Jakarta, INDONEWS.ID -- Putusan Mahkamah Konstitusi mencerminkan keberhasilan negara Indonesia membangun demokrasi Pancasila dalam sistem peradilan yang transparan dan independen sekaligus mencerminkan kedewaasaan berpolitik rakyat Indonesia. Oleh karena itu hendaknya tidak dikotori oleh para petualang politik. Saatnya seluruh elemen masyarakat saling bergandeng tangan untuk membangun Indonesia.
Demikian dikatakan oleh Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan pemohon melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (28/6).
Dr Liona mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan pihak terkait untuk seluruhnya. Sedangkan dalam pokok permohonan, MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dalam kesimpulannya, majelis hakim konstitusi menyatakan semua dalil hukum yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandiaga tidak beralasan, dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menolak semua dalil hukum yang diajukan kuasa hukum Prabowo.
“Putusan Mahkamah Konstitusi mendorong proses politik hasil pemilihan umum untuk mengakhiri sengketa, untuk mengakhiri ketegangan sesama anak bangsa, memulai hidup baru sesuai dengan empat pilar kebangsaan, Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, bersama sama membangun Indonesia agar sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia,” ujarnya.
Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak akan memuaskan semua pihak. Karena sesuai dengan hukum, putusan Mahkamah Konstitusi tidak memberi kesempatan kepada pihak‑pihak yang merasakan putusan tersebut mengandung nilai‑nilai ketidakadilan dan tidak puas terhadap putusan untuk menempuh jalur hukum lain. “Oleh karena itu putusan Mahkamah Konstitusi harus dihormati dan dilaksanaan agar kewibawaan hukum dapat terjaga,” ujarnya.
Selanjutnya menurut Liona, yang juga Alumnus Lemhannas RI, putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat final dan mengikat (final and binding) sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Liona mengibaratkan frase final dan frase mengikat, seperti dua sisi mata uang yang sama, yang saling terkait dari seluruh proses pemeriksaan, memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi dan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Dengan demikian telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum, tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka seketika itu melahirkan kekuatan mengikat (verbindende kracht).
“Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketakan. Akibat hukumnya secara umum tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut, karena putusan Mahkamah Konstitusi mengikat tidak hanya bagi pihak-pihak yang bersengketa melainkan bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya. (Very)