INDONEWS.ID

  • Jum'at, 07/01/2022 17:29 WIB
  • Pencabutan IUP dan HGU, SETARA: Keputusan Presiden Berorientasi Pembukaan Peluang Bagi Investor

  • Oleh :
    • very
Pencabutan IUP dan HGU, SETARA: Keputusan Presiden Berorientasi Pembukaan Peluang Bagi Investor
Presiden Jokowi. (Foto: Presideninfo)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara pada Kamis (06/01/2022). Pemerintah juga mencabut sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare. Selain itu, sebanyak 34,448 hektare Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan juga dicabut.

Dari luasan tersebut, sebanyak 25.128 hektar adalah milik 12 badan hukum, sisanya 9.320 hektare merupakan bagian dari HGU yang terlantar milik 24 badan hukum.

Baca juga : Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting

Presiden Jokowi mengatakan alasan di balik pencabutan izin-izin ini dikarenakan tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan.

Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute, Nabhan Aiqani melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (7/1) mengatakan, keputusan Presiden Jokowi tersebut patut diapresiasi.

Baca juga : Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah

Menurutnya, masalah tata Kelola izin sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan memang menjadi persoalan kompleks.

“Pada penyampaian memang Jokowi sekilas menyinggung soal masalah lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Pasal 33 UUD 1945. Namun, setelahnya arah keputusan sangat berorientasi pada pembukaan peluang sebesar-besarnya bagi investor. Sehingga, upaya untuk mengembalikan dan mengakomodir hak atas tanah untuk masyarakat masih belum terlihat jelas,” ujarnya.

Baca juga : Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta

“Sedikitpun tidak ada penyampaian terkait dengan arah reforma agraria, pengelolaan hutan untuk rakyat ataupun masyarakat adat, yang seringkali menjadi korban dari adanya pemberian izin kepada perusahaan,” tambahnya.

Pada kesempatan itu, katanya, pemerintah hanya menggunakan terminologi kemitraan antara kelompok masyarakat dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman.

Nabhan mengatakan, keputusan yang diambil Pemerintah tersebut dapat dipahami merupakan rentetan dari peristiwa yang terjadi seminggu kebelakangan.

Pemerintah misalnya, sebelumnya telah menerapkan kebijakan larangan ekspor batu bara selama satu bulan (hingga 31 Januari 2022), dan Menteri BUMN juga mengeluarkan keputusan untuk mengganti Direktur Energi Primer PLN, yang dua hal ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya suplai batu baru (Domestic Market Obligation) kepada PLN. Pemerintah meminta agar menggenjot pemenuhan batubara di dalam negeri dan melarang ekspor.

“Sekali lagi, orientasi industri yang tidak ramah lingkungan dengan menekankan pada suplai komoditi batubara, menunjukkan belum jelasnya arah pengembangan energi baru terbarukan (EBT) serta ramah lingkungan, sebagaimana amanat dari pelaksanaan COP26 dan komitmen pemerintah,” tuturnya.

Hal tersebut, katanya, justru hadir di tengah upaya beberapa negara yang sudah berlomba mengejar target NDC (Nationally Determined Contribution) dan target Net Zero Emission dengan transisi energi dari industri batubara dan fosil (coal and fossil fuel industry) menuju energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.

Selanjutnya, data tentang jumlah HGU dan IUP yang dicabut tidak dibarengi dengan transparansi terhadap nama-nama perusahaan pemegang izin. “Walaupun tidak memungkinkan disampaikan pada pengumuman presiden tersebut, namun setidaknya keputusan Presiden mesti dibarengi dengan dokumen data tentang nama-nama perusahaan yang dimaksud dan dapat diakses secara terbuka oleh publik,” ujarnya.

Padahal, isu mengenai transparansi data, terutama HGU dan konsesi, sudah lama digaungkan oleh kelompok masyarakat sipil agar pemerintah berani membuka data, terutama bagi yang memiliki izin ratusan ribu hektar.

“Jika ini tidak dilakukan, artinya, keputusan pemerintah saat ini sangat kontekstual dan sumir. Belum ada visi kebijakan yang kongkret untuk membenahi tata kelola pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang dikuasai oleh sebagian besar korporasi, sementara akses atas lahan untuk masyarakat semakin menunjukkan ketimpangan yang besar. Ditambah lagi dengan massifnya agenda pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan IKN (Ibu Kota Negara),” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Artikel Terkini
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas