Bisnis

Energi dan Berita Bohong

Oleh : very - Kamis, 05/04/2018 17:45 WIB

Thonthowi Dj adalah Co-Founder Indonesian Energy and Enviromental Institute (IE2I). (Foto: Ist)

 

Thonthowi Dj *)

“Berita Bohong. Pemerintahan palsu. Data statistik bohong. Demokrasi palsu. Semuanya menegaskan Amerika Serikat”.  Demikian salah satu komentar yang muncul  dari berita berjudul “Amerika Serikat adalah Eksportir Energi. Apakah ini Berita Bohong? (“United States as energy exporter: Is it “fake news”?) “, yang dimuat situs peakoil.com pada 4 Maret 2018.   

Penulis tersebut agaknya memang  jengkel dengan kian bertebaranya berita bohong atau palsu yang dalam beberapa tahun belakangan ini di Amerika Serikat.  Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat belakangan juga terbukti ditopang pembuatan berita bohong. Terbukti pula bahwa berita bohong tersebut tak hanya diproduksi di Amerika Serikat sendiri, melainkan juga di Eropa.  Karena itu, tidak mengherankan jika ada yang mengomentari artikel tersebut  secara skeptis.

Artikel tersebut memang menguliti kebenaran Amerika Serikta sebagai net exporter  energi. Informasi  tentang hal ini mengemuka sejalan dengan telah ditemukannya minyak dan gas serpih (shale oil and gas). Teknologi yang berhasil mengangkat minyak  dan gas serpih ini disebut-sebut membuat Amerika Serikat, bakal berbalik dari importir menjadi eksportir energi, dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam Artikel itu  diungkapan, ternyata impor energi Amerika Serikat, masih tinggi. Data U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan, pada November 2017, Amerika Serikat mengimpor  329.5 triliun british thermal union (BTU) dari berbagai bentuk sumber energi.  Salah satunya adalah soal listrik.  

Jaringan listrik Amerika Serikat dan Kanada menyatu.  Faktanya, listrik yang dikirim Kanada ke Amerika Serikat jauh lebih besar, ketimbang yang dikirim Amerika Serikat ke Kanada. Hal ini membuat Amerika Serikat adalah net importer listrik dari Kanada.

Dalam bentuk minyak bumi, impor Amerika Serikat juga masih tinggi. Amerika Serikat memang mengekspor sekitar 1,5 juta barel per hari (bph) minyak mentah. Namun, impornya mencapai 7,5 juta bph. Inilah mengapa artikel tersebut menyebut bahwa berita tentang Amerika Serikat sebagai negara net exporter adalah bohong.

Berita bohong (fake news) atau sering disebut hoax, bukan monopoli Amerika Serikat. Di  Indonesia, persoalan berita bohong  juga telah menjadi concern berbagai pihak. Berita bohong sudah merambah berbagai bidang di Indonesia.  Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel ) malah menyebut hoax sudah mewabah, dan sudah menimbulkan instabilitas politik dan gangguan keamanan, yang berpotensi mengganggu pembangunan nasional. 

Survei Mastel pada 2017 memang menyebutkan, mayoritas responden (90,30 persen) menyatakan hoax adalah berita bohong  yang disengaja. Sedangkan yang menganggap hoax sebagai berita hasutan sebanyak 61,6 persen, dan yang menilai sebagai berita tidak akurat 59 persen.

Mayoritas masyarakat berkenan meneruskan berita bohong tersebut lantaran menerima informasi dari orang yang dipercaya (47,1 persen), atau mengira bermanfaat (31,9 persen).  Saluran hoax yang paling sering diterima masyarakat adalah melalui social media (92,4 persen), disusul aplikasi percakapan (62,8 persen), dan situs web (34,9 persen).  Sedangkan bentuk hoax yang paling sering diterima adalah tulisan (62,1 persen) dan gambar (37,5 persen), sedangkan yang jarang dalam bentuk video (0,4 persen).

Adapun materi hoax yang sering diterima masyarakat adalah tentang sosial politik (pemerintahan, pilkada) sebanyak 91,8 persen dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sebanyak 88,60 persen.

Namun, pada dasarnya hoax merambah semua bidang, tidak terkecual persoalan energi. Masih ingatkan soal pamflet berisi pengumuman rencana pencabutan gas subsidi bagi masyarakat berpenghasilan di atas Rp350 ribu per bulan, yang beredar pada Januari lalu. Pamflet tersebut seolah-olah resmi dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Salah satu surat kabar nasional bahkan menaikkan berita dengan judul “Inikah Kado Terindah Tahun Baru–Subsidi Gas 3 Kg Dicabut Bakal Banyak Ibu-ibu Mencak-Mencak”, berdasarkan pamflet yang beredar tersebut.

Kementerian ESDM segera saja membantah telah mengedarkan pamflet, tersebut. Pemerintah, masih tetap menyubsidi LPG  (liquified petroleum gas) tiga kilogram sebagaimana tercantum dalam APBN 2018.

Pamflet yang diedarkan sebenarnya adalah imbauan dan sosialisasi agar masyarakat mampu tidak mengkonsumsi LPG 3 kilogram. Tujuannya agar subsidi bisa lebih tepat sasaran, dan tidak terjadi pembengkakan subsidi yang membebani keuangan negara.

Selain LPG, sempat pula menjadi kabar viral tentang harga Pertalite di Jayapura menembus harga Rp77 ribu per liter. Kabar ini meresahkan lantaran Program BBM 1 Harga yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, menjadi dipertanyakan.

Setelah diselidiki, ternyata kabar ini hoax, dan berasal dari sebuah akun  Facebook.  Akun ini memposting gambar struk pembelian BBM di sebuah SPBU  milik PT Pertamina (Persero) 84.991.06 di Jayapura, dengan besaran harga Rp77 ribu per liter.  Pertamina membantah postingan ini. Polisi pun telah menahan pemilik akun karena tindakannya yang meresahkan masyarakat.

Di Indonesia, penyebaran hoax diperkuat dengan kondisi literasi yang masih rendah. Dalam catatan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 2012, indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001.  Artinya, di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca secara serius. Demikian pula catatan survei Most Literated Nation in The World (2015), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara.

Perang melawan hoax perlu dilakukan semua pihak, tidak terkecuali insan yang sehari-hari menggeluti bidang energi. Keterlibatannya bisa dalam berbagai berntuk aktivitas. Bisa dengan memberikan informasi yang benar di bidang  energi. Dan, sebaliknya tidak turut menyebarkan berita bohong tentang bidang energi. 

Produksi konten positif, baik dari lingkup skala lokal maupun nasional, memang perlu diperbanyak, sebagai strategi jangka pendek. Hanya saja untuk jangka panjang, pendidikan literasi menjadi sangat penting.

Kedua langkah itu akan jauh lebih efektif jika ditopang dengan undang-undang. Memerangi hoax dengan membuat UU telah dilakukan di sejumlah negara. Jerman adalah negara yang belakangan sering menjadi rujukan pengaturan ujaran kebencian di media sosial.

Negara asal klub sepakbola Bayern Munchen ini sudah meloloskan undang-undang yang dapat menjerat perusahaan social media, semacam Facebook,  jika tidak menghapus satu informasi hoax dalam waktu 24 jam. Perusahaan tersebut  akan didenda 500 ribu euro atau sekitar Rp 7 miliar.

Tetangga kita, Malaysia, juga segera mengesahkan undang-undang untuk menghadapi penyebaran berita palsu bohong.  Malaysia akan menjatuhkan hukuman hingga enam tahun penjara bagi para pelanggarnya.

Pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak memperoleh suara mayoritas di parlemen untuk meloloskan Rancangan Undang-undang (RUU) Anti-Berita Palsu 2018, yang menetapkan denda hingga 500.000 ringgit (Rp1,8 miliar), dan hukuman maksimum enam tahun penjara.

Baik Malaysia maupun Jerman menyebut UU yang mereka bikin tidak tidak akan mempengaruhi kebebasan berbicara, dan kasus-kasus yang terjadi akan ditangani melalui proses pengadilan independen.  Tentu saja, aturan buatan manusia tidak bisa sempurna sekali. Karena itu, sejak aturan tersebut diberlakukan beberapa bulan lalu, pemerintah Jerman kini mulai mempertimbangkan beberapa perubahan, agar tetap lebih bisa menjamin kebebasan berbicara.

Cara Jerman dan Malaysia tersebut, semestinya perlu dilakukan pemerintah dan parlemen Indonesia. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai masih terlalu lunak untuk menghadapi berita bohong maupun ujaran kebencian. UU yang kuat akan menopang upaya masyarakat yang telah memerangi sendiri berita bohong dan ujaran kebencian, baik dengan memperbanyak konten positif, membentuk komunitas anti hoax, mapun perkumpulan peningkatan literisasi digital.

Co-Founder Indonesia Energy and Enviromental Institute (IE2I)

 

Artikel Terkait