Jakarta, INDONEWS.ID – Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa hoax, hate speech, dan lain sebagainya sering menjadi produk yang di-orkestrasi oleh kekuatan tertentu yaitu kekuatan bisnis.
“Tetapi tak hanya kekuatan bisnis, ada kekuatan lain seperti pada sosial media TikTok. Basis dari data TikTok tersebar dengan menetapkan algoritma dan melakukan publikasi dengan sebebas-bebasnya. Tak hanya melalui Tiktok, manipulasi opini publik dapat dilakukan melalui berbagai platform media sosial lainnya,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Kampanye Politik di Media Sosial yang Partisipatif dan Edukatif”.
Acara yang dimoderatori Benni Yusriza ini merupakan kerja sama Universitas Paramadina dan The Indonesian Institute yang diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Senin (2/10/2023).
Umam mengatakan, karena itu, penting untuk melakukan filter terhadap berbagai pemberitaan terkait disinformasi yang ada mengenai pemilu ke depannya.
“Tak hanya melalui Tiktok, manipulasi opini publik dapat dilakukan melalui berbagai platform media sosial lainnya. Maka dari itu harus tetap melakukan filter terhadap berbagai pemberitaan mengenai disinformasi yang ada ada pemilu bisa berjalan baik ke depan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, penggunaan media sosial, termasuk dalam kampanye politik, dianggap baik dan efisien karena dapat menjangkau berbagai pihak dan sektor.
Namun banyak akun dan bot yang kemudian dapat menyebabkan berbagai permasalahan serta konflik sosial di tengah masyarakat.
Adinda menjelaskan bahwa konflik sosial salah satunya berasal dari berita hoaks atau informasi bohong dalam pemberitaan. Pada pemilu 2019 lalu, sebanyak 973 berita hoaks, kemudian pada pilkada 2020 terdapat 47 berita hoaks yang hingga saat ini terus bertambah.
“Peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah saat ini belum cukup untuk merespons berbagai pemberitaan yang ada di media sosial. Berbagai peraturan tersebut masih bersifat teknikal, dan sangat berbeda penggunaan sosial media saat ini dengan media konvensional. Selain itu, masih ada permasalahan mengenai kampanye melalui media sosial belum diatur secara rigid,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti PUSAD Paramadina, Husni Mubarak, mengungkapkan bahwa hasutan kebencian memang sengaja dilakukan untuk mempengaruhi orang, sedangkan pelintiran kebencian merupakan bentuk hasutan dan mencari korban.
Husni memberikan contoh narasi negatif dalam konteks menyudutkan lawan dengan identitas khusus, seperti narasi untuk mengajak menjadi pesimis, lawan politik dan musuh bukan kompetitor, dan bangsa kita sedang terancam hancur bila kita kalah.
“Sedangkan contoh narasi positif dengan inklusif merangkul, karakternya kita bersama mereka, optimistik, pertemanan, dan bersama kita bisa,” pungkasnya. ***