INDONEWS.ID

  • Kamis, 01/09/2022 22:04 WIB
  • Saiful Mujani: Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan PKS Dinamis

  • Oleh :
    • very
Saiful Mujani: Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan PKS Dinamis
Bendera Partai. (Foto: Ilustrasi)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Selain PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, partai-partai lain mengalami perubahan komposisi suara yang dinamis.

Baca juga : Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas

Demikian analisa ilmuwan politik Prof. Saiful Mujani dalam program Bedah Politik bertajuk ”Pergeseran Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2024” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 1 September 2022. Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/y8fONfZEq88

Saiful mengatakan, ada 9,6 persen pemilih Gerindra yang pindah ke Golkar pada survei ini. Yang pindah ke PDIP 4,8 persen dan PKS 3,9 persen. Sementara yang tetap akan memilih Gerindra sebesar 62,7 persen. Ada 13,5 persen yang belum menjawab. Saiful menyebut bahwa Golkar, PDIP, dan PKS mengganggu stabilitas suara partai Gerindra.

Baca juga : Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran

Mengapa Golkar potensial menarik sebagian suara Gerindra? Saiful menjelaskan bahwa dalam banyak hal, pemilih kedua partai tersebut beririsan.

Saiful menyatakan bahwa Prabowo awalnya adalah orang Golkar dan pernah maju menjadi bakal calon presiden dari Golkar. Dia adalah mantan tokoh Golkar. Jadi logis kalau kadang-kadang pemilihnya ke Gerindra dan kadang-kadang pindah ke Golkar.

Baca juga : Mendagri Lantik Suhajar sebagai Wakil Rektor IPDN

“Mereka (Gerindra dan Golkar) berada di dalam ceruk pemilih yang sama,” kata Saiful.

Sementara alasan pindah ke PDIP karena Gerindra dan PDIP juga memiliki kemiripan ideologis. Sama-sama partai nasionalis. Dan dalam beberapa hal, Prabowo juga sering meniru sosok Soekarno. Ada simbol-simbol tentang politik kerakyatan dan nasionalisme yang kuat yang ditunjukkan oleh Gerindra.

Saiful juga menjelaskan kepindahan 3,9 persen pemilih Gerindra pada 2019 ke PKS sekarang. Saiful menyatakan bahwa selama ini Prabowo didukung oleh para pemilih PKS. Dengan masuknya Prabowo ke dalam koalisi pemerintahan, ada unsur di dalam Gerindra yang anti-pemerintah yang kemudian pindah ke PKS. Di dalam Gerindra, kata Saiful, ada unsur kelompok oposan pemerintah. Itu logis karena itu merupakan hasil mobilisasi sebelumnya untuk melawan kelompok politik pemerintah. Kelompok oposan ini kemudian melihat PKS sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka.

Sementara pemilih partai Golkar yang loyal 60,7 persen. Perpindahan pemilih partai ini lebih banyak ke PDIP (10,7 persen) dan Gerindra (5,4 persen). Ada 15,1 persen yang belum menjawab.

“PDIP yang mengancam Golkar dalam hal ini,” kata Saiful.

Hal yang sama terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pemilih PKB paling potensial pindah ke PDIP. Dalam survei ini, ada 8,5 persen suara PKB di 2019 yang pindah ke PDIP. Ada 10,4 persen yang belum menentukan pilihan.

“PDIP banyak mengambil dan menampung pemilih dari partai-partai lain,” simpul Saiful.

Saiful melihat perpindahan suara PDIP dan PKB relatif bisa terjadi karena kedua partai ini memiliki basis wilayah yang mirip, keduanya kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena itu kalau ada pemilih yang kadang masuk ke PKB dan di lain kesempatan masuk ke PDIP, itu logis.

Yang mengancam suara partai Nasional Demokrat (Nasdem) juga adalah PDIP. Survei ini menunjukkan ada 20 persen pemilih Nasdem di 2019 yang sekarang pindah ke PDIP. Sementara yang belum menjawab sebanyak 14,8 persen.

“Yang sangat signifikan yang bisa mengancam Nasdem adalah PDIP,” kata Saiful.

Swing voters PKS lebih banyak pindah ke partai Demokrat, 10,5 persen. Partai kedua yang bisa menarik pemilih PKS adalah Gerindra (7 persen) dan Golkar (5,2 persen). Hanya saja, masih cukup banyak pemilih PKS yang belum menentukan pilihan, 20,3 persen. Sementara yang stabil akan tetap memilih PKS sekitar 52,5 persen.

Salah satu penjelasan, menurut Saiful, mengapa yang belum menentukan pilihan dari pemilih PKS cukup banyak adalah karena munculnya tokoh-tokoh PKS yang mendirikan partai baru seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.

Namun Saiful memberi catatan bahwa walaupun 20,3 persen ini pindah ke partai baru bentukan Anis Matta, ini memang akan mengurangi suara PKS sekitar 1 sampai 1,5 persen, tapi tidak akan menghalangi partai untuk lolos ke Senayan.

 

PAN dan PPP Teracam

Selanjutnya terkait PAN,  yang menarik dari partai ini adalah karena cukup besar pemilihanya di 2019 yang sekarang belum menentukan pilihan atau wait and see, sebesar 31,2 persen. Suara yang stabil PAN sekitar 54,2 persen.

Saiful menganalisa bahwa karena suara PAN pada Pemilu terakhir 6,8 persen, maka jika yang kembali memilih partai ini hanya separuhnya, maka ada kemungkinan PAN tidak akan lolos ke parlemen pada Pemilu mendatang.

Besarnya pemilih PAN yang masih menunggu ini kemungkinan ditarik oleh partai baru yang didirikan oleh Amin Rais, Partai Ummat, kata Saiful. Mereka mendukung PAN selama ini kemungkinan karena ada tokoh seperti Amin Rais.

“Begitu Pak Amin Rais tidak ada di situ, dan karena mereka loyal pada Pak Amin Rais, mereka akan hijrah juga,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta tersebut.

Saiful melanjutkan bahwa jika kelompok ini tidak menambah atau menarik suara partai lain, maka baik PAN pimpinan Zulkifli Hasan maupun Partai Ummat bentukan Amin Rais akan mengalami kerugian karena terancam tidak lolos parliamentary threshold 4 persen.

“Keduanya bisa sama-sama tidak lolos kalau mereka tidak menambah kekuatan dari partai lain,” kata Saiful.

Saiful melihat kelompok politik ini menghadapi dua front: di dalam dan di luar. Di dalam, kubu Amin Rais harus memastikan bahwa Amin Rais adalah pemimpin yang sebenarnya dari komunitas politik ini. Demikian pula kelompok PAN harus memastikan bahwa PAN ada di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan.

Sementara PPP memiliki 56,7 persen pemilihnya di 2019 yang sekarang akan kembali memilihnya. Ada 22,5 persen yang sekarang menyatakan memilih Partai Demokrat dan PDIP 8,3 persen. Yang mengkhawatirkan bagi PPP, kata Saiful, adalah karena pemilih PPP yang belum menentukan pilihan atau wait and see cenderung sedikit, 11 persen.

“Ini berbahaya. Kalau tidak ada upaya yang ekstra, mungkin partai yang akan mengikuti Hanura yang tidak lolos ke Senayang padahal pernah ada di Senayan, adalah PPP,” kata Saiful.

Saiful mengingatkan bahwa perolehan suara PPP pada Pemilu 2019 adalah 4,5 persen. Jika setengahnya berkurang, maka partai ini akan tidak lolos ke Senayan. Sementara PPP sejauh ini belum mampu menarik pemilih dari partai-partai lain.

Secara keseluruhan, jelas Saiful, jumlah swing voters di Indonesia cukup besar, terutama pada partai tertentu. Partai yang relatif stabil adalah PDIP dan Demokrat. Sementara yang paling mengkhawatirkan tidak masuk ke Senayan pada 2024, jika tidak ada kerja ekstra keras, adalah PAN dan PPP.

“PAN karena ada konflik kepemimpinan internal. Sedangkan PPP karena tidak cukup kompetitif menarik pemilih partai lain. Bahkan sebaliknya, pemilih yang sudah ada pun tidak mampu dijaga,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas
Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran
Mendagri Lantik Suhajar sebagai Wakil Rektor IPDN
Artikel Terkini
Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas
Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran
Pj Bupati Maybrat hadiri Acara Pengantar Tugas Sekjen Kemendagri
Mendagri Lantik Suhajar sebagai Wakil Rektor IPDN
Panglima TNI Pimpin Upacara Peringatan HUT Kopassus Ke-72
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas