Politik

Psywar dan Pentingnya Pengawasan Publik Terhadap MK

Oleh : very - Minggu, 23/06/2019 15:01 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID --Perang urat syaraf (psywar) dengan memanfaatkan media dan medsos secara optimal menjadi instrumen kedua kubu baik tim Joko Widodo-Ma’ruf Amin (01) maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (02) untuk mencapai kemenangan dalam Pemilu. Ini bukan saja sebelum dan selama  kampanye Pileg dan Pilpres, tetapi juga sesudahnya, terutama dalam gugatan PHPU di MK.

Dalam sidang PHPU Pilpres, yang masih dalam tahap awal, kita lihat bahwa kubu 02 tampak lebih gencar dan bahkan terkesan sangat "mengandalkan" psywar tersebut. Akibatnya  dalam proses peradilan di MK, argumentasi hukum yang dibangun oleh tim kubu 02 lebih ditujukan untuk memperkuat opini publik terkait dugaan kecurangan ketimbang argumentasi legal formal yang seharusnya.

Pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan, media sebagai corong dan sekaligus wahana perang opini publik tentu lebih menyukai dan (sengaja atau tidak) lebih mudah mengeksploitasi opini kubu 02. Pasalnya, hal itu akan menarik sebagai sumber berita sensasional dan, yang pada gilirannya, cepat mendongkrak rating mereka. Begitu pula jejaring sosmed yang lebih partisan, bebas, dan nyaris tak terbendung penyebaran kontennya.

“Sebaliknya, dalam hal psywar itu kubu 01 sebagai pihak petahana cenderung lebih ‘terbatas’ kemampuan manuvernya. Walaupun ia bisa melakukan hal sama dan didukung oleh aparat Pemerintah, tetapi risiko legal, politik, dan etiknya lebih berat. Manuver yang sama kuatnya dengan 02 bisa menjadi bumerang dan kontra produktif,” ujar Hikam dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (21/6).

Apalagi, katanya, jika aparat pemerintah menyalahgunakan wewenang penyensoran. Itu sebabnya mengapa kubu 02 sampai saat ini tampil lebih agresif dan leluasa untuk membuat, membangun, dan menyebarkan opininya dan menjadi perhatian publik!

Menurut Hikam, menjaga kredibilitas dan imparsialitas lembaga yudikatif, khususnya para Hakim MK, sangat menentukan dalam tahapan ini. Apabila para Hakimnya terlalu terlibat dalam wacana publik dan terpengaruh oleh psywar melalui opini publik, maka imparsialitas mereka akan terganggu.

“Keberlangsungan demokrasi di negeri ini dipertaruhkan jika Hakim-hakim MK terpengaruh politik partisan,” ujarnya.

Idealnya, para Hakim MK diisolasi atau dipisahkan (sequestered) dari pertarungan opini publik tentang kasus PHPU Pilpres untuk menjaga pandangan hukum mereka tak tercemar. Cara ini mirip dengan sistem peradilan di AS yang mengharuskan para juri diisolasi dari publik untuk sementara waktu selama mereka bertugas. Namun saya tidak tahu apakah cara (pengisolasian) ini tepat atau tidak dalam hukum acara di negeri kita yang tidak menggunakan sistem juri di dalam sistem Peradilan.

Sementara itu, kata Hikam, publik tentu menyandarkan harapan kepada kemampuan MK untuk konsisten memegang prinsip imparsialitas, selain kepastian hukum dan keadilan. Di situlah pentingnya pengawasan publik terhadap MK dan para Hakim yang ditugasi mengambil keputusan dalam kasus PHPU Pemilu.

Menurut Hikam, pengawasan publik bisa dijalankan secara langsung terhadap MK melalui pantauan terhadap jalannya sidang-sidang, atau tak langsung melalui wacana di media. Pada yang disebut terakhir itu termasuk memberikan komentar dan kritik kepada para politisi, pengamat, pakar, wartawan, dan pejabat yang berwacana. Tentu saja publik bisa terlibat langsung dalam wacana di medsos terkait dengan proses hukum di MK tersebut.

Demokrasi memang mengharuskan adanya keterlibatan publik yang aktif. Publik tak boleh hanya menyerahkan kepada lembaga-lembaga atau pelaksanaan kepada lembaga-lembaga seperti Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, kendati mereka adalah wakil-wakil yang dipilih (langsung atau tidak) oleh publik/ warganegara. “Kita tentu harus percaya kepada Hakim-hakim MK, tetapi pada saat yang sama juga berhak mengkritisi mereka secara proporsional dan lawful,” pungkansya. (Very)

Artikel Terkait