INDONEWS.ID

  • Kamis, 27/01/2022 12:30 WIB
  • Guru Besar Sebut Glorifikasi Perjanjian Ekstradisi Tidak Berdasar, Ini 4 Alasannya

  • Oleh :
    • very
Guru Besar Sebut Glorifikasi Perjanjian Ekstradisi Tidak Berdasar, Ini 4 Alasannya
Presiden Joko Widodo dan PM Singapura Lee Hsien Loong. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Banyak pemberitaan pasca penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura mengarah pada glorifikasi seolah Indonesia memenangkan pertarungan.

Demikian dikatakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana di Jakarta, Kamis (27/1).

Baca juga : Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani

Kata yang menunjukkan glorifikasi, antara lain, "Akhirnya Perjanjian Ektradisi disepakati", dan "Singapura tunduk pada Indonesia".

Padahal glorifikasi demikian, menurut Hikmahanto, tidak berdasar. Setidaknya ada 4 alasan untuk menunjukkan bahwa glorifikasi tersebut tidak berdasar.

Baca juga : Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting

Pertama, katanya, perjanjian ekstradisi Indonesia Singapura telah ditandatangani pada tahun 2007 di Istana Tampak Siring saat pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

“Perjanjian ekstradisi yang ditandangani pada Selasa kemarin hanya pengulangan penandatanganan dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun,” ujar Hikmahanto.

Baca juga : Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah

Di tahun 2007 pemberlakuan 15 tahun tersebut, katanya, dilakukan agar perjanjian ekstradisi dapat menjangkau mereka yang terlibat dalam pengucuran Bantuan Likuiditas BI (BLBI), utamanya mereka yang telah mengganti kewarganegaraanya menjadi WN Singapura.

“Lalu apakah amandemen 18 tahun akan dapat menjangkau peristiwa BLBI bila diberlakukan tahun 2022 ini?,” tanya Hikmahanto.

Kedua, glorifikasi seolah perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Selasa kemarin langsung berlaku.

Padahal, menurut Hikmahanto, setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku.

Ketiga, glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura.

Pada tahun 2007 Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan.

“Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR,” tuturnya.

Terakhir, glofikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku.

“Perubahan sikap Singapura ini karena Singapura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas