Jakarta, INDONEWS.ID -- Kepergian Daniel Dhakidae merupakan kehilangan bagi seluruh warga LP3ES dan Prisma. DD, begitu beliau dipanggil di LP3ES, hampir seluruh hidupnya “diwakafkan” bagi LP3ES dan Prisma.
“Istilah ini saya pakai karena Daniel adalah muallaf setelah menikah dan KTP-nya masih mencantumkan Islam. Sebagai individu sangat toleran dan boleh saya menyebutnya sebagai intelektual egaliter. Bahkan dia minta di antara teman-temannya tidak memanggil Bapak karena keseharian dengan panggilan Bapak merefleksikan hirarkhi dan itu dekat dengan feodalisme,” ujar Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Prof Didik J Rachbini melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (6/4).
“Itu yang ditekankan kepada saya sambil tertawa tertahan dan menganjurkan memanggilnya Bung karena egaliter dan ada semangat juang kepahlawanan,” lanjut Didik.
Kata Didik, intinya dia mengajarkan lingkungan dengan pikiran dan kultur egaliter, bukan feodal yang dilawannya sebagai biang kemunduran bangsa.
Karena itu, kata ekonom senior tersebut, fodalisme gaya orde baru sangat dibencinya sehingga dia menjadi intelektual yang keras terhadap pemerintahan Orde Baru. Tidak hanya itu, dalam diskusi keseharian dia kritis terhadap pemerintahan apa pun dan berdiri sebagai intelektual yang menjaga jarak bahkan sangat jauh dengan kekuasaan.
“Daniel bersama saya, Wijayanto, Nasir Tamara sudah sejak tahun lalu menengarai koq demokrasi dan kekuasaan sekarang tidak berjalan lurus, tapi justru ‘turning around’. Istilah yang dipakai dalam diskusi kecil di ruang rapat Prisma. Intinya saya ingin membedakan Daniel dengan bintang-bintang intelektual yang ada dan bergembira ria di sekitar dan di dalam kekuasaan,” kata Didik.
Bagi pribadi Didik, kepergian DD adalah kehilangan besar, karena dia teman diskusi di Kantor LP3ES-Prisma. Beberapa minggu ini DD memang sakit tetapi selalu berkomunikasi dengan saya, dan minta tidak berbicara karena suaranya parau tapi saling berkata tulis lewat WhatsApp (WA).
“Yang dia bicarakan adalah minta bersama-sama mempersiapkan 50 tahun LP3ES dan Prisma. DD sedang mempersiapkan edisi Prisma 50 tahun 19 Agustus 2021 yaa, tapi sedikit mengeluhkan biaya kurang dan yang ada belum memadai sehingga perlu ‘out of the box’ untuk merealisasikannya,” ujarnya.
Didik mengatakan, Daniel memang tidak bisa dilepaskan dari Prisma. Setelah pensiun dari Prisma dia kembali lagi memimpin Prisma sehingga meski berbeda dari jaman keemasannya di tangannya, Prisma bisa tetap terbit selama setengah abad meskipun dengan banyak keterbatasan.
Prisma, LP3E merupakan legenda intelektualisme pada jamannya. Karena seluruh pemikir terbaik di negeri ini menulis di majalah ini, mulai dari Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Subroto, Taufik Abdullah, Frans Magnis, Dorodjatun Kuntjorojakti, Yuwono Sudarsono, dll. Arsip Prisma dari tahun 1971 sampai 2021 lebih dari layak untuk menjadi bahan disertai arus sejarah pemikir dan pemikiran Indonesia selama setengah abad dalam bidang sosial politik.
Daniel, katannya, menjadi besar sebagai intelektual karena bergumul dengan arus pemikiran besar tersebut di Prisma. Pergumulan intelektual Daniel tidak lain adalah pergumulan intelektual Prisma LP3ES dimana dia menjadi motor dari kehebatan Prisma pada waktu itu paling tidak hampir selama tiga dekade 1970-an akhir, 1980-an dan 1990–an, bahkan sampai sekarang dimana dia bertahan hanya dengan beberapa temannya saja menebitkan Prisma tersebut.
Didik mengatakan, dirinya sebagai pribadi mengenal Daniel Dhakidae sejak tahun 1980-an, ketika manjadi bagian dari LP3ES. Daniel menjadi bagian dari Majalah Prisma yang menjadi bagian jurnal para intelektual di Indonesia dan Didik berada di Divisi Riset LP3ES.
Setelah itu Daniel diminta membantu Litbang Kompas dan sebagai peneliti LP3ES berpindah ke Litbang Kompas. “Di tangan Daniel Litbang Kompas berkembang dan mempunyai tradisi polling seperti yang dilakukan LP3ES. Usai pensiun di Kompas Daniel kembali ke Prisma, saya pun habis melanglang ke berbagai arena kembali menjadi Ketua Dewan Pengurus LP3ES,” ujar Didik. (Very)