Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) mengecam keras aksi terorisme yang terjadi di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Akibat teror bom ini, sebanyak 20 orang mengalami korban luka hingga dilakukan perawatan di Rumah Sakit.
Menyikapi teror bom yang telah terjadi, Ketua Umum DPP GAMKI Willem Wandik mengatakan, pihaknya memberi kecaman keras terhadap aksi tak terpuji yang merusak rasa persatuan dan kesatuan antara sesama anak bangsa. Terhadap peristiwa, Wandik pun mengajak seluruh komponen bangsa untuk tetap menjaga kebersamaan dan solidaritas.
Menurut Wandik, aksi terorisme kerap kali hadir dengan tujuan untuk meneror dan mengganggu ketenangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, ia menegaskan, sebagai warga negara yang baik, kita tetap mengendepankan semangat solidaritas untuk merawat keutuhan NKRI.
"Keluarga Besar GAMKI mendoakan para korban, semoga bisa segera pulih, dan semoga seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus umat Kristen tetap tenang serta saling menjaga solidaritas dan kebersamaan dengan sesama anak bangsa, pasca terjadinya bom bunuh diri ini," kata Wilem Wandik melalui keterangan tertulisnya kepada media ini, Jakarta, Selasa,(30/03/2021)
Lebih lanjut ia menerangkan, pihak keamanan memiliki tugas berat untuk mengungkap peristiwa ini secara utuh dan menyeluruh. Hal ini penting untuk mencegah peristiwa yang sama terjadi kembali di masa yang akan datang.
Terhadap teror bom di Katedral Makassar ini, Wandik meminta Polri, BNPT, BIN, yang didukung oleh TNI, serta lembaga terkait lainnya dapat segera menangkap jaringan terorisme yang ada sehingga keamanan masyarakat bisa lebih terjamin, khususnya menjelang Hari Raya Paskah dan Hari Raya Lebaran yang akan terlaksana dalam beberapa waktu ke depan.
Selain itu, Wandik mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menetapkan langkah regulatif dalam rangka pencegahan aksi terorisme melalui Perpres No 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
"Dengan adanya kejadian di Makassar ini, akselerasi penerapan Perpres ini terbukti masih belum sempurna. Khususnya dalam melakukan perkiraan ancaman teror berbasis "lone wolf", yang nampaknya sulit diprediksi dengan akurat terkait waktu dan tempat eksekusi teror," kata Wandik yang juga merupakan anggota DPR RI dapil Papua ini.
"Kami mendorong kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat melakukan rencana dan strategi yang sistematis dan komprehensif, sehingga stabilitas keamanan nasional dan daerah dapat terjaga dengan baik," pungkasnya.
Sementara itu, menyikapi temuan terbaru kepolisian yang mengungkap identitas pelaku yang masih berusia 26 tahun, Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat menilai, pemerintah harus memberikan perhatian yang besar terhadap pemberantasan radikalisme dan terorisme melalui sektor pendidikan.
"Usia pelaku masih 26 tahun, kelahiran tahun 90an, termasuk segmen milenial. Saya rasa ini menjadi peringatan bagi kita, bahwa doktrin dan propaganda radikalisme terorisme itu menyasar generasi muda yang tidak memiliki pondasi ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang kuat," kata Sahat.
Menurut Sahat, terorisme berawal dari benih intoleransi dan eksklusivisme. Kemudian tumbuh menjadi pemikiran radikalisme, selanjutnya ekstremisme, yang dapat berujung pada aksi terorisme.
"Sangat penting sekali melakukan pencegahan pemikiran intoleransi dan eksklusivisme sejak dini melalui pendidikan kepada generasi muda. Generasi muda Indonesia harus diajar dan dilatih bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Keberagaman adalah kekayaan yang harus kita jaga dan rawat bersama," kata Sahat.
Sahat juga mengingatkan pentingnya mengawasi penyebaran paham radikalisme dan terorisme melalui media sosial.
"Polisi tadi mengungkap bahwa pelaku belajar merakit bom melalui media sosial. Sebagian besar generasi muda kita adalah pengguna media sosial. Jadi tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus proaktif mengawasi media sosial, dan melaporkan ke pihak berwajib jika ditemukan adanya konten-konten di media sosial yang diduga bermuatan doktrin radikalisme, terorisme, bahkan yang terkait dengan tata cara pembuatan bahan peledak ataupun aksi-aksi terorisme lainnya," pungkas Sahat.*