INDONEWS.ID

  • Kamis, 18/08/2022 21:58 WIB
  • Gatot Nurmantyo: Pemerintah Telah Mengkooptasi Negara

  • Oleh :
    • very
Gatot Nurmantyo: Pemerintah Telah Mengkooptasi Negara
cara itu dalam rangka ulang tahun kedua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dilangsungkan di kantor Sekretariat KAMI, Jl. Kusumaatmadja No. 76, Menteng Jakarta Pusat. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Mantan Panglima TNI, Jenderal (purn.) TNI, Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa hari ini pemerintah telah mengkooptasi negara Republik Indonesia. Saat ini, katanya, kita bukan saja tidak bisa membedakan pemerintah dan negara, melainkan juga pemerintah telah mengkooptiasi negara demi memuluskan agenda dan kepentingan jangka pendek dan segelintir kelompoknya.

“Kita bukan saja tidak lagi bisa dibedakan antara pemerintah dan negara, melainkan juga pemerintah mengkooptasi negara demi memuluskan agenda dan kepentingan sekelompok orang yang menguasai pemerintahan,” ujar Gatot dalam kesimpulan diskusi bertajuk "Selamatkah  Indonesia dengan Sistem Bernegara Hari Ini?" pada Kamis (18/8).

Baca juga : Kemendagri Sosialisasikan UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa

Acara itu dalam rangka ulang tahun kedua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI),  yang dilangsungkan di kantor Sekretariat KAMI, Jl. Kusumaatmadja No. 76, Menteng Jakarta Pusat.

Hadir dalam diskusi ini antara lain Anthony Budiawan (Pengamat Ekonomi), Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara), M. Said Didu (Praktisi dan Pengamat BUMN), Dr. Ma`mun Murod Al Barbasy (Rektor UMJ), Dr. TB Massa Djafar (Dosen Pascasarjana FISIP UNAS), Dr. Mulyadi (Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia) dengan moderator Hersubeno Arief wartawan senior FNN.

Baca juga : Mendagri Tegaskan Musrenbangnas sebagai Wadah Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Pemerintah Pusat dan Daerah

Gatot juga berharap forum-forum diskusi seperti ini terus dilaksanakan hingga daerah-daerah terpencil dengan tujuan untuk memajukan generasi muda.

Semua pembicara juga meyakini bahwa negara bakal hancur jika tidak ada perubahan secara mendasar.

Baca juga : Masa Depan Pendidikan Era Digital, Tingkatkan Literasi dan Manfaatkan Teknologi

Dosen Pasca Sarjana UNAS, Dr. TB Massa Djafar mengatakan, instrumen yang selalu beriringan untuk membangun kekuasaan dan merespons kekuatan kritis terdiri dari 3 variabel yakni struktur kekuaaan, struktur ekonomi dan struktur hukum.

Dia mengatakan, kesadaran politik negara saat ini sudah tidak sesuai dengan apa yang kita lihat di negara lain. Di republik ini yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki modal.

Mengutip Bung Hatta, katanya, politik dan ekonomi harusnya saling melengkapi. Kedaulatan ekonomi dan rakyat tidak bisa dipisahkan.

“Saat ini kesadaran transformasi belum terkendali. Setuju ada perubahan, namun belum terkonsiderasi,” ujarnya.

Pengamat Ekonomi, Anthony Budiawan mengatakan, sistem bernegara sampai hari ini dilihat dari kekuasaan pemerintah sudah tidak ada lagi. Kita belum merdeka, belum sejahtera dan kita belum kuat.

Sistem tirani, katanya, membuat hukum demi kepentingan kelompoknya sendiri. Dia mencotohkan adanya undang-undang yang dibuat untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan rakyat.

Kepentingan di Orde Baru masih memikirkan kepentingan rakyat, namun sejak era reformasi, sumber daya manusia (SDA) dikuasai oleh segelintir pengusaha.

"Sejak 2004-2015, ekonomi semakin brutal dan transparan. Kebijakan fiskal sudah tidak berpihak pada rakyat," ujarnya.

Karena itu, katanya, apabila pembengkakan biaya proyek-proyek terus berlanjut, maka jumlah rakyat miskin meningkat. “APBN surplus, kenapa tidak diberikan kepada rakyat? Saat ini rakyat miskin tidak ada kekuatan untuk melawan. Selama ekonomi politik kita masih seperti ini, tanpa ada perlawanan dari rakyat dan perubahan total, maka Indonesia tidak akan terselamatkan,” katanya.

 

Oligarki Kembar Tiga

Sementara itu, dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Dr. Mulyadi, mengatakan, Indonesia dengan sistem pemerintahan yang seperti sekarang bukan hasil dari reformasi. "Gerakan reformasi saat ini bukan reformasi, tapi diisi dengan deformasi. Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dilihat dari infrastruktur politik, media massa dan kelompok berkepentingan tidak menjalankan fungsinya dengan baik,” ujarnya.

Saat ini, katanya, hukum dibuat untuk melindungi kekuasaan atau pejabat politik. Kewibawaan penguasa negara sudah tidak terlihat lagi di mata rakyat.

Para penyuara aspirasi dipenjarakan, begitu juga rakyat dipersulit namun orang asing dipermudah.

“Republik ini sedang diurus oleh oligarki kembar 3: oligarki politik, oligarki ekonomi dan oligarki sosial. Namun yang paling bahaya adalah oligarki sosial, karena terdapat sekelompok orang mengendalikan masa untuk mendapatkan jabatan dan kehidupan yang layak,” ungkapnya.

Dia mengatakan, ciri negara mau hancur adalah tidak stabil, tidak adaptif dan tidak integratif. Negara sedang mereproduksi ketakutan dengan melakukan keterbelahan.

“Manipulasi politik, agitasi dan propaganda cara rezim ini menjaga legitimasi. Mobilisasi, suap politik, perusakan reputasi, ekstra yudisial killing, membunuh atas nama hukum padahal  tidak boleh membunuh,” ujarnya.

Praktisi dan Pengamat BUMN, M. Said Didu mengatakan bahwa sendi-sendi kehidupan bangsa ini semakin tergerus. Semua lembaga negara telah dikuasai oleh partai politik.

“Pada zaman Pak Soeharto tidak pernah meletakkan partai politik di BPK maupun lembaga hukum lainnya. Saat ini yang terjadi adalah kekuasaan sedang memangsa negaranya, bagaimana mungkin anggota partai politik masuk menjadi pejabat di BPK. Selain itu, BUMN saat ini juga dijadikan tempat parkir para politis yang gagal caleg. Mereka kemudian diangkat menjadi komisaris BUMN. Maka dari dari itu, rezim sekarang adalah rezim kebohongan,” ujarnya.

Said juga menyoroti kasus Brigadir Yoshua. Karena itu dia berharap dengan terungkapnya kasus Brigadir Yoshua dapat membersihkan sistem negara.

“Siapa tahu tetesan darah beliau membersihkan negeri ini,” katanya.

“Kalau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negara ini terus berjalan dan kita diam diam saja, maka umur negara ini tidak akan sampai 100 tahun,” tambahnya.

Lain lagi dengan pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun. Dia mengatakan, ada persoalan serius dalam tata hukum negara kita.

Menurutnya ruang lingkup hukum di Indonesia yang beberapa tahun belakangan mengalami banyak persoalan yang perlu segera diperbaiki.

Dia misalnya mempertanyakan banyak pihak yang menginginkan kembali pada UUD 1945, namun tidak ada saksi faktual dalam UU tersebut.

“Saat ini kesalahan ada di konstitusi, undang-undang, atau implementasi undang-undang. Konstitusi menyumbang kesalahan itu, misalnya MK tidak memilih rekruitment terbaik. Kemudian, kesalahan undang-undang, UU tidak menyebutkan pola rekruitmen, perubahan konstitusi selalu ada kerusuhan,” ujarnya.

Maka dari itu secara dingin kita harus melakukan evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan. “Basic fundamental kenegaraan kita yaitu konsitusi, jangan lupa, Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi konstitusional,” ujarnya.

 

Negara Sudah Dibajak

Lalu, Rektor UMJ, Dr. Ma`mun Murod mengatakan bahwa kita harus sadar bahwa negara sudah dibajak dengan harga yang sangat murah. "Indonesia merdeka berkah dari politik identitas," ujarnya.

Ma`mun menyoroti dua persoalan penting yaitu sejarah politik Indonesia yang merupakan politik identitas. “Politik identitas lebih jahat daripada politik uang,” ujarnya.

Kedua, perbedaan pada rumusan Pancasila tanggal 18 dan 22 Agustus 45. Rumusan Pancasila tidak lepas dari kelompok agama, berdasarkan isi.

Sistem yang ada saat ini, katanya, dipastikan tidak akan mampu mempertahankan Indonesia. Negara sudah dibajak dengan harga yang sangat murah.

Ma`mun menegaskan bahwa politik identitas sudah ada sejak dulu. Namun, dia menjadi masalah ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok gagal jadi gubernur.

“Yong Java, Yong Ambon dll itu identitas. Saya punya pengalaman lucu saat diundang jadi pembicara di sebuah diskusi. Saat mendengar pengantar ada kalimat yang berbunyi, politik identitas lebih berbahaya dari politik yang... Dia pamit gak jadi pembicara,” ujarnya.

Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Bachtiar Chamsah (mantan Mensos), Adi Massardi (mantan jubir Presiden Gus Dur), MS Kaban (Mantan Menhut), Prof Laode Kamaluddin, Ahmad Yani, Radar Trsibakoro,  Anton Permana, Alkatiri, Syafril Sofyan, Muslim Arbi, Dony, Hatta Taliwang, Rasyid, dan puluhan deklarator dan jejaring KAMI serta media massa. 

Acara kemudian diisi dengan monolog Bung Karno dengan judul "Besok atau Tidak Sama Sekali" oleh Kang Wawan dari Bandung dan diakhiri dengan pemotongan tumpeng memperingati 2 tahun KAMI bersama anak anak yatim.

Sebagai pamungkas, Gatot Nurmantyo membacakan puisi karya almarhum Radhar Panca Dahana berjudul “Warisan Akhirmu, Sukarno”. ***

Artikel Terkait
Kemendagri Sosialisasikan UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa
Mendagri Tegaskan Musrenbangnas sebagai Wadah Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Pemerintah Pusat dan Daerah
Masa Depan Pendidikan Era Digital, Tingkatkan Literasi dan Manfaatkan Teknologi
Artikel Terkini
Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap
Kemendagri Sosialisasikan UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa
Mendagri Tegaskan Musrenbangnas sebagai Wadah Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Pemerintah Pusat dan Daerah
Masa Depan Pendidikan Era Digital, Tingkatkan Literasi dan Manfaatkan Teknologi
Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Salah Satu Tertinggi di Kawasan Asia Tenggara
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas