INDONEWS.ID

  • Jum'at, 25/12/2020 13:30 WIB
  • Surat Terbuka Kepada Dewan: APBN dan SiLPA Bisa Merugikan Negara dan Melanggar Hukum

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Surat Terbuka Kepada Dewan: APBN dan SiLPA Bisa Merugikan Negara dan Melanggar Hukum
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Opini, INDONEWS.ID - Sementara ini, Bapak dan Ibu Dewan (Perwakilan Rakyat) mungkin tidak memperhatikan lagi pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan keuangan negara secara seksama.

Baca juga : Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama

Hal ini dapat dimaklumi. Karena Dewan sudah kehilangan hak budget atau hak anggaran sampai tahun 2022 akibat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 (Perppu Corona), yang kemudian disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 (UU Corona).

Berlandaskan Perppu dan UU tersebut di atas, pemerintah menetapkan APBN 2020 secara sepihak, tanpa perlu persetujuan Dewan. APBN 2020 hanya dituangkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2020 dan Perpres No. 72 tahun 2020, dengan defisit anggaran mencapai Rp1.039 triliun.

Baca juga : Kunker ke Halmahera Timur, Kepala BSKDN Beberkan Strategi Menjaga Keberlanjutan Inovasi

Dewan yang terhormat. Kami prihatin dengan cara pengelolaan APBN dan Keuangan Negara yang sangat mengkhawatirkan dan bisa membahayakan perekonomian nasional. Cara ini sudah berlangsung cukup lama, dan puncaknya tahun 2020.

Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini bisa memicu krisis fiskal (keuangan negara) dan krisis ekonomi. Selain itu, juga berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga : Pj Bupati Maybrat Kunjungi Batalyon SATGAS YONIF 133/Yudha Sakti di Susumuk

Alasannya sebagai berikut.

Pendapatan negara per November 2020 hanya Rp1.423 triliun, turun tajam dibandingkan tahun lalu Rp1.677 triliun. Sedangkan di sisi Belanja, terjadi kenaikan tajam, dari Rp2.046 triliun per November 2019 menjadi Rp2.306,7 triliun per November 2020.

Hal ini membuat defisit anggaran naik tajam, dari Rp368,9 triliun per November 2019 menjadi Rp883,7 triliun per November 2020, atau sekitar 6,3 persen dari perkiraan PDB. Defisit anggaran ini menjadi rekor defisit terbesar sepanjang Indonesia berdiri. Baik dalam nilai nominal maupun persentase PDB.

Dewan Yang Terhormat. Yang menjadi persoalan bukan kenaikan defisit anggaran yang fantastis ini. Namun yang menjadi persoalan adalah penarikan utang untuk menambal defisit anggaran tersebut yang terkesan “ugal-ugalan”.

Mohon maaf untuk kata “ugal-ugalan”. Karena, seyogyanya, penarikan utang yang juga disebut Pembiayaan Anggaran, hanya sebatas untuk membiayai defisit anggaran. Tidak boleh lebih. Hal ini juga tercantum di dalam Perpres dimaksud di atas: Perencanaan Pembiayaan (Penarikan Utang) sebesar defisit anggaran.

Tetapi, apa yang dilakukan pemerintah tidak seperti itu. Per November 2020, pemerintah sudah menarik utang untuk menutupi defisit anggaran sebanyak Rp1.104,8 triliun. Sehingga terjadi kelebihan Pembiayaan Anggaran, dinamakan SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran), sebesar Rp221,1 triliun. Setara 25 persen dari defisit anggaran. Besar sekali.

Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini sangat membahayakan perekonomian nasional. Selain juga bisa melanggar UU. Oleh karena itu, mohon Dewan Yang Terhormat mengevaluasinya secara cermat dan seksama.

Pertama, saldo akumulasi SiLPA (atau juga Saldo Anggaran Lebih (SAL)) per akhir tahun 2019 tercatat Rp212,7 triliun. Pertanyaannya, kenapa uang ini tidak digunakan untuk Belanja Negara dan menutupi defisit anggaran?

Sebaliknya, pemerintah bahkan menambah SiLPA Rp221,1 triliun hanya dalam periode 11 bulan tahun 2020 ini. Akibatnya, saldo akumulasi SiLPA per akhir November 2020 membengkak menjadi Rp433.8 triliun. Kelebihan penarikan utang (SiLPA) ini sebenarnya tidak diperlukan, dan mubazir.

Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3 memuat: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dewan Yang Terhormat. Praktek pengelolaan Keuangan Negara yang mengakumulasi SiLPA hingga Rp443,8 triliun jelas merupakan praktek tidak wajar, dan terbukti merugikan Keuangan Negara akibat pemerintah harus bayar bunga atas utang yang tidak diperlukan. Kalau suku bunga utang 6 persen per tahun, maka kerugian negara mencapai Rp26 triliun per tahun. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan?

Dengan demikian, unsur tindak pidana korupsi seperti dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor di atas sudah terpenuhi. Bukankah begitu? Apakah Dewan Yang Terhormat juga sependapat?

Selain itu, total kelebihan penarikan utang atau SiLPA sebesar Rp433,8 triliun tersebut bukan hanya berasal dari domestik. Tapi juga dari utang luar negeri (ULN) yang membuat ULN melonjak.

Dewan Yang Terhormat. Menurut Pasal 10 TAP MPR No XVI/MPR/1998, seluruh utang luar negeri harus dimasukan di dalam rencana anggaran tahunan, dan mendapat persetujuan Dewan. Apakah amanat TAP MPR ini sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah dan juga Dewan? Apakah seluruh ULN sudah ada di dalam APBN atau Perpres 54 maupun Perpres 72 tersebut di atas? Dan apakah Dewan sudah menyetujuinya?

Yang lebih memprihatinkan, menurut Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, dan dibahas bersama Dewan. Dengan demikian, APBN yang ditetapkan Perpres 54 dan Perpres 72 tersebut di atas berarti melanggar UUD, dan menjadi tidak sah demi hukum? Berarti, Dewan yang menyetujui Perppu Corona (menjadi undang-undang) dan turunannya Perpres 54 dan Perpres 72 pada prinsipnya juga melanggar UUD?

Seperti kita ketahui, kalau eksekutif melanggar UUD dapat diberhentikan. Bagaimana konsekuensi dan sanksi pelanggaran kalau Dewan melanggar TAP MPR dan UUD? Apakah sudah ada peraturannya? Mohon Dewan yang mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD, berkenan menjawab semua persoalan di atas. Terima kasih.*

Artikel Terkait
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
Kunker ke Halmahera Timur, Kepala BSKDN Beberkan Strategi Menjaga Keberlanjutan Inovasi
Pj Bupati Maybrat Kunjungi Batalyon SATGAS YONIF 133/Yudha Sakti di Susumuk
Artikel Terkini
LPER Mendapat Penghargaan Terkait Ketahanan Pangan Dari Kepala KODIM Kota Bekasi
Pj Bupati Maybrat menerima kunjungan kerja dari Kepala BPJS Kesehatan
Gelar Dharma Santi Nyepi BUMN 2024, Deputi: Keragaman Adalah Kekuatan dalam Mereformasi BUMN
Menteri AHY Jelaskan Tentang Reforma Agraria dan Agenda Undangan Bank Dunia di Depan Para Diplomat
Presiden Jokowi Resmikan Inpres Jalan Daerah Sepanjang 165 km pada 15 Kabupaten/Kota di Sultra
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas