Nasional

Arah Baru Fahri Hamzah, Membawa Negara di Jalan Nalar

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 21/02/2020 23:30 WIB

Fahri Hamzah usai acara peluncuran buku Putih Kronik Daulat Rayat vs Daulat Parpol di Pulau Dua, Jakarta, Jum`at (21/2/22)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mantan Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah merilis buku berisi rangkuman perjalanan kasusnya melawan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memecat dirinya dari seluruh jenjang keanggotaan tanpa alasan yang logis dan mendasar.

"Lalu saya mengunggat. Karena keputusan pemberhentian oleh PKS tersebut tanpa sebab dan alasan yang mendasar serta kuat, sehingga pemecatan tersebut dinyatakan kalah (dibatalkan) oleh pengadilan negara," kata Fahri Hamzah di sela-sela acara peluncuran buku di Jakarta, Jum`at (21/2/22).

Selain itu, Fahri juga mengungkapkan bahwa penulisan buku berjudul "Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol" itu sebagai perayaan momen perpisahan dirinya dengan PKS, partai yang dulu turut ia lahirkan itu.

"Sekaligus menjadi ucapan perpisahan saya kepada PKS. Kita harus memasuki Arah Baru Perpolitikan Indonesia yakni tidak boleh berkawan dengan kezaliman,"tutur Fahri.

Penulis sekaligus mantan kader dan deklarator PKS itu mengatakan buku yang ditulisnya berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Pengadilan negara, kata Fahri, telah memutuskan bahwa pimpinan PKS telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa peradilan sesat, sehingga pemberhentian atau pemecatan dirinya dari segala jenjang keanggotan di partai tersebut dibatalkan.

"Dengan demikian, saya satu-satunya kader yang menang dalam gugatan melawan partai. Sekarang sedang menunggu kewajiban yang harus dibayarkan PKS kepada saya Rp 30 miliar. Lumayan untuk diberikan pada rakyat yang tidak beruntung, fakir miskin dan anak2 terlantar," ungkap Fahri.

Fahri mengungkapkan, selama ini ia melihat partai politik sudah menjadi fully private entity. Akibatnya, pengelolaan parpol layaknya perusahan swasta yang mendapatkan pembiayaan seenaknya dari siapapun yang bersedia membiayainya. Hal itu, kata Fahri berbahaya bagi demokrasi.

Praktek yang dianggap lazim itu, lanjut Fahri, cendrung tidak mengindahkan mekanisme administratif dalam partai. Sebab pemimpin parpol itu merasa bahwa partai itu adalah milik pribadi sehingga seenaknya saja mengambil keputusan,  secara pribadi pula.

"Aneh kan, cape-cape bangun partai, lakukan pengkaderan, tau-tau yang diusung justru orang di luar partai yang punya modal besar. Sebut misalnya Anies Baswedan, Sandi dll. Kalau mau praktek ini dihilangkan, mari bangun sistemnya, agar demokrasi kita sehat," pungkas Fahri. 

Maka dari itu, jika kita ingin memberantas korupsi, oligarki dan lain-lain, sudah seharunya kita membangun tradisi dan sistem yang modern dalam partai politik sebagai pilar utama demokrasi. Buku ini, tambahnya, dapat dijadikan yurisprudensi bagi para pejabat terpilih (elected officials) untuk melawan kedaulatan partai politik yang zalim.

"Sudah saatnya, partai politik kita dikelola secara modern. Kita perlu mengubah tradisi berpolitik kita, bahwa hak-hak individu itu tidak boleh secara mudah dirampas oleh partai Politik," ungkap Fahri.

Fahri menegaskan, dalam praktik demokrasi yang sehat, kedaulatan partai politik memiliki batasan dan ruang lingkup yang terbatas. Maka ke depannya, tambah Fahri, kita harus membangun sistem partai politik yang sehat, jauh dari kuasa oligarki dan kezaliman. Fahri meningatkan bahwa para pejabat yang terpilih tersebut melekat dalam dirinya kedaulatan rakyat. 

"Partai politk harus sadar akan batasannya, bahwa seorang wakil rakyat melekat padanya kedaulatan rakyat.  Sehingga wajar, jika ia  berjuang lebih mengutamakan kepentingan konstituen yang diwakilinya daripada partai. Untuk itu, bagi politisi yang ingin melawan kesewenang-wenangan Parpol, buku ini seharusnya dapat menjadi yurisprudensi," tegas Fahri. 

Acara peluncuran buku Fahri Hamzah ini menghadirkan sejumlah namasumber, seperti Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, mantan anggota DPR RI Faizal Akbar dan Ketua tim kuasa hukum Fahri Hamzah, Mudjahit A Latief.*(Rikardo).

Artikel Terkait