INDONEWS.ID

  • Sabtu, 04/03/2023 12:59 WIB
  • Projo: Putusan PN Jakpus Wajib Dikesampingkan untuk Melindungi Kepentingan Umum

  • Oleh :
    • very
Projo: Putusan PN Jakpus Wajib Dikesampingkan untuk Melindungi Kepentingan Umum
Ketua Bidang Hukum DPP PROJO, Silas Dutu, S.H. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tahapan Pemilu adalah bagian dari pelaksanaan perintah konstitusi yaitu Pasal 22E UUD 1945 dan sekaligus sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang merupakan hukum tertinggi. Oleh karena itu pelaksanaan Putusan 757 PN Jakarta Pusat dapat berdampak pada terganggunya pelaksanaan Pemilu dan tidak terlindunginya kepentingan umum dan telah membuat Putusan 757 PN Jakarta Pusat kehilangan relevansinya.

Karena itu, putusan tersebut harus dikesampingkan demi melindungi pelaksanaan kepentingan umum, bangsa dan negara.

Baca juga : Terus Bermanuver Menuju Pilkada NTT, Cagub Ardy Mbalembout dan Irjen Jonny Asadoma Gelar Pertemuan Tertutup di Jakarta

Apalagi Putusan 757 PN Pengadilan Negeri Jakarta secara hukum hanya berlaku dalam domain privat dan keberlakuannya hanya terbatas pada hak-hak keperdataan para pihak yaitu KPU dan Partai Prima, sehingga pelaksanaan Putusan 757 PN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak boleh dilakukan terhadap keputusan KPU yang merupakan Keputusan Tata Usaha  Negara (nonexecutable).

“Demi Konstitusi UUD NKRI 1945 sebagai hukum tertinggi, maka pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst selanjutnya disebut Putusan 757 PN Jakarta Pusat wajib dikesampingkan untuk melindungi kepentingan umum berdasarkan alasan-alasan konstitusional,” ujar Ketua Bidang Hukum DPP PROJO, Silas Dutu, S.H., melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (3/3).

Baca juga : PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital

Silas mengatakan, perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada KPU untuk melakukan penjadwalan ulang tahapan Pemilu tidak memiliki dasar hukum yang cukup untuk dilaksanakan. Pasalnya, penjadwalan ulang tahapan Pemilu tidak hanya berdampak pada perubahan jadwal tahapan Pemilu pada KPU, tetapi berdampak pada keseluruhan proses penyelenggaraan Pemilu baik di KPU RI hingga Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat desa, keseluruhan proses penyelenggaraan Pemilu di BAWASLU RI hingga Panwaslu Kelurahan/Desa, dan DKPP.

Demikian pun terjadi perubahan-perubahan penganggaran pelaksanaan Pemilu baik di KPU ataupun Kementerian Keuangan RI, perubahan keputusan-keputusan DPR dan Pemerintah bersama-sama dengan KPU dan BAWASLU mengenai jadwal tahapan Pemilu 2024 dan juga berdampak pada kerugian langsung hak-hak konstitusional para Peserta Pemilu yaitu Partai-partai Politik peserta Pemilu, calon DPD dan calon pemilih yang sudah melaksanakan tahapan penyelenggaraan Pemilu.

Baca juga : Dianggap "Lahan Tak Bertuan", Sekolah Sering Jadi Tempat Penyemaian Ideologi Radikal

“Karena Pemilu adalah murni perintah konstitusional dan wujud kehendak rakyat dalam rangka mengakhiri periodisasi jabatan dan sirkulasi personalia melalui proses Pemilu, maka penjadwalan ulang tahapan Pemilu yang berdampak pada terganggunya Pemilu harus dimaknai sebagai pengingkaran terhadap kehendak rakyat dan gangguan nyata terhadap agenda Konstitusi UUD 1945 yang dikenal sebagai pesta demokrasi, pesta rakyat yang telah dan sedang berlangsung yang telah melibatkan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Karena itu, kata Silas, pelaksanaan Putusan 757 PN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memberikan manfaat yang lebih besar dari kepentingan umum dan berdampak pada ketidakpastian hukum dan ketidakpastian pelaksanaan Pemilu dalam waktu lama. Apalagi penjadwalan ulang tahapan Pemilu tidak hanya dilakukan oleh KPU tetapi juga melibatkan DPR dan Pemerintah bersama-sama dengan KPU dan BAWASLU. Juga membutuhkan waktu lama yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), kapan tahapan Pemilu akan dimulai dan kapan akan berakhir, sehingga berujung pada ketidaktertiban persiapan, ketidaktertiban pelaksanaan, ketidaktertiban administrasi dan ketidakpastian praktek hukum ketatengaraan.

“Penjadwalan ulang Pemilu harus ditolak dengan alasan apapun, karena jika dilakukan penjadwalan ulang maka dapat membuat batas akhir penyelenggaraan Pemilu menjadi tertunda atau menjadi lebih lama dari periodisasi jabatan Presiden, DPR, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota dan DPD sehingga berpotensi terjadinya vacuum of power atau delegitimasi pada jabatan Presiden, DPR, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota dan DPD. Dan karena pula itu dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi upaya-upaya perpanjangan masa jabatan,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Terus Bermanuver Menuju Pilkada NTT, Cagub Ardy Mbalembout dan Irjen Jonny Asadoma Gelar Pertemuan Tertutup di Jakarta
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Dianggap "Lahan Tak Bertuan", Sekolah Sering Jadi Tempat Penyemaian Ideologi Radikal
Artikel Terkini
Tanggapi Tuduhan Ade Pencuri, Lawyer Gaul: gak Cocok sama Faktanya
Terus Bermanuver Menuju Pilkada NTT, Cagub Ardy Mbalembout dan Irjen Jonny Asadoma Gelar Pertemuan Tertutup di Jakarta
Tamini Square Gelar Festival Soto dan Masakan Nusantara
Dituduh Curi Iphone, Ade Laporkan AA ke Polres Jaksel
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas