Bisnis

Sinkronisasi Kewenangan Regulasi Daerah Mendukung Kebijakan Ekonomi Nasional

Oleh : indonews - Kamis, 20/02/2020 14:01 WIB

Perda bermasalah. (Foto: Ilustrasi)

 

Oleh : Iqbal Fadillah*)

INDONEWS.ID -- Pada pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu bentuk perlindungan yang dimaksud adalah dengan membuat suatu regulasi yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Regulasi tersebut tentunya saling mendukung mulai dari tingkatan daerah hingga ke tingkat pusat dan yang paling terpenting tidak tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi.

Pemerintah Kabupaten/Kota pada dasarnya mempunyai posisi strategis sebagai penanggungjawab utama dalam setiap perencanaan maupun dalam merealisasikan tujuan utama penyelenggaraan kesejahteraan umum.

Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang sangat luas dengan keberagaman budaya majemuk seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, sistem desentralisasi dinilai lebih demokratis dan memudahkan koordinasi dalam pemerintahan karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah.

Istilah desentralisasi berasal dari Bahasa latin “de” berarti lepas dan “centrum” yang artinya pusat. Desentralisasi adalah lawan kata dari sentralisasi, karena pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya, jadi desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Pemerintah Daerah tersebut (Modeong,2005,h.86).

Dengan kewenangan berdasarkan azas otonomi, Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan keleluasaan untuk merencanakan dan mengelola potensi, sumber-sumber kekayaan dan sumber daya manusia di daerah. Namun, titik berat penyelenggaraan otonomi daerah yakni berada pada kemampuan daerah itu sendiri, menuntut kesiapan sumber daya, sumber dana, pranata sosial, responsibilitas dan akuntabilitas dari setiap pemerintahan Kabupaten/Kota, sehingga mampu untuk menerima hak, wewenang serta tanggungjawab yang lebih besar dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi. Harmonisasi kewenangan pusat dan daerah dipandang sangat menentukan dalam kemandirian otonomi daerah.

Adapun kewenangan terkait evaluasi dan pengawasan suatu Perda diberikan kepada Kemendagri. Penerapan desentralisasi tersebut berkaitan dengan teori dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal diwilayah tertentu (Sunarno, 2008, h.6). Asas dekosentrasi adalah asas pelimpahan wewenang Pemerintahan yang sebenarnya kewenangannya itu ada ditangan Pemerintah Pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada Gubernur atau instansi vertikal didaerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari Pemerintah Pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Dalam amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Mendagri diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda, terutama Perda yang berkaitan dengan fiskal daerah, seperti Ranperda APBD, pajak, retribusi dan yang mengatur soal tata ruang (Pasal 245). Selain itu, pada Pasal 251 (1) dijelaskan bahwa Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

Dengan adanya pengawasan preventif dan berjenjang merupakan sistem yang sangat bagus dan terkoordinir dengan baik, namun jika tidak disesuaikan dengan sumber daya yang baik, maka sistem ini akan menjadi tidak baik. Sebagai contoh, banyak produk peraturan daerah yang dibuat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam daerah, malah cenderung mengeksploitasi dan merusak alam serta lingkungan. Begitu pula, daerah-daerah yang tidak mempunyai sumber daya alam, tetapi lebih banyak memiliki potensi sumber penerimaan keuangan dari sektor jasa, ekonomi dan peraturan daerah dengan membuat peraturan tentang pajak, retribusi atas jasa dan pelayanan publik justru menghambat kegiatan usaha, menjadi beban bagi masyarakat luas.

Berbagai peraturan daerah yang dibuat tanpa ada pertimbangan, koordinasi dengan pemerintah pusat maupun lembaga-lembaga yang terkait, justru berbalik arah menjadi tidak kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi bahkan cenderung membebani masyarakat.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan regulasi dan penyederhanaan birokrasi dalam rangka kecepatan dan ketepatan bagi pelayanan publik serta mendukung iklim serta daya saing investasi sangat diperlukan suatu harmonisasi pembuatan Perda yang mendukung kebijakan Pemerintah Pusat, yang tentunya tetap melibatkan partisipasi politik masyarakat sebagai konstituen utama, sehingga Perda yang diterbitkan akan mencerminkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya, dan berpihak kepada kesejahteraan rakyat dan yang paling terpenting tidak tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dalam pembuatan regulasi tersebut, pemerintah dan lembaga legislatif juga harus mengacu kepada hirarki tata peraturan perundangan di Indonesia,serta dalam penyusunan dan perancangan peraturan daerah perlu lebih meningkatkan akses partisipasi publik. Kebijakan publik yang dikristalkan dalam bentuk regulasi tersebut tentunya juga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta haruslah mendorong penciptaan iklim usaha yang baik.

*) Pemerhati Indonesia, Peneliti LSISI Jakarta.

Artikel Terkait