INDONEWS.ID

  • Selasa, 30/01/2024 12:59 WIB
  • Soal Memihak dan Berkampanye, Presiden Dinilai Tidak Mampu Memilah Ruang Privat dengan Ruang Publik

  • Oleh :
    • very
 Soal Memihak dan Berkampanye, Presiden Dinilai Tidak Mampu Memilah Ruang Privat dengan Ruang Publik
Diskusi bertajuk “Presiden Berkampanye?” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa berdasarkan aturan, Presiden boleh memihak dan melakukan kampanye untuk memenangkan calon tertentu.

Menanggapi pernyataan tersebut, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkapkan bahwa kampanye hanya boleh dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, dan diikuti oleh peserta kampanye.

Baca juga : Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar

Menurutnya, sesuai aturan yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), ada regulasi teknis yang harus ditembuskan kepada KPU, Bawaslu dan jajarannya.

“Dalam hal presiden dan kampanye pemilu, berdasarkan regulasi teknis yang ada, karena tidak didaftarkan sebagai Pelaksana Kampanye, maka Presiden Jokowi tidak bisa jadi pelaksana kampanye untuk berkampanye bagi partai politik atau pasangan calon 
manapun untuk Pemilu 2024,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Presiden Berkampanye?” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024).

Baca juga : Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin

Titi memaparkan jika Presiden bisa ikut menjadi peserta kampanye, maka dia harus mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali pengamanan sebagaimana ketentuan Pasal 281 UU 7/2017 vide PP 32/2018.

“Bawaslu harus melakukan pengawasan terhadap pejabat negara berlatar belakang partai politik untuk mencegah politisasi dan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan pemilu,” tuturnya.

Baca juga : Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) memang tidak mengatur mengenai “conflict of interest”. Namun, Jokowi harus bisa mengambil jarak yang proporsional, jika salah satu cawapresnya merupakan anaknya sendiri. Karena, ada ikatan kontak batin yang dirasakan.

Umam mengungkapkan adanya ketidakmampuan dalam memilah ruang privat dengan ruang publik itulah yang menjadikan kekuasaan negara tidak netral hingga berbagai lembaga menjadi alat kemenangan politik termasuk dalam skala yang lebih besar yakni terjadi abuse of power.

Hal tersebut, katanya, bukan hanya ancaman bagi legitimasi ketika seorang calon presiden terpilih, namun juga ancaman terhadap nama baik dan masa depan demokrasi.

Ia mengungkapkan munculnya sejumlah pertanyaan mengenai netralitas, memicu tidak ketidakpercayaan publik sehingga bisa memunculkan chaos pasca pemilu. 

“Apakah praktik politisasi ini dapat dihentikan? Karena sebenarnya perilaku kekuasaan yang ada serupa, karena atas backup-backup yang dilakukan di belakangnya,” tanya Umam.

Dalam konteks politik praktis, lanjut Umam, terlepas dari etik dan legal standar, tampaknya hal tersebut merupakan pengantar atau sebuah pemanasan yang disampaikan oleh Jokowi.

“Karena per hari ini ada stagnasi elektabilitas mencapai 45%. Kalau misalnya situasi stagnasi adalah melakukan pukulan akhir yaitu bentuk pendeklarasian secara terbuka dari Jokowi sendiri,” ujarnya. 

Ketua SEMA Paramadina, Afiq Naufal, dalam paparannya menyatakan bahwa seharusnya presiden tidak menggunakan kewenangannya untuk berpihak. Keberpihakan presiden tidak hanya kepada pejabat politik tetapi juga sebagai penguasa.

“Kebebasan pendapat direpresi, padahal membicarakan mengenai keputusan MK, Bansos, dan lain sebagainya yang merupakan sebuah keberpihakan presiden. Yang menjadi permasalahan adalah bukan keberpihakan politik tetapi keberpihakan kekuasaan. Jika ‘raja’ sudah bergerak, berarti menjadi tanda-tanda pertarungan yang sangat berbahaya,” katanya. 

 

Presiden Bukan Hanya Berdasar pada Undang-undang Tapi pada Janji

Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI, menyinggung upaya melemahkan partai dengan adanya konflik, sebagai cara utama untuk ikut serta kekuasaan pemerintah atau presiden.

“Hal tersebut membuat semuanya tunduk seia-sekata dengan pemerintah, bahkan MK dan KPK yang diharapkan oleh masyarakat tak lagi berani dan bisa dengan tegas dalam memutuskan sebuah permasalahan,” papar Isnur.

“Mendorong 3 periode ini sendiri telah dibongkar oleh Jokowi seperti yang dikatakan oleh PDIP, memang disuarakan oleh para menteri dan ketua partai. Kemudian menjelang tahun-tahun pemilu ada kode-kode yang diberikan mengenai penerus yang dimanfaatkan oleh berbagai calon untuk kepentingan kampanye,” bebernya.

Isnur menyampaikan adanya temuan seputar pengerahan aparat pertahanan atau keamanan dalam politik praktis, mengerahkan dan mengancam kepala daerah untuk berpihak, memelihara dan mengendalikan buzzer untuk mempertahankan kekuasaan, serta kerja sama dengan lembaga survei untuk mempengaruhi persepsi masyarakat.

“Situasi ini adalah hal yang semakin berbahaya, ada rangkaian peristiwa yang mendasar,” ujarnya.

Dosen Tata Negara UGM, Zaenal Arifin Muchtar, mempertanyakan jika presiden melakukan cuti. “Bagaimana dengan tugas pemerintahan dijalankan oleh siapa? Lalu izin kepada siapa? Sebenarnya bukan hanya sekadar bisa atau boleh presiden berkampanye secara hukum, tetapi terlalu banyak komplikasi hukum yang terjadi karena undang-undang 7 tahun 2017 tidak mengaturnya secara detail,” ujarnya.

Undang-undang 30 tahun 2014 mengamatkan bahwa presiden tidak boleh melakukan tindakan yang bukan merupakan kepentingan negara tetapi mengedepankan kepentingan pribadi.

Karena itu, berat bagi presiden untuk melakukan kampanye bahkan melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu paslon. Dengan ada salah satu anaknya saja yang menjadi cawapres, hal itu sudah sangat merugikan paslon lainnya.

“Secara etika politik ini berdiri bukan hanya sekadar undang-undang tapi berdasar pada janji. Sehingga secara etis tuntutannya menjadi sangat berat, karena memperbolehkan berbagai tindakan tidak netral yang dilakukan oleh dirinya maupun para menteri hingga ASN,” tegasnya.

“Presiden dipincangkan, bukan dimakzulkan. Di beberapa negara presiden diperlakukan tidak berdaya karena menghindari cinderella action dimana mengeluarkan banyak peraturan dan kebijakan sebelum menjadi orang biasa. Harus ada peraturan bahwa presiden tidak bisa menjalankan berbagai hal,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Artikel Terkini
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas