INDONEWS.ID

  • Senin, 24/04/2023 13:09 WIB
  • Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)

  • Oleh :
    • Mancik
Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)
Aktivis Kemanusiaan dan Anggota PapuaItuKita, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo

INDONEWS.ID - Pertama-tama, saya sampaikan turut berduka yang mendalam kepada ribuan warga Papua yang menjadi korban atas berbagai operasi militer, saya juga turut berduka buat ribuan rakyat Papua yang meninggal dalam pengungsian. Saya prihatin kepada ribuan rakyat Papua yang sampai saat ini masih dalam pengungsian di daerah yang dikonflikan tanpa ada perlindungan, bahkan ada lansia yang menjadi korban. Belum lagi pemuka agama yang jadi korban.

Baca juga : Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat

Selain itu, saya juga turut berduka atas meninggalnya anggota TNI/Polri, saya juga turut berduka atas meninggalnya TPN/OPM. Begitu banyak manusia harus kehilangan nyawa hanya karena ruang kemanusiaan, ruang dialog, ruang perundingan ditutup. Tentu kejahatan kemanusiaan di Papua terjadi begitu lama sejak mobilisasi militer Indonesia ke Papua pada tahun 1962 setelah Soekarno mengumumkan Trikora di alun-alun Yogyakarta 19 Desember 1961.

Pendekatan militer di Papua sudah dilakukan sejak 1961 dengan dikumandangkannya Trikora. Pemaknaan Trikora dapat dilihat dengan adanya (1) Menstrea; (2) Kebijakan; (3) Mobilisasi; (4) Pendudukan dan (5) Operasi. Lima tahapan yang menggambarkan Papua dijadikan sebagai daerah berdarah yang sebelumnya dikenal sebagai daerah yang memiliki nilai kebudayaan dan kemanusiaan yang bermartabat.

Baca juga : Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator

Dalam situasi seperti itu, negara tidak pernah melakukan pendekatan Dialog/Umanis terhadap Papua. Pada hal, musyawarah untuk mufakat dikenal di Indonesia. Upaya damai selalu diabaikan. Pendekatan selalu pendekatan militer. Entalah apa targetnya, apakah biar ekonomi OAP bermasalah? Apakah biar terjadi depopulasi? Apakah biar kebudayaannya hancur? Apakah agar pendidikan bermasalah? Apakah biar orang Papua tidak berkembang?

Semua pertanyaan ini hendak ingin mengantarkan kita untuk mencari tahu siapa yang bermain di belakang itu, sementara, konstitusi mensyaratkan hak asasi manusia, musyawarah untuk mufakat, bahkan perlindungan warga negara, blom lagi soal kesejahteraan dan lainnya yang berhubungan dengan nilai. Nilai yang sebelumnya sudah ada, melekat dan hidup bersama orang Papua hilang saat Indonesia memasukan Papua dengan paksa. Belanda masih merawat nilai.

Baca juga : KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua

Korban Berjatuhan Di Papua

Pendekatan militer, pendekatan operasi, pendekatan kekerasan tentu hanya melahirkan berbagai kekerasan baru, dan dampaknya adalah ada yang mengalami korban baik TPN maupun TNI/Polri, lebih buruk lagi adalah rakyat sipil yang tidak berdosa menjadi korban atas kejahatan ataupun konflik yang dilakukan antara TPN dan TNI/Poril. Ketika rakya Papua mengungsi, negara tidak pernah melindungi rakyat sehingga banyak yang korban di pengungsian.

Korban pengungsian di Nduga dan Intan Jaya serta lainnya saja mencapai lebih dari puluhan ribu orang. Mereka harus mengungsi kehutan bahkan kemudian berjalan kaki menuju kabupaten lain yang dirasa aman, misalnya menuju Timika, Nabire dan lainnya. Ada tindakan segregasi yang dilakukan dalam pendekatan pengungsian. Bahkan, ada yang korban ditembak saat hendak melindungi diri. Sasaran tidak lagi pada sesama kombatan tapi bergeser pada korban warga sipil.


Pendekatan Militer Terus Dilakukan

Negara tidak pernah merubah pendekatan. Pendekatan aparat di Papua menjadi pendekatan utama yang dilakukan, akibatnya terjadi masalah pelanggaran ham dan lainnya. Alasan pemerintah pusat, ini masalah keamanan. Pada hal, logika itu pernah digugurkan oleh Gus Dur. Pendekatan dengan istilah keamanan faktanya, justru tetap ada pelanggaran ham. Bahkan apapun alasannya, faktanya pelanggaran ham terus terjadi.

Kadang nama pendekatan ataupun nama operasi dibuat seakan hormati ham, tapi realitas berbeda dengan istilah. Bahkan istilah yang dipakai kadang juga bertentangan, misalnya operasi kemanusiaan. Karena pengertian perasi dengan keamanan saling kontras pemaknaannya. Bahkan istilah pendekatan keamanan harus diartikan sebagai tindakan mengamankan, faktanya berbeda. Mestinya karena keamanan mengamankan pengunsi tapi faktanya warga lari kehidutan, dll.


Negara Dengan Sengaja Memelihara Kejahatan dan Kekerasan

Negara sangat terlihat turut dalam memelihara kejahatan dan kekerasan. Cara melihatnya adalah dengan cara (1) negara selalu menghindar dari mendorong dialog/perundingan untuk mendorong Papua tanah damai; (2) pendekatan militerisme didasarkan pada rasialisme. Ketika Jaringan Damai Papua menawarkan konsep dialog Jakarta-Papua kepada negara melalui kepala negara, sedikit niat pun belum ditunjukan, misalnya dengan mengutus special envoy, dan lainnya.

Pendekatan rasialisme sendiri dapat dilihat dengan (1) kebijakan negara tanpa adanya partisipasi rakyat; (2) pengungsian diabaikan oleh negara; (3) rakyat sipil tak berdosa menjadi korban kejahatan ham. Semangat tujuan bernegara dalam konstitusional tidak dilaksanakan atau terjadi praktek pembangkangan konstitusi dikarenakan negara tidak bertanggungjawab terhadap pengungsian tersebut, apalagi kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan.

Ini menggambarkan bahwa semenjak negara ini didirikan sampai saat ini, ada yang salah dengan pengelolaan negara. Aspek kepentingan, aspek subjektif aspek isme mendominasi personal dalam mengelolah negara. Sederhana saja, jika perundingan itu adalah mekanisme demokrasi merumuskan masalah, mencari solusi atas masalah, menyepakat kesepakatan, mestinya Presiden bisa melakukan hal itu. Presiden memiliki kewenangan atas hal itu.

Namun jika Presiden menghindari, maka ada hal yang salah bahkan presiden patut diduga melakukan pelanggaran terhadap Pancasila dan Konstitusional. Aspek musyawarah untuk mufakat adalah prinsip konstitusional yang mestinya dilakukan. Bahkan jika ada pihak-pihak yang menolak dan menghambat, mestinya Presiden menon-aktifkan dari jabatan karena turut merusak tatanan konstitusional. Negara harus bertanggungjawab.

Lalu, siapa sebenarnya yang bermain hingga menghindar dan menolak Papua tanah damai? Tentu yang bermain adalah mereka yang memiliki otoritas. Selain yang memiliki otoritas, apakah ada pesan sponsor? Siapa mereka? Apakah itu berhubungan dengan aspek lain seperti sumber daya alam? Ataukah, lebih pada adanya praktek rasialisme? Mestinya perundingan sudah dilakukan sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan.

*)Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Anggota PapuaItuKita

Artikel Terkait
Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat
Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator
KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua
Artikel Terkini
Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik
Menteri PANRB Minta Instansi Pemerintah Segera Rampungkan Rincian Formasi ASN 2024
Seleksi CASN 2024 Segera Dimulai, Pemerintah Penuhi Formasi Talenta Digital
TB dan "Airborne Infections Defense Platform" di Serang
Pj Gubernur Agus Fatoni Bersama Kedubes Kanada Perkuat Kerjasama Penanganan Permasalahan Perubahan Iklim
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas