INDONEWS.ID

  • Rabu, 17/01/2024 20:34 WIB
  • Nilai Moral dan Etika Telah Jauh dari Kehidupan Ketatanegaraan Kita

  • Oleh :
    • very
Nilai Moral dan Etika Telah Jauh dari Kehidupan Ketatanegaraan Kita
Diskusi daring bertajuk “Peluang dan Tantangan: Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia” yang digelar LP3ES bekerjasama sama dengan Universitas Paramadina pada Selasa (16/1/2024). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Etika perilaku seorang pejabat publik di dalam kekuasaan sebenarnya telah diatur secara ketat. Namun, saat ini, perilaku para politisi dan orang yang terlibat dalam kekuasaan dan demokrasi telah jauh terkikis. Mereka telah menampilkan dirinya sebagai perusak moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu diungkapkan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam diskusi daring bertajuk “Peluang dan Tantangan: Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia” yang digelar LP3ES bekerjasama sama dengan Universitas Paramadina pada Selasa (16/1/2024).

Baca juga : Karya Sastra Puisi Indonesia dan Kazakhstan

Sementara itu, Direktur Pusat Hukum, HAM dan Gender LP3ES, Hadi Purnama, mengatakan etika selalu ada dimanapun kita hidup bersama.

“Ketika kita melihat dalam konteks kekuasaan, etika sangat penting untuk di tekankan. Sehingga menyebabkan perilaku tersebut berubah karena didasari kekuasaan yang ada,” ujarnya.

Baca juga : KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik

Hadi menekankan pentingnya hukum karena didasarkan pada etika. Ia  mengutip pernyataan Prof Jimly yang menekankan bahwa etika sangat penting dalam kenegaraan kita. Namun, saat ini, kekuasaan itu telah menghalalkan berbagai cara.

Hamid Basyaib, seorang aktivis dan mantan jurnalis melihat etika politik yang dicerminkan oleh Syahrir saat menjadi perdana menteri merupakan hal yang sangat baik.

Baca juga : Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo

“Ketika beliau menabrak mobil warga yang sedang diam tidak bergerak, beliau tetap mengganti biaya kerusakannya dengan tidak menyebutkan siapa dirinya serta jabatan yang diemban olehnya,” ujarnya.

Hamid mengatakan, dalam filsafat politik, semuanya bermula dari etika. Etika itu tetap yang paling utama dari hukum, dan menjadi induk dalam berbagai hal. Etika adalah sesuatu yang mengatur kehidupan bersama khususnya dalam perpolitikan.

Dosen PTIK dan Pengamat Militer, Sidratahta Mukhtar, memberikan contoh dalam etika sistem militer, yaitu terletak pada sistem komando.

“Sehingga jika terjadi kesalahan maka yang disalahkan adalah atasan dimana di dalamnya terintegrasi hukum, norma, nilai dan komando. Kemudian dalam etika kepolisian diukur dari 2 yaitu state accountability dan public accountability,” paparnya.

Sidratahta menekankan bahwa etika demokrasi harus terbangun lebih dahulu, kemudian akan terlembaga dalam institusi state.

“Jika merujuk pada state adalah negara dimana merupakan kontrak sosial, media untuk mensejahterakan, dan sebagainya. Tetapi bagaimana kalau nilai feodalisme, konservatif dan lain sebagainya tetap masih ada?” tanyanya.

“Hukum harus tegak, harus menjadi panglima yang menjadi acuan. Tetapi yang terpenting bagaimana membangun modalitas sosial untuk bagaimana menegakkan hukum, tetapi juga siap untuk membangun bangsa dan negara yang beretika,” tegasnya.

Sementara itu, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, memaparkan data dari The Economist pada tahun 2022. Menurutnya, dilihat dari 5 variabel secara global, Indonesia berada di peringkat ke-54.

“Indonesia dikatakan sebagai negara dengan demokrasi yang cacat, dapat dilihat dari political culture dan civil liberties,” ujarnya.

Mengutip hasil survei LSI, Titi menyampaikan bahwa pihak yang paling potensial melakukan kecurangan di Pemilu 2024 mayoritas disumbangkan oleh elit dalam hal ini politisi, dengan urutan pertama ditempati oleh partai politik, kemudian tim sukses capres/cawapres, disusul oleh penyelenggara pemilu.

“Yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan melakukan aktivisme/gerakan sosial untuk pengawalan dan literasi pemilu dalam rangka mewujudkan pemilih berdaya, aktivisme hukum dimana perlawanan sebagai bentuk keberdayaan pemilih atau masyarakat sipil dan aktivisme digital dengan tujuan untuk perluasan efektivitas jangkauan advokasi dan gerakan,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Karya Sastra Puisi Indonesia dan Kazakhstan
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Artikel Terkini
Karya Sastra Puisi Indonesia dan Kazakhstan
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas