Nasional

Tanpa Disertai Data dan Fakta Hukum, Klaim Kubu 02 Seperti Mimpi di Siang Bolong

Oleh : very - Jum'at, 07/06/2019 15:01 WIB

Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Capres-Cawapres Nomor Urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah mendaftarkan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden-Wakil Presiden ke MK dengan 7 (tujuh) tuntutan yang diajukan yaitu : "Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya"; Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor : 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019, Tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilu Tahun 2019 dan Berita Acara KPU RI No. : 135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019, Tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilu Tahun 2019;

Selain itu, Menyatakan Paslon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 secara Terstruktur, Sistimatis dan Masif; Mendiskualifikasi Paslon Nomor 01 sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019; Menetapkan Paslon 02 Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024; Memerintahkan kepada Termohon untuk seketika mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penetapan H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024; atau "Memerintahkan KPU melakukan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia". 

Anggota Forum Advokat Pengawal Pancasila/FAPP, Petrus Selestinus, mengatakan, tuntutan untuk memenangkan Hasil Pemilu di MK sebetulnya sangat sederhana, cukup dengan menyatakan keberatan terhadap Hasil Perhitungan Suara yang ditetapkan KPU adalah tidak benar dan yang benar adalah Hasil Perhitungan Perolehan Suara menurut Pemohon yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Paslon disertai dengan bukti-bukti kecurangan dalam penghitungan suara sehingga menyebabkan perolehan suara bagi Pemohon menjadi berkurang.

“Mengapa sederhana, karena masa persidangan di MK hanya 14 (empat belas) hari, namun Kubu 02 justru telah mengajukan tuntutan yang tumpang tindih yang bukan merupakan wewenang MK. Kubu 02 sama sekali tidak mencantumkan point tentang klaim selisih perolehan suara sebesar 62% dan/atau 54% berikut bukti-bukti yang bisa mengubah Penetapan KPU,” ujarnya di Jakarta, Jumat (7/6). 

Petrus mengatakan, kubu 02 seharusnya membuktikan klaim perolehan suara sebanyak 62% dan/atau 54% berdasarkan bukti-bukti Real Count internal, karena klaim kemenangan ini tetap dipertahankan hingga peristiwa berdarah tangal 21 dan 22 Mei 2019 yang baru lalu hingga Permohonan PHPU diajukan. Mengapa, karena klaim kemenangan dengan perolehan suara sebesar 62% sudah dideklarasikan dengan "sujud syukur" pada tanggal 17 April 2019, meski kemudian angka perolehan suara berubah turun menjadi 54%, itupun sama sekali tidak diuraikan dalam Permohonan PHPU, sehingga Permohonan PHPU Kubu 02 dapat diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan "pengesahan" atas kekalahan Kubu 02 melalui Putusan MK.

Apapun manuvernya, kata Petrus, klaim kemenangan Kubu 02 dengan angka perolehan suara sebayak 62% dan/atau 54%, tidak didukung data dan fakta-fakta hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan secara Ilmiah.

“Seandainya-pun klaim kemenangan sebesar 62%  dan/atau 54% benar adanya (quod non), mestinya aksi damai yang dilakukan Kubu 02 dan berakibat rusuh pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019 untuk menolak Keputusan KPU, didukung dengan kehadiran masa dalam jumlah  besar sebagai representasi dari 62% pemilih yang katanya telah memilih Paslon 02 berdasarkan Real Count internal BPN, ternyata itupun tidak nampak sama sekali,” ujarnya.

Lalu atas dasar apa Kubu Paslon 02 membawa persoalan kekalahannya ke MK, kalau hanya sekadar membangun semangat untuk mengubah posisi MK menjadi lembaga Peradilan superbody yang boleh memutuskan apa saja terkait Pemilu.

Tentu pintu masuknya adalah Uji Materil UU Pemilu ke MK, sehingga model MK yang dicita-citakan oleh Bambang Widjojanto dan Kubu 02 adalah MK yang dalam memeriksa dan memutus perkara Pemilu tidak hanya sebatas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019, tetapi juga memeriksa soal Pelanggaran Pidana, Pelanggaran Administratif, Etik dll. dengan kekuasaan MK yang tanpa batas, boleh mencaplok kewenangan Badan lain (BAWASLU, DKPP, GAKUMDU dll.) guna memutus sengketa Pelanggaran Pemilu, Proses Pemilu dan Hasi Pemilu.

Konstitusi tidak pernah memberikan keistimewaan kepada satupun Lembaga Negara entah Eksekutif, Legislatif ataupun Yudikatif dengan kekuasaan yang "tidak tak terbatas" dan ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut. Semua lembaga Negara telah dibatasi wewenang dan kekuasaannya oleh UUD 1945, oleh Undang-Undang dan oleh Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

“Karena itu keinginan Kubu Paslon 02 untuk mendiskualifikasi Paslon Presiden dan Wakil Presiden 01 Jokowi-Ma`ruf Amin sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 dan menuntut dilaksanakan Pemungutan Suara Ulang di seluruh wilayah Indonesia, jelas merupakan mimpi di siang bolong karena hal itu bukan saja di luar wewenang MK tetapi juga tidak sesuai dengan amanat pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang amanatkan Pemilu hanya satu kali dalam 5 (lima) tahun alias tidak ada Pemungutan Suara Ulang seluruh Indonesia,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait