Nasional

Ini Tugas Pokok Staf Khusus Kepresidenan RI Bidang Keagamaan Internasional

Oleh : hendro - Kamis, 27/09/2018 13:55 WIB

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA bersama Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara

Jakarta, INDONEWS.ID - Diangkat menjadi seorang staf Khusus Presiden sungguh tidaklah mudah. Karena  tidak sedikit beban  yang diemban bagi jabatan pekerjaan tersebut. 

Namun, dibalik itu semua merupakan suatu kebanggan tersendiri  menjadi orang kepercayaan Presiden dalam mengemban tugas negara yang mewakili dikancah dunia internasional, seperti yang dijalani Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA
sebagai Staf Khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional.

 Siti menjelaskan, menjadi  Staf RI Bidang keagamaan Internasional mengemban mandat membantu Presiden dalam merespon isu-isu keagamaan pada tingkat internasional dalam mendekatan timbal balik—bagaimana isu-isu keagamaan internasional berpengaruh di Indonesia dan, sebaliknya, bagaimana corak keberagamaan di Indonesia dapat mewarnai keagamaan secara global. 

"Penugasan khusus ini didasarkan pada kondisi dimana agama memainkan peran yang penting dan menentukan dalam relasi internasional , baik secara politik , ekonomi dan kebudayaan. Masalah agama seringkali dipolitisi sehingga memunculkan ketegangan dan konflik politik yang distruktif dan menghancurkan," ujarnya kepada INDONEWS, Kamis (27/9/2018).

Dengan demikian, kata Siti, agama dan corak keagamaan Indonesia harus mewarnai relasi internasional, utama agama Islam dimana Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia.

Lebih lanjut Siti mengatakan,  Presiden memiliki visi pemerintahan Indonesia yang Berdaulat secara politik, Mandiri secara ekonomi dan Berkepribadian dalam budaya.  

Agama menjadi landasan yang kuat dalam membentuk kepribadian Indonesia dalam mengokohkan kebangsaan yang majemuk, plural  dan multi-kultural sebagai anugerah kodrati bangsa Indonesia. 

"Hanya keberagamaan yang moderat dengan toleransi aktif dan kebebasan berpendapat yang sehat yang mampu merekatkan kemajemukan bangsa ini,"ungkapnya.

Moderasi beragama atau wasatiyyat diniyah, jelas Siti,  lebih spesifik wasatiyyat Islam harus menjadi kepribadian Muslim di Indonesia yang berakar pada budaya Nusantara, berkemajuan dan berorientasi kebangsaan sebab Indonesia sebagai negara Pancasila  hasil konsensus nasional atau Dar al ahdi dan tempat pembuktian dan kesaksian atau Dar asy Syahadah  untuk menjadi negeri yang aman dan damai atau dar al salam dalam ridlo Allah SWT. 

Moderasi Beragama ini telah memberi bangsa Indonesia ikatan kokoh dan landasan kuat sebagai bangsa dan negara disaat banyak negara yang pecah karena terkoyak sentimen dari perbedaan agama, suku, ras dan klas. 

"Karena itu, Moderasi ini membuat bangsa ini mampu menghadapi ketegangan dan konflik dengan mengedepankan kepentingan kebangsaan," tuturnya.

Kemampuan ini, kata Siti, yang harus terus dipupuk secara internal  sebagai corak kepribadian bangsa dan disemaikan secara internasional sebagai ‘model’ beragama yang ideal dan relevan dalam merayakan multi-kultural dan pluralitas seagai keniscayaan global. 

Siti menjelaskan, Staf khusus membantu Presiden dalam mengembangkan ide dan konsep yang tepat tentang moderasi beragama guna dioperasionalisasikan dalam kebijakan-kebijakan praktis dan implementatif, sehingga menjadi modalitas Indonesia dalam relasi internasional. Wasatiyyat Islam Indonesia harus nampil sebagai representasi Islam yang sejuk, damai dan mengedepankan musyawarah dan mediasi dalam merespon perbedaan dan ketegangan sehingga tidak menjadi konflik yang menghancurkan. 

Selain itu, kata Siti, Staf khusus Presiden berkomunikasi dan berkoordiansi dengan Kementerian dan kelembagaan yang terkait, termasuk kelembagaan sosial dalam menguatkan modalitas  tersebut sehingga menjadi modal diplomasi dan kerjasama internasional dalam menyelesaikan konflik-konflik di dunia.  

"Hal tersebut sejalan dengan capaian pemerintah Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan berbagai peran-peran mediatif di negara-negara yang tengah berkonflik," ujarnya. 

Tidak heran, Indonesia dipercaya memprakarsai berbagai pertemuan internasional terkait moderasi beragama, misalnya, KTT Ulama  Islam se Dunia yang menghasilkan “ Pesan Bogor”,  Seminar Internasional Kerukunan umat Beragama dan tengah merancang Pertemuan tingkat Menteri dan workshop internasional guna menghasilkan ‘Deklarasi Jakarta untuk Toleransi’ sebagai upaya melengkapi mekanisme Pelaksanaan Resolusi PBB 16/18 tentang Pencegah intoleransi, hajutan kekerasan dan kekerasan terhadap seseorang berdasarkan agama dimana Indonesia sebagai anggota aktif Organisasi Kerjasama Islam sebagai co-sponsor  resolusi tersebut bersama Amerika Serikat untuk disahkan sebagai Resolusi PBB pada tahun 2011. 

Deklarasi Jakarta untuk Toleransi akan menguatkan “Istanbul Process” dalam menguatkan komitmen tingkat negara dan “Rabat Plan of Action’ acuan implementasi. Deklarasi Jakarta akan menjadi ‘ Best Practice” dari Plan of Action tersebut pada tingkat implementasi dengan modalitas yang terus dikuatkan melalui berbagai aktifitas, termasuk penguatan peran FKUB. 

Deklarasi Jakarta ini, Siti menjelaskan,  salah satunya, akan mengubah penanganan ketegangan agama yang berakar dari perbedaan pandangan agama ataupun kesalahpahaman beragama  yang selama ini cenderung diselesiakan secara litigatif dan hukum menjadi penyelesaikan secara non-litigatif dan mediatif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. 

Penyelesaikan hukum akan memupuk ‘luka sosial’ yang mudah dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan kekuasan sedangkan mediasi sosial akan menguatkan ketahanan masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya secara mandiri dan konstruktif. Penguatan ini akan diakselerasi oleh Kementerian Agama dan Kementerian terkait.

Lebih jauh Siti menjelaskan, moderasi beragama dan wasatiyyat Islam Indonesia akan menguatkan diplomasi Indonesia dibawah Kementerian Luar Negeri dalam berbagai forum dialog bilateral dengan berbagai negara mitra yang terus berkembang menjadi 30 negara, termasuk Amerika, Rusia, Finlandia, India, Turki, Australia, Asean dan lainnya serta multilateral ditingkat regional di Asean, dan  OKI maupun internasional di PBB. 

Forum-forum tersebut digunakan untuk mempromosikan moderasi beragama dan wasatiyyat Islam sehingga mampu menciptakan cakupan yang makin luas bagi perdamaian dunia. 
Kemampuan Indonesia dalam mengelola kebhinekaan, multi-kultural dan pluralitas dari lebih dari 700 etnis dan bahasa harus terus dikuatkan untuk menjadi model dunia dalam pengelolaan keragaman (managing diverity, multi-culturalism and pluralism). 

"Model ini harus diperjuangkan ke UNESCO agar menjadi  bagian dari kriteria dan indikator Negara Maju (developed country) yang saat ini hanya terpaku pada kemajuan politik, pertahanan dan ekonomi," ungkapnya. 

Lebih lanjut Siti menambahkan, saat  ini Belum ada indikator yang bersifat kultural  dalam menentukan kriteria negara-maju yang sebenarnya sama rumit dan kompleks nya dengan memajukan aspek politik dan ekonomi. 

Karir Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA : 
1. Utusan Indonesia sebagai komisioner HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI)  yg bermarkas di Jeddah , Saudi Arabia, 2011.
2. Ketua Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI) 2012-2014.
3. Terpilih lagi sebagai Komisioner: 2014-2018.
4. Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga: 2014-2016 

Penghargaan:
1. Dosen Teladan , Menteri Agama RI , 2010
2. Dosen Teladan bidang Kiprah Internasional, UIN Sunan Kalijaga, 2018. Dan lain-lain. (Hdr)

Artikel Terkait