Oleh Gerard N. Bibang*)
ESTAFET SATU
Dari perbukitan hijau Oberdorf menuju sebuah lembah terpencil nan permai; seorang lelaki muda belia memulai langkah untuk menyentuh kaki langit; disemainya Sang Sabda dari bunyi lonceng gereja saban hari; menancapkan keberanian untuk melakukan hal-hal bernilai; untuk berinkarnasi; untuk mati bagi tanah kelahiran Swiss demi memberi kehidupan bagi tanah misi
Engkau, lelaki muda, tanpa banyak mengobral kata; bunga putih ceria beraroma; adalah seorang guru, engkau; karena mengikuti jejak Sang Guru; adalah atmosfer dan bapak asrama, engkau; yang merangsang anak-anakmu di Marienburg, Sankt Gallen untuk selalu mencari cahaya, sepanjang-panjang usia
Ini rumah masa kecil Pater Wasser di Oberdorf. Dua misionaris ini, Romo Stef Wolo yg menjabat erat2 tangannya dan Pater rektor SVD Steinhaussen, Albert Nampara SVD asal Mbaumuku, yang menepuk bahunya, sesaat sebelum mereka membawanya ke rumah SVD Steinhaussen
Maka siapakah anak-anak yang berlari-lari ke sana ke mari di Marienburg itu? ialah manusia sederhana seperti sekalian makhluk; mereka adalah pelibas kelabu di cakrawala biru; ditanam olehmu dalam kalbu mereka tentang apa yang paling penting diburu; ialah Sang SABDA yang telah menjadi daging; ialah Allah yang adalah KASIH
ESTAFET DUA
Delapan pebruari tujuh-puluh-tujuh tibalah di tempat yang dituju; langsung ke Manggarai ke lembah Wangkung; bertumbuh menjadi wela, jadilah ia wela wangkung, bunga putih ceria; mengendarai bulan dan tahun, dari waktu ke waktu; memulai proses inkarnasi, ialah mati bagi kebudayaan sendiri demi memberi hidup bagi kebudayaan Manggarai; mati bagi diri sendiri demi menghidupkan sesama yang lain
Teringat ia akan kaul kekal dalam Serikat Sabda Allah; akan Sabda yang harus menjadi daging; dilihatnya bumi manggarai hijau asri; manusia-manusianya berbau manis; tapi dalam kenyataan bau selalu lain; maka dibangunnya sekolah agar manusia-manusianya menggantang impian ke cakrawala; dibelahnya bukit berbatu, lereng gunung dan diratakannya tanah berbongkah menjadi jalan; dicarinya sumber air, dialirkannya ke rumah-rumah dan sawah; tumbuhlah manusianya menjadi orang; tumbuhlah batang-batang padi dan jagung dari sawah dan ladang-ladang; dari sana sini menggema nenggo puja puji kepada Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa, Pencipta langit dan bumi
Itulah yang sebenar-benarnya cinta; Sabda yang mendaging dibenamkannya ke dalam rahim bumi Manggarai agar menjadi humus; agar subur menumbuhkan wela wangkung-wela wangkung baru sepanjang waktu
Berhasil ibujuk ke rumah SVD Steinhaussen setelah 40 tahun, oleh dua misionaris di foto ini (dari kiri ke kanan kita): Pater rektor SVD Swiss, Albert Nampara SVD dari Mbaumuku dan Romo Stef Wolo Pr dari Ngada.
Engkau, wela wangkung, telah bermandikan kucur keringat karena dipanggang terik matahari tropis; di depan rembulan, engkau berkaca; merias diri dalam sunyi; untuk memastikan anak-anakmu tidak sendiri-sendiri; agar kuat menyongsong kaki langit
Engkau, wela wangkung, tanpa langkah surut menunjukkan sebuah jalan menuju ke dalam dada, ke riak-riak samudera cinta; meski kering kerontang melucuti pepohonan seiring pasang surut cinta dan kasih sayang dari mereka-mereka yang tercinta
Engkau, wela wangkung, menelan semua itu dengan samuderamu; mengendapkannya jadi mutiara; mempersembahkannya buat anak-anak tercinta; setiap kali mereka tersilap; engkau hukum mereka dengan Sabda Tuhan; seringkali dengan diam tanpa kata; setiap kali mereka kecewa, engkau bangun di malam sepi lalu berdoa
ESTAFET TIGA
Kini di usia senja, ia dalam sunyi; bermenung, termangu; seorang diri, sendri; tiada lebih dari sebutir debu; tidak perlu semua orang tahu
Tapi kemilau wela wangkung membiaskan cahaya; ke mana kalau bukan ke sudut-sudut bumi Congkasae sejauh-jauh mata memandang; mengaromai manusia-manusianya yang kini sedang mengendarai waktu; ia pun diam-diam bergumam:
“wahai anak-anak dan cucu-cucuku, sejatinya hanya pengembara-lah kamu; sesungguhnya kamu diam-diam punya keinginan untuk mendengar Sabda Tuhan secara langsung; memang itulah hakikat jiwamu: memendam kerinduan terhadap asal-usulmu; selalu mendambakan satu-satunya Terminal Akhir pengembaraan hidupmu!”
Kini, dari dan ke kamarnya, ia pergi dan selalu kembali; mendendangkan lagu bisu, sendiri; dalam lubuk hati; tentang cinta yang disembunyikannya dari kata-kata; yang tak terlukis betapa dalam keajaibannya; tentang lilin-lilin kecil di bumi Manggarai di mana cinta dan kasih sayang terpateri abadi
Dari Manggarai, untuk sebentar saja, ia ingin menggoda langit negeri Swiss; corona atau omicron, tiada ia perduli; ingin ia meniti di atas jalan-jalan kecil di Oberdorf, kampung masa kecilnya; oase cinta yang membuat dirinya betah untuk sesekali bertahan
Ketika langkahnya menapaki tanah kelahiran, suaranya pelan tapi renyah seperti gairah hujan; menyelinap ke dalam jiwa orang-orang yang dijumpainya; mereka-mereka yang dikenalnya disebutnya orang-orang Manggarai, misionaris dan malikat pelindung; ia bercanda sambil tersenyum
Ia bercengkerama menghangatkan jiwa di musim dingin; rambutnya tergerai serupa hutan tropis; meliuk-liuk membenihkan rindu; seperti ingin meringkus malam-malam nan syahdu di saat-saat masa kecilnya dulu; tapi tenggelam ia dalam lamunan sunyi; memohon-mohon untuk bersegeralah pulang kembali ke bumi Manggarai
Yah, wela wangkung itu tampak sendiri tapi tidak sendirian; cinta utk Manggarai sudah terurai dalam kata dan nada; menjadi lagu bisu yang selalu terdengung dalam sukma; sejauh-jauh melangkah hingga mendarat di alas tiba
Wahai wela wangkung
Kepadamu anak-anak manggarai mempersembahkan segala api keperihan
Di dada mereka demi cinta kepadamu
Melakoni jalan yang engkau mulai dalam kesenyapan
Meski bukan dari rahimmu
Mereka tahu dahi keriputmu telah menjadi sejuta warta
Tentang cinta yang melampui ruang dan waktu
Dalam konteks narasi ini, Wangkung adalah paroki pertama tempat Pater Waser berkarya, mendirikan sekolah Santo Klaus, dan dari Wangkung ia melebarkan pelayanannya ke seantero Manggarai, membuka sekolah, jalan, air minum, dan tak lupa: misa kudus.
****(gnb:tmn aries:jkt:sabtu:19.2.22)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta