Nasional

Mas Menteri, Anda Bukan Coder

Oleh : indonews - Jum'at, 08/11/2019 11:44 WIB

Jaha Nababan, S.Sos., Ed.M., CCP NeuroEducation Coach. Alumni Boston University School of Education. (Foto:Youtube)

Jaha Nababan, S.Sos., Ed.M.,*)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Ya, Anda adalah seorang agen perubahan. Dengan kekuatan yang sedemikian besar pada Anda, tentunya anda tidak ingin menjadikan generasi Indonesia mendatang coder atau programer semuanya. Dibutuhkan belasan tahun untuk T-Cash (2007) untuk menjadi besar, sementara Gopay (2016) yang lebih muda, Anda jadikan penguasa pasar fintech.

Anda adalah agen perubahan bukan coder. Anda adalah agen perubahan yang sejenis dengan Steve Jobs, bukan Steve Wozniak. Ibarat sebuah telepon pintar, Anda memiliki dua fitur yang tidak dimiliki oleh Menteri Pendidikan lain sebelum Anda. Pertama, Anda adalah seorang agen perubahan dan kedua Anda adalah seorang wirausahawan yang sadar cost efficiency dan cost effectiveness.

Apa yang dapat Anda lakukan dengan kedua hal tersebut? Mari mulai dengan yang kedua. Tantangan sistem pendidikan di Indonesia adalah membuat pendidikan menjadi cost effective dan cost efficient. Amerika selalu menempati peringkat tertinggi dalam pengeluaran untuk pendidikan dibanding negara-negara OECD, tetapi peringkat PISA Test-nya jauh tertinggal dibanding Kanada, Jepang, Finland yang pengeluarannya lebih rendah meski sama-sama berada di atas rata-rata negara OECD lainnya. Bahkan Korea yang pengeluaran untuk pendidikannya di bawah rata-rata negara OECD, pun memiliki peringkat PISA Test yang lebih tinggi dari Amerika.

Di sinilah keahlian Anda sebagai wirausahawan yang sadar bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan Kementerian Pendidikan yang Anda pimpin harus memberikan manfaat sebesar-besarnya. Jika Anda membedah pendidikan di Indonesia dari sisi pemanfaatan anggaran, Anda akan tahu bahwa telah terjadi korupsi anggaran. Bahkan, tahukah Anda, bahwa Anda bisa menebak sekolah negeri yang kepala sekolahnya korupsi hanya dengan masuk ke ruangan kepala sekolah dan menyaksikan penataan meja-meja atau ruangan stafnya.

Kami yakin Anda bisa mengebrak dalam 100 hari dengan membongkar korupsi di sekolah dan memperbaiki efektifitas anggaran tahun-tahun mendatang. Lebih lanjut, Finlandia bukan negara dengan gaji guru tertinggi, tetapi menempati peringkat tertinggi dalam PISA Test. Salah satu negara bagian di Kanada, bahkan menghapuskan insentif untuk para guru.

Banyak kajian manajemen yang membuktikan bahwa sistem insentif tidak berbanding lurus dengan kinerja. Sebagai lulusan Harvard Business School Anda jauh lebih paham tentang hal ini dari pada para Menteri Pendidikan sebelum Anda. Dalam kasus di Kanada tersebut, ternyata kinerja guru malah meningkat. Insentif digantikan dengan coaching sebagai support system, itulah rahasianya. Finlandia dan Kanada memberikan support system yang sangat baik untuk para guru dalam berkembang.

Hal-hal baik seperti itu perlu ditiru. Tetapi yang ditiru bukan strateginya. Prosesnya. Keseluruhan sistem pendidikan Finlandia akan gagal ditiru oleh negara mana pun karena rahasia kesuksesan sistem pendidikan di Finlandia bukan pada bongkar pasang strategi, melainkan tambal sulam. Inilah proses yang perlu Anda jadikan rem jika anda ingin melakukan perubahan besar-besaran. Percayalah, meski Anda memiliki keunggulan yang pendidikan Indonesia butuh saat ini, para pendahulu Anda tidak pula sembarangan membangun sistem. Kebiasaan bongkar pasanglah yang sering merusak hasil akhirnya. Tambal sulamlah kekurangan sistem sebelumnya.

Sebagai contoh, tahun 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) baru saja naik pentas kurang lebih bersamaan dengan dilantiknya Presiden SBY. Dua tahun kemudian SBY mengubahnya menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang hanya menghilangkan komponen Materi dan Indikator dari KBK. Tujuh tahun kemudian, masih di masa jabatan Presiden SBY, lahirlah Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang cukup progresif dan kekinian hanya sayang lahir prematur karena politik pemilu.

Sejarah perubahan kurikulum kita sarat dengan campur tangan politik. Inilah contoh kasus bongkar pasang.

**

Awal pemerintahan Presiden Jokowi, Mendiknas waktu itu harus melakukan transisi dari KTSP ke Kurtilas serta amanat membuat Kurikulum Revolusi Mental. Mendiknas paruh pertama kepemimpinan Jokowi cukup bijak melakukan tambal sulam antara Kurtilas dan KTSP sehingga terjadi transisi yang cukup baik meski beliau sudah digantikan karena gagal melahirkan Kurikulum Revolusi Mental.

Mas Menteri, Anda tentunya mewariskan kompleksitas yang sama. Anda harus melahirkan Kurikulum Revolusi Mental yang bisa menghasilkan anak-anak bangsa yang akan mengambil kendali Industri 4.0 dunia. Di sinilah keahlian anda sebagai agen perubahan bermanfaat. Anda perlu mendorong terjadinya sistem pendidikan nasional yang dapat mencetak agen-agen perubahan seperti Pak Jokowi, Prof. Jimly Asshiddiqie dengan Mahkamah Konsistusi, Anda dengan Gojek dan banyak lagi agen-agen perubahan yang muncul satu dekade terakhir ini.

Tahukah Anda bahwa, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mengarahkan sistem pendidikan nasionalnya untuk mencetak agen-agen perubahan? Semua negara juara PISA Test dan para pengikutnya bercita-cita menghasilkan Steve Wozniak, bukan Steve Jobs. Mereka bercita-cita menguasai sains dan teknologi untuk penguasaan ekonomi. Steve Jobs, Anda, Thomas Alva Edison adalah agen perubahan. Berbeda dengan Steve Wozniak, dan Nikolas Tesla sang jenius sains dan teknologi.

Di Era Disruptif ini, sebuah teknologi dapat mendunia karena tangan-tangan agen perubahan. Seperti halnya Gojek, Gopay, Go-Food di tangan Anda, bukan di tangan coder, programer dan tim IT.

Kita mungkin sulit mengejar ketertinggalan di bidang sains dan teknologi, tetapi pekerjaan sains dan teknologi seperti coder, programer, adalah pekerjaan kelas menengah yang saat ini sudah mulai hilang ditelan zaman piranti lunak dapat membuat piranti lunak baru tanpa perlu adanya programer seperti saat ini. Gambar di bawah ini, menunjukkan kegagalan sistem pendidikan nasional di berbagai negara berkembang.

Jumlah pekerjaan middle-skill menurun tetapi jumlah pekerjaan low-skill meningkat ini artinya para tenaga kerja terdidik turun hanya untuk mengerjakan pekerjaan low-skill. Lihatlah berbagai mini mart kini diisi pegawai berpendidikan D3 hingga S1, sedangkan lulusan SMK yang seharusnya mengisi posisi itu malah menganggur.

**

Selain melalui mencetak agen-agen perubahan, Indonesia masih dapat mengejar ketertinggalan dalam penerapan neurosains pendidikan di sekolahan. Penerapan neurosains di sekolahan mulai mencuat tahun 2006 ketika Obama menggelontorkan dana besar untuk riset-riset bidang ini. Sayangnya penerapannya berjalan lambat. Sekitar 10 tahun kemudian, dunia baru mulai berlomba-lomba.

Tahun 2019, kita tidak terlalu terlambat untuk ikut perlombaan menerapkan neurosains pendidikan di sekolah. Kita dapat mencetak agen-agen perubahan yang otaknya berkembang secara sempurna.

Mas Menteri, akhir kata, agen-agen perubahan tidak akan pernah hilang ditelan waktu mau pun perubahan sains dan teknologi. Mereka akan menduduki tempat teratas di berbagai organisasi baik bisnis, pendidikan, riset atau pun sosial politik karena merekalah yang membuat sains dan teknologi baru itu mendunia. Indonesia dapat menjadi game changer dalam pendidikan dunia jika dipiloti seorang agen perubahan seperti Anda. Kami sangat menantikan perubahan dan siap mendukungnya.

*) Jaha Nababan, S.Sos., Ed.M., CCP NeuroEducation Coach. Alumni Boston University School of Education. jaha@fulbrightmail.org

Artikel Terkait