Nasional

Menyikapi RUU KUHP: Bangsa Minim Literasi yang Suka Gaduh

Oleh : very - Sabtu, 21/09/2019 17:46 WIB

Rudi S Kamri, penulis adalah pengamat sosial-politik, tinggal di Jakarta.(Foto: Ist)

Oleh: Rudi S Kamri *)

SAAT ini terjadi kegaduhan dan kehebohan di seluruh antero negeri karena ada rencana pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU KUHP). Berseliweran di media sosial tentang penolakan sebagian besar masyarakat terhadap RUU KUHP tersebut. Dan yang paling mengenaskan banyak narasi di media sosial yang ngawur tentang isi RUU tersebut. Biasanya kegaduhan di media sosial selanjutnya diikuti oleh demo-demo mahasiswa atau kelompok tertentu yang mengganggu kenyamanan masyarakat.

Sebagai contoh narasi sesat : "seorang perempuan diperkosa kalau dia hamil akibat perkosaan tersebut lalu menggugurkan kandungannya dia akan dihukum 4 tahun. Ini tidak adil bagi perempuan. Ini harus dilawan". Narasi seperti ini menjadi viral dan seperti biasa kebiasaan kita tanpa check n recheck langsung dicopas ke semua group. Dan ini berlangsung sambung sinambung. Suatu kepekokan literasi sedang terjadi secara berjamaah.

Apakah benar RUU KUHP tersebut sekejam itu terhadap perempuan ?

Ternyata TIDAK !!! Dari draft RUU KUHP yang saya baca bahwa pasal hukuman aborsi itu TIDAK MENIADAKAN Pasal 75 UU Kesehatan yang sudah ada. Dimana pada kondisi kedaruratan medis yang bisa membahayakan jiwa sang ibu atau jika kehamilan tersebut mengakibatkan trauma psikologis sebagai akibat perkosaan, DIPERKECUALIKAN dalam RUU KUHP tersebut.

Lalu apa yang diributkan ? Kalau aborsi dilakukan dengan kesengajaan bukan karena kedaruratan medis, misalnya sebagai akibat perzinahan atau perselingkuhan, apakah negara akan membiarkan hal ini bebas terjadi ? Negara ini harus tetap menjaga norma adab dan budaya Nusantara. Kita bukan negara liberal yang bebas melakukan apa saja atas nama kebebasan individu, bukan ?  Lagi pula agama mana yang membiarkan aborsi jenis seperti ini dilakukan ?

Banyak contoh `misleading information` yang terjadi terhadap RUU KUHP tersebut. Semua itu akibat kita malas membaca dan terlalu sering ingin terlihat hebat dengan membuat kegaduhan. Kita tidak sadar, kita sedang ditunggangi berbagai kepentingan yang ingin RUU KUHP tidak disahkan. Sebagai contoh dalam RUU KUHP itu ada pasal-pasal yang mengatur penghinaan kepada Kepala Negara. Kelompok orang yang anti Pemerintah pasti kebakaran jenggot terhadap pasal ini. Karena  mereka akan terancam kehilangan lahan untuk melakukan penistaan dan penghinaan seenaknya kepada Presiden. Lalu mereka mengkamuflase kepentingan mereka dengan melakukan penyebaran informasi palsu tentang perkosaan, pemeliharaan binatang dan lainnya. Sebagai akibat karena kita minim literasi, kita menjadi santapan isu yang menyesatkan tersebut.

Bagaimana sikap saya terhadap RUU KUHP tersebut ?

Sikap saya TIDAK SETUJU dan mendukung penuh sikap Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan RUU KUHP tersebut karena ada pasal-pasal yang harus dilakukan pendalaman dan pengkajian lagi. Tapi bukan tentang pasal aborsi dan beberapa hoax yang tersebar tersebut.

Harus diakui RUU KUHP tersebut jauh dari sempurna. Tapi upaya untuk mengganti UU Pidana peninggalan kolonial Belanda tetap harus diapresiasi. Yang harus dijaga adalah jangan sampai UU KUHP tersebut memuat pasal-pasal diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu. UU KUHP tersebut harus bersifat adil bagi semua golongan masyarakat dari suku dan agama apapun. Dalam konteks ini saya sangat setuju dengan pandangan dan sikap tegas Presiden.

Namun satu hal yang saya sesalkan adalah kemalasan orang-orang dari instansi Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (kemenkumham) dalam melakukan sosialisasi dari RUU KUHP tersebut. Akibat dari ketidakmampuan mereka dalam menjalankan tugasnya, akhirnya berkembang informasi liar di masyarakat yang dihembuskan oleh kelompok yang anti Pemerintah. Celakanya karena kita malas membaca dan hanya menjadikan postingan di media sosial sebagai kitab suci kebenaran, sebagian kita termakan isu sesat dan menjadi gaduh tidak kepuguh.

Saran saya kepada Presiden Jokowi dalam kabinet kerja berikutnya, mohon dipilih seorang Menkumham yang pintar membentengi Presiden dan mencegah terjadinya permainan bola liar. Jangan dipilih seorang figur Menteri yang terlalu sering berlindung di ketiak Presiden dan sering membuat Presiden harus turun tangan untuk suatu urusan yang seharusnya bisa ditangani pembantunya.

Saran untuk sahabat Warganet, mari kita lakukan kegiatan gemar membaca dan jangan mudah terprovokasi dengan informasi palsu di media sosial. Mari kita lakukan check and recheck terlebih dahulu. Kalau saja kita sudah melakukan semua tahapan itu tapi masih saja ada pasal-pasal dalam sebuah UU yang kita anggap tidak proper dan merugikan masyarakat, kita masih punya instrumen untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Jadi tidak harus gaduh, bukan ?

Salam SATU Indonesia

21092019

*) Rudi S Kamri, penulis adalah pengamat sosial-politik, tinggal di Jakarta.

Artikel Terkait