Politik

Ngopi Bareng Sabtu: Komunikasi Politik Istana Harus Ditata Ulang

Oleh : very - Minggu, 13/10/2019 23:20 WIB

Para alumni/penyatu PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dalam diskusi Ngobrol Pintar (Ngopi Bareng Sabtu). (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID --  Kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini ditengarai akibat buruknya sistem komunikasi politik di lingkaran Istana Kepresidenan. Istana dianggap belum mampu mengajak masyarakat untuk memahami dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah.

Tampaknya ironi karena beberapa orang dalam lingkaran Istana justru terkesan komunikasi dan pernyataannya justru menciptakan distorsi pemahaman publik sehinga berdampak pada resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Parahnya lagi, Presiden Jokowi seolah berjalan sendirian, sementara yang lain sibuk menyelamatkan diri masing-masing untuk sejumlah kepentingan di kabinet dan jabatan lainnya di periode baru ini.

Demikian benang merah dan catatan kritis para alumni/penyatu PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang disampaikan Inisiator/Koordinator Forum Sahabat Penyatu/Alumni PMKRI, Emanuel Migo kepada wartawan, Minggu (13/10).

Menurut Migo, sapaan Emanuel Migo, catatan tersebut merupakan hasil diskusi yang berkembang pada acara Ngobrol Pintar (Ngopi Bareng Sabtu), pekan lalu.

Adapun penyatu/alumni yang hadir dalam diskusi Tri Agung Kristanto (wartawan Senior Kompas), para alumni PMKRI seperti politikus PDIP Restu Hapsari dan Yohanes Fransiskus Lema (Anggota DPR RI Fraksi PDIP), Sebastian (Salang Pengamat Politik), Antonius Doni Dihen (politikus PKB dan mantan TKN Jokowi-Ma’ruf).

Sedangkan dari kalangan profesional yang hadir di antaranya Gaudens Wodar, Leonardo J. Renyut, dan Emanuel Migo, Stefanus Asat Gusma. Sementara itu, hadir pula dari kalangan lawyer Monica, Emanuel Herdiyanto serta bloger Priyo Husodo, pegiat LSM Indro Surono dan Gaby Sola.

Lebih lanjut, Migo mengungkapkan para alumni/sahabat penyatu PMKRI mencatat bahwa dalam perkembangan terakhir tampaknya komunikasi politik di lingkaran istana sering melakukan blunder dalam menanggapi isu-isu yang berkembang. Respons istana atas sebuah masalah di media sering sekali menjadi bola liar yang tidak terkendali di publik.

Sebagai contoh, pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bahwa KPK menghambat masuknya investasi di Indonesia. Selain itu, pernyataan Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin soal situasi dan kasus Papua yang penanganannya tampak tidak terorkestrasi dengan baik. Termasuk pernyataan Moeldoko sebagai Kepala KSP soal buzzer politik istana, dan yang terakhir soal statement Menkopolhukam Wiranto bahwa pengungsi gempa Ambon membebani negara ini turut menambah riuh situasi politik.

“Hal-hal inilah yang turut dibedah dan didiskuaikan saat acara Ngopi Sabtu yang dihadiri para tokoh alumni PMKRI lintas generasi dan profesi,” kata Migo seperti dikutip dari siaran pers.

Menurut Migo, Alumni PMKRI menilai sepertinya memang ada masalah besar di lingkaran istana terkait pengelolaan dinamika politik, terutama tentang pengelolaan komunikasi politik yang dibangun. Tercatat bahwa pada tahun 2017, Jokowi pernah mengeluhkan komunikasi politik ke publik yang belum maksimal dan kurang luas menjangkau publik.

“Jokowi gerah dan sudah beberapa kali mengingatkan namun tidak juga ada perbaikan. Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi sangat dirugikan dengan lemahnya komunikasi politik istana,” kata Migo mengutip pandangan yang berkembangan dari diskusi para alumni PMKRI.

Sebagai presiden di periode kedua, menurut Migo, Alumni PMKRI berharap Jokowi perlu sekali dukungan yang maksimal dalam hal komunikasi politik istana. Pengalaman pada periode pertama penting sebagai bahan evaluasi agar pengelolaan komunikasi politik ini ditinjau kembali dan ditata ulang.

“Kritik buruknya komunikasi politik istana saat ini harus diperbaiki dalam tataran siapa yang harus bicara apa dan dengan cara bagaimana. Tidak semua hal harus diberikan porsinya kepada presiden yang menyampaikan ke publik. Lalu, pesan yang keluar harus jadi pembuka sumbatan saluran ke dan dari publik, bukan sebaliknya malah terjadi disinformasi,” tegas Migo.

 

Menghimpun Aspirasi Rakyat

Salah satu rekomendasi lain dari diskusi para alumni PMKRI adalah Presiden Jokowi harus serius menata ulang tim dan perangkat komunikasi politiknya. “Harus ada pembantu presiden yang mampu menyinkronkan pemikiran para tokoh, jaringan gerakan rakyat, mahasiswa dan kelompok-kelompok lainnya. Istana harus mampu menghimpun aspirasi masyarakat,” demikian catatan para Alumni PMKRI.

Lebih lanjut, Migo menegaskan tujuan komunikasi politik adalah membentuk persepsi publik yang baik dan juga membentuk opini publik yang positif. Citra politik secara keseluruhan terbentuk berdasarkan informasi yang diterima masyarakat secara langsung maupun melalui media dan media sosial.

“Pesan politik harus disampaikan dengan lugas oleh orang-orang yang paham persoalan dan mumpuni,” kata Migo, mantan Sekjen PP PMKRI ini.

Menurutnya, Migo yang merupakan aktivis pro demokrasi pada saat gerakan refornasi di Indonesia ini, rakyat bukan hanya sebagai khalayak saja dalam komunikasi politik melainkan juga komunikator dalam model komunikasi timbal balik yang secara aktif memberikan penilaian. Persepsi dan kesan yang buruk pasti akan sangat merugikan presiden dan dapat berdampak pada berkurangnya dukungan dari rakyat.

“Presiden tidak boleh hanya mengandalkan media sebagai tempat "curhat" tanpa kejelasan sistem informasi publik yang seharusnya tercermin dalam pengelolaan komunikasi politik istana,” kata Migo.(Very)

Artikel Terkait