INDONEWS.ID

  • Rabu, 26/04/2023 12:24 WIB
  • Idul Fitri: Perbedaan Adalah Rahmat dan Keindahan yang Harus Dipupuk

  • Oleh :
    • very
Idul Fitri: Perbedaan Adalah Rahmat dan Keindahan yang Harus Dipupuk
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Rubiyanah Jalil, MA. (Foto: Dok PMD BNPT)

Jakarta, INDONEWS.ID - Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah sudah berakhir. Umat Muslim seluruh dunia bersuka cita merayakan hari kemenangan tersebut. Juga dengan Umat Islam Indonesia, Idul Fitri atau lebaran menjadi momentum untuk saling bermaaf-maafan serta berintrospeksi untuk membersihkan diri dari segala salah dan dosa.

Namun seperti sering terjadi sebelumnya, Idul Fitri 2023 kali ini jatuh pada hari berbeda diantara perhitungan bulan oleh pemerintah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pemerintah dan NU menetapkan Idul Fitri 2023 jatuh pada Sabtu (22/4/2023), sedangkan Muhammadiyah jatuh pada Jumat (21//4/2023).

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Rubiyanah Jalil, MA., mengatakan masyarakat harus memaknai perbedaan sebagai keberkahan, laiknya hadist Rasulullah SAW, al ikhtilaafu ummati rahmah yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk dan tidak dijadikan sebagai alat politisasi suatu kelompok.

“Jika perbedaan-perbedaan itu justru dijadikan sebagai bahan untuk memunculkan perpecahan karena ingin memenangkan satu kelompok sendiri maka perbedaan itu justru akan menjadi musibah bagi bangsa Indonesia,” kata Rubi yang juga merupakan dosen program studi magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah, di Jakarta, Senin (17/4/2023).

Baca juga : Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel

Rubi berharap momentum Ramadan dan Idul Fitri ini, umat kembali kepada fitrah manusia yang sesungguhnya yakni fitrah manusia yang mencintai kebenaran, kebaikan, keindahan dan kedamaian. Dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan, sejatinya momentum ini mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat meredam perpecahan bangsa.

Ia juga menegaskan bahwa bulan Ramadan dikenal memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, bulan penuh rahmat, hingga bulan syahru jihad atau bulan jihad. Dikatakan syahru jihad, karena secara historis pelaksanaan Ramadan pada masa Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan peristiwa perang dan kemenangan yang diraih umat Islam.

Baca juga : Perayaan puncak HUT DEKRANAS

Namun semangat ini, kerap disalahartikan oleh beberapa kelompok dengan konteks yang tidak sesuai. Jihad kerap diartikan dengan makna perang (qital), sehingga berpendapat bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk membuat teror bagi kelompok radikal-terorisme.

“Ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa atau menahan diri, itu pada dasarnya kita sedang berjihad, oleh karena itulah Ramadan disebut juga dengan dengan syahrul jihad,” tuturnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Menurut Rubi, ada satu peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya saat bulan Ramadan, yaitu peristiwa Perang Badar. Dalam kondisi berpuasa, Nabi Muhammad beserta 313 pasukannya melawan 1000 Kafir Qurais dalam Perang Badar. Dengan kondisi timpang, akhirnya umat Islam memenangkan perang bersejarah tersebut.

Namun, Rubi mengatakan, eforia kemenangan Perang Badar ini digambarkan oleh Rasulullah sebagai satu perang yang tidak seberapa. Seusai memenangi perang, Nabi Muhammad mengatakan, roza’kna min jihadil asgar ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Kemudian para sahabat bertanya, ‘lalu seperti apa jihad akbar itu ya Rasulullah?’.

“Rasulullah menjawab jihadul akbar jihadul nafs, jihad akbar itu adalah perang melawan diri sendiri. Jadi sebenarnya jihad yang paling besar itu bukan jihad secara fisik berperang dan lain-lain, tapi jihad yang besar itu adalah jihad untuk melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan baik diri sendiri maupun orang lain dan itu berpuasa.” ucap Dewan Pakar Asosiasi Komunikasi Penyiaran Islam (ASKOPIS) Indonesia ini.

Dalam konteks keindonesiaan, makna jihad melawan hawa nafsu ini dapat dipupuk untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras dan budaya, perlu menamkan nilai nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Menurut Rubi, perlu kesadaran bersama untuk memupuk terus kebhinekaan untuk menghindari perpecahan.

“Jika kita selalu berusaha untuk berjihad melawan diri sendiri, melawan keegoan kita sendiri maka sesungguhnya menjaga kesatuan dan persatuan NKRI adalah hal yang sangat bisa untuk diwujudkan,” tandas Rubi. ***

Artikel Terkait
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Artikel Terkini
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas