Nasional

Suap Reklamasi, Gubernur Kepri Terima Uang Haram Sebesar USD 11 Ribu Dan 45 Juta

Oleh : Ronald - Kamis, 11/07/2019 23:45 WIB

Tersangka kasus suap reklamasi, Gubernur Kepri Nurdin Basirun saat tiba di KPK. (ist)

Jakarta, indonews.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Pandjaitan menceritakan kronologi penetapan tersangka yang kini disandang oleh Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun yang terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Rabu, (10/7/2019) kemarin. Dalam OTT tersebut, tim penindakan KPK menangkap sebanyak 7 orang. Namun, tiga lainnya dilepas karena belum bisa dikategorikan sebagai tersangka.

Disampaikan Basaria, selain Nurdin, ada beberapa nama lainnya antara lain Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri Edy Sofyan, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Kepri Budi Hartono sebagai tersangka. Sementara sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Abu Bakar.

Sementara, keterlibatan Nurdin dalam kasus ini berawal dari pengajuan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) untuk dibahas DPRD.

Nantinya, Raperda ini akan menjadi acuan hukum pemanfaatan Pengelolaan wilayah kelautan Kepri terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, ada banyak pihak yang juga turut mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodasi dalam RZW3K Provinsi Kepri.

"Jadi, pada Mei 2019, Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resor dan kawasan wisata seluas 10,2 Hektare. Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung," ungkap Basaria.

Nurdin diduga memerintahkan Budi dan Edi untuk membantu Abu bakar supaya izin yang diajukan segera disetujui. Untuk mengakali hal tersebut, Budi Hartono menyuruh Abu Bakar agar menyebut akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya.

"Di mana upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya," ucap Basaria.

Agar segera disetujui, Basaria mengatakan, Budi kemudian kembali memerintahkan Edi untuk melengkapi dokumen dan data pendukung lainnya.

"Diduga, dokumen dan data dukung yang dibuat Edi tidak berdasarkan analisis apa pun. Edi hanya menjiplak dari daerah lain agar cepat selesai persyaratannya," kata Basaria.

Sementara itu, sambung Basaria, tersangka Nurdin diduga telah menerima suap dalam beberapa tahap dari Abu Bakar, baik secara langsung maupun melalui Edi.

“Pada tanggal 30 Mei 2019, diterima SGD 5 ribu dan Rp 45 juta. Esoknya, 31 Mei 2019, terbit izin prinsip reklamasi untuk ABK, seluas 10,2 hektare,” jelas Basaria.

Yang terakhir kemudian pada tanggal 10 Juli 2019, Abu Bakar kembali memberikan uang tambah sebesar SGD 6000  kepada Nurdin melalui Budi.

Sebagai pihak yang diduga penerima suap dan gratifikasi, Nurdin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf 1 atau Pasal 11, dan Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lalu untuk Edy Sofan dan Budi Hartono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan, Abu Bakar sebagai pemberi, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau humf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pldana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (rnl)

 

 

 

Artikel Terkait