Jakarta, INDONEWS.ID - DPR mendesak Kemendag dan BKPM untuk menetapkan pemasukan atau sumber bibit ayam atau grand parent stock (GPS) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2021. Sementara Permentan No 51 tahun 2011 sudah tidak relevan karena tidak sejakan dengan UU Cipta Kerja.
Menurut anggota Komisi VI DPR RI, Singgih Januratmoko, untuk menciptakan keadilan berusaha di perunggasan, pemerintah harus segera menata ulang kebijakan yang ada. “Untuk itu kami mendesak Kemendag dan BKPM segera memasukkan kebijakan impor sumber bibit atau GPS ayam broiler sesuai dengan PP 5 Tahun 2021,” tegasnya.
Menurut Singgih, PP Nomor 5 bagian dari pada undang-undang Cipta Kerja yang mengatur tentang norma standar prosedur dan kriteria dalam sistem pengolahan perizinan yang ada pada kementerian lembaga yang kesemuanya itu adalah berbasis Online Single Submission (OSS). Dengan sistem OSS ini semua pengelolaan ada di BKPM seduai dengan PP tersebut,”ujar Singgih.
Mengacu pada PP itu, lanjutnya, maka perihal penasukan atau impor sumber bibit ayam yang ada sekarang harus ditarik ke BKPM yang mengatur standar OSS.
Karena daging ayam ras dan telur sudah menjadi bahan pokok penting (Bapokting) maka maka sepatutnya dimasukkan dalam Peraturan Presiden tentang Neraca Komoditi. “Karena Peraturan Presidennya masih dibahas di Menko maka masih ada waktu utk memasukkan tentang impor GPS tersebut,” dia menambahkan.
Selain itu, dengan dimasukkan ayam yg disesuaikan pada PP No 5 tahun 2021 maka memberi kesempatan berusaha yang fair kepada semua pihak.
Untuk menyelaraskan ketentuan tersebut, Singgih juga minta Peraturan Menteri Pertanian No 51 tahun 2012 yg mengatur tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Benih dan Bibit Ternak ditinjau ulang agar sesuai dengan UU Cipta Kerja.
“Dengan adanya UU Cipta Kerja maka Peraturan Menteri Pertanian itu sekarang sudah tidak sesuai,” tegasnya.
Contohnya, sekarang ini hanya beberapa perusahaan saja yang mendapat alokasi impor GPS dalam jumlah besar sehingga memunculkan kesan adanya kartel dalam bisnis perunggasan. Sedangkan yang lain, imbuh Singgih, justru diperlakukan tidak fair, dikurangi impor sumber bibitnya sehingga usahanya terhambat. “Ini kan tidak senafas sama UU Cipta Kerja.” (Lka)