, sementara konsumsi energi terus meningkat. Maka, diperlukan bahan bakar nabati. Sawit merupakan renewable energy, karena jika habis bisa ditanam lagi (endless resource).

Baca juga : Mencerahkan Kembali Langit Demokrasi Indonesia

Kedua, mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Produksi minyak nasional terus menurun seiring eksplorasi lapangan minyak sejak jaman Orde Baru-sekarang. Lapangan-lapangan minyak kita sudah tua dan sulit menaikan produksi. Jika ingin menaikan produksi, Pertamina harus mencari ke laut dalam (depth water) atau ekspansi ke luar negeri dengan biaya investasi besar. Penurunan produksi minyak berdampak pada peningkatan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), seperti bensin, solar dan diesel. Ini pemicu defisit neraca perdagangan.

Ketiga, paradigma pengolahan. Indonesia memasuki era baru, dari menjual bahan baku mentah dengan harga murah menuju industri pengolahan, termasuk pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel agar ada nilai tambah ekonomi.

Pengolahan sawit menjadi biodiesel mendesak di tengah penurunan harga sawit akibat kampanye kampanye negatif parlemen Eropa yang ujungnya berimbas pada menurunnya pendapatan produsen dan penerimaan negara. Pertanyaannya adalah siapa yang diuntungkan dari program biodiesel?

Kolusi Quota

Sektor kelapa sawit Indonesia berbeda dengan industri pertambangan mineral atau minyak dan gas. Di pertambangan mineral, kepemilikan lahan dimonopoli korporasi-korporasi asing, swasta nasional dan negara. Naik turun produksi bahan tambang dan penerimaan dari sektor tambang tergantung pada kinerja korporasi.

Di sektor energi pun demikian. Lapangan-lapangan migas berskala kecil-besar dioperatori perusahaan negara (Pertamina), swasta nasional dan asing. Minyak hasil eksplorasi korporasi nasional-asing dibeli Pertamina untuk diolah di kilang menjadi BBM (bensin, solar, avtur dan diesel).

Struktur kepemilikan seperti itu berbeda dengan sawit. Sejak jaman Orde Baru sampai sekarang, kepemilikan lahan sawit tidak sepenuhnya dimonopoli korporasi. Petani swadaya memiliki lahan besar.

Data Kementerian Pertanian (2018) menunjukkan, jumlah petani sawit mencapai 2.6 juta kepala keluarga. Total seluruh lahan sawit mencapai 14.3 juta hektar; korporasi swasta mengontrol 54 persen (7.7 juta hektar), perusahaan negara 7 persen (715.000 ha) dan petani swadaya mengontrol 41 persen (5.8 juta ha).

Lahan besar tentu sejalan dengan kinerja produksi. Produksi sawit korporasi swasta mencapai 26,5 juta ton (51 persen), perusahaan negara sebesar 2,5 juta (6 persen) dan perkebunan rakyat sebesar 14 juta ton (33 persen). Produktivitas perusahaan swasta mencapai 4.070 kg/ha, perusahaan negara sebesar 3.681 kg/ha dan produktivitas petani sebesar 3.006 kg/ha.

Dengan begitu, petani sawit memiliki andil besar mendorong produksi Crude Palm Oil (CPO) dan pertumbuhan ekonomi. Jika saja diperhatikan serius, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang di sektor hulu dalam mendorong program biodiesel berkelanjutan.

Sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen-produsen biodiesel yang sudah ditentukan quota-nya oleh negara, tetapi juga petani swadaya. Namun realitasnya berbeda. Nasib petani sawit dan korporasi berbeda. Kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit. Korporasi selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan publik.

Dalam kaitan dengan biodiesel, pemerintah melalui kementerian perdagangan hanya memberi kuota kepada 18 perusahaan sawit. Wilmar Nabati mendapat kuota 1.3 juta kiloliter, Wilmar Bioenergi 1.1 juta kilo liter, Musim Mas mencapai 1.035 juta kilo liter, Tunas Baru Lampung sebesar 341.890 kilo liter dan Sinarmas Bio Energy sebesar 365.664 kilo liter.

Ratusan perusahaan kecil dan petani sawit tak menentu nasibnya, apakah bisa menjual sawit ke 18 korporasi di atas atau tidak. Ruang bagi petani menjual sawit ke korporasi sangat kecil, karena korporasi-korporasi yang mendapat kuota sudah menguasai sawit hulu-hilir.

Tak ada lelang terbuka dalam penentuan kuota. Pemberian kuota biodiesel sama seperti penentuan kuota impor bawang putih dan kuota lainnya. Nuansa kolusi dalam pemberian kuota sangat kental, karena sangat tak transparan, sehingga ada satu dua korporasi besar yang mendapat kuota begitu besar.

Pemerintah hanya beralasan, pemberian kuota kepada 18 perusahaan lebih karena kesiapan infrastruktur berupa pabrik biodiesel. Padahal di lapangan, korporasi-korporasi ini ada yang baru membangun kilang biodiesel. Jika korporasi-korporasi ini sudah siap, mengapa kemudian pemerintah melalui melalui Badan Pengelolah Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) memberikan insentif berupa dana besar kepada korporasi-korporasi besar ini untuk pengembangan bisnis dan biodiesel.

Tahun 2017 misalnya, Wilmar Group mendapat Rp 4.16 triliun dan Musim Mas Rp 1.54 triliun. Padahal, korporasi-korporasi besar ini sudah banyak mengeruk untung dari pengolahan sawit.

Wilmar misalnya, menjadi salah satu pemain di sektor agrikultur paling besar memiliki kapitalisasi pasar mencapai 19 miliar dolar dengan diversifikasi bisnis mulai dari sawit, gula, oleochemical dan memiliki 11 pabrik biodiesel. (Baca: Wilmar International; 2018).

Bahkan jika digabung, pendapatan 7 perusahaan sawit yang mendapat kuota (Sinarmas Agro, Astra Agro Lestari, Salim invomas, Sampoerna Agro, Tunas Baru Lampung, Eagle High Plantation dan Dharma Satya Nusantara) mencapai Rp 42.1 trilin tahun 2019. Tanpa diberi insentif dan dana dari negara, korporasi-korporasi besar ini bisa melakukan ekspansi bisnis termasuk mengembangkan pabrik biodiesel.

Korporasi harus pandai membaca pergerakan pasar dan paradigma sawit ke depan, bukan menjual dalam bentuk mentah, tetapi harus diolah menjadi biodiesel atau minyak goreng. Akses mudah dari negara kepada korporasi-korporasi biodiesel bukan hanya dana, tetapi juga buyer (pembeli). Kekuatan lobi membuat mereka dengan mudah mendapat pasar. Di mana-mana, orang berbisnis harus berkompetisi merebut pasar. Namun, perusahaan-perusahaan ini, tanpa susah-susah promosi, pasarnya sudah ada. PT Pertamina adalah pembeli terbesar biodiesel.

Tahun 2020, pertamina mendapat jatah pembelian biodiesel dari korporasi sebesar 8.3 juta kilo liter, sisanya dibeli AKR Corporindo (498.683 kl) dan Exxonmobi Lubricants (139.631 kilo liter). Pertamina dipaksa menjadi pembeli biodiesel korporasi-korporasi besar.

Hal ini mengingatkan publik pada Pertamina yang membeli BBM dari trader-trader minyak yang bermain di PT Pertamina Energi Trading (Petral). Pertamina membutuhkan bensin, solar dan diesel untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Trader-trader itu menjual BBM ke Pertamina dengan harga tinggi.

Pola ini membuat Pertamina tak mampu membangun kilang domestik untuk memproduksi bensin dan solar. Jika tak dikritisi, mafia bisa bermain melalui kebijakan quota biodiesel. Ini lebih berbahaya, karena negara membuat kebijakan.

Pemerintah tak memiliki political will agar Pertamina membangun diversifikasi bisnis di sektor hilir dengan cara memproduksi biodiesel, bensin, solar dan avtur sendiri.

Pertamina mestinya membangun pabrik biodiesel, bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan negara dan petani swadaya, sehingga harga tak ditentukan produsen dan negara tak merugi. Sampai kapanpun Pertamina kalau begini model bisnisnya tidak akan berubah, tetap menjadi inang bagi benalu-benalu korporasi. Ini semua terjadi karena lobi-lobi politik korporasi.

Masih ada hal serius lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasar biodiesel belum siap menerima perubahan bahan bakar yang akan digunakan. Di industri otomotif, misalnya, kehadiran B20 justru meningkatkan risiko kerusakan pada beberapa komponen pembakaran mesin diesel menggunakan solar.

Tanpa ada evaluasi atas program B20, risiko serupa bisa terjadi pada pengembangan B30 atau B50. Penyerapan terhadap produk B20 dan B30 juga masih sangat rendah. Hanya beberapa perusahaan, seperti PT Pertamina menjadi penyerap B20 dan B30. Supply yang besar dengan tingkat demand yang kecil akan menyebabkan harga produk turunan akan jatuh.

Belum lagi jika mencermati kebijakan pemerintah yang akan mempercepat produksi dan penggunaan mobil listrik, panas bumi (geothermal), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kehadiran energi alternatif dan ramah lingkungan ini juga membuat pasokan energi bertambah dan pasar biodiesel berpotensi tertekan.

Pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia memberi pelajaran berharga bagi perekonomian dunia dan nasional. Pandemi jangan hanya dibaca dari kacamata ekonomi, tetapi lebih luas lagi ke perspektif lingkungan hidup yang selalu diabaikan dalam setiap derap langkah kemajuan.

Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporan tahun 2020 menunjukan, risiko kerusakan lingkungan akibat industrialisasi sangat besar. Revolusi Industri dengan kemajuan teknologi terbukti tak mampu meminimalisir risiko kerusakan lingkungan. Selain itu siklus pertumbuhan akan terkoreksi jika tidak memperhitungkan aspek lingkungan.

Ekspansi lahan kelapa sawit untuk mendorong program biodiesel berupa B20 dan B30 tentu berdampak besar bagi lingkungan. Ekspansi sawit merusak lingkungan, karena kebun sawit dibangun dengan membabat jutaan hektar hutan primer. Memusnahkan jutaan plasma nutfah dan jutaan keanekaragaman hayati (menggantinya dengan monokultur sawit).

Pemusnahan plasma nutfah dapat berarti tertutupnya kemungkinan untuk meramu berjuta-juta "komposisi" (obat) yang dibutuhkan semua mahluk hidup. Pemusnahan keanekaragaman hayati, sudah pasti berdampak pada keseimbangan ekosistem.

Jika pemerintahan Jokowi tidak membuat kalkulasi tepat terkait pengembangan biodiesel, bukan tak mungkin risiko kerusakan lingkungan semakin besar. Singkat cerita, wabah corona memberi peringatan serius kepada pemerintah agar lingkungan hidup juga menjadi pertimbangan penting dalam proses pengambilan kebijakan.

Keterlibatan Petani

Pemerintah perlu memberikan mandat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara (BUMN) membeli hasil produksi kelapa sawit dari petani swadaya dengan harga sawit yang diatur. Jangan menggunakan harga CPO global, tetapi harga hasil valuasi untuk produk-produk turunan biodiesel.

Petani swadaya harus dilibatkan dalam menghasilkan produk turunan biodiesel dengan memberikan subsidi alat produksi, transfer knowledge dari perusahaan dan pemerintah. Pemerintah juga boleh memberlakukan aturan semacam Domestic Market Obligation di perusahaan tambang untuk diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan penerimaan kuota untuk membeli 30-40 persen sawit dari petani untuk pengolahan biodiesel.

Selain itu, Pertamina perlu bekerjasama dengan petani sawit. Pertamina membangun pabrik biodiesel, sementara petani sawit dan perusahaan-perusahaan perkebunan negara menjadi penyedia di hulu. Transformasi bisnis Pertamina dihilir perlu dipikirkan serius agar tak hanya menjadi pembeli di sektor hilir.

Pertamina harus menjadi pemain utama agar mampu berkompetisi. Tanpa melakukan transformasi, Pertamina akan mengulang nasib sama menjadi pembeli BBM dari para trader atau seperti PLN yang hanya bertugas membeli batubara dari perusahaan-perusahaan batubara, tetapi tak diberi akses oleh negara mengontrol sektor hulu.

Akhirnya, pemerintah jangan melupakan bagaimana mengatasi masalah sustainability (layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan). Pengembangan sawit berwawasan lingkungan adalah jalan menyelamatkan hutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Tulisan disadur dari Harian Kompas edisi Selasa 20 Oktober 2020 dengan judul " Mencermati Proyek Biodiesel".

Artikel Terkait
Luhut Binsar Panjaitan Diangkat sebagai Ketua Percepatan Pembangunan PLTN, Mengapa Muncul Lagi Isu PLTN di Indonesia?
Perubahan Dramatis Indonesia Menuju Semi-Otoritarianisme dan Politik Dinasti
Mencerahkan Kembali Langit Demokrasi Indonesia
Artikel Terkini
Lagu Rujak Maznah ke Tuju ! Popular di Radio Bandung dan Jakarta
Mantap! PNM Jambi Nasilitasi Nasabah Pamerkan Produk di Bandara Sultan Thaha
Beri Peringkat idAA+, Pefindo Sebut PNM Punya Kas Internal Rp1,3 T dan Fasilitas Kredit Rp12 T untuk Bayar Utang
Tumpuan Pemenuhan Kebutuhan Beras, Fakultas Pertanian IPB Perkenalkan Sistem Padi Gogo
Top! Bayar Utang Jatuh Tempo, Pefindo Beri Rating idAA Plus untuk PNM
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas