Nasional

Pentingnya Mengatasi Obesitas Regulasi

Oleh : indonews - Senin, 30/03/2020 22:30 WIB

Obesitas regulasi. (Foto: Klikpositif.com)

Oleh: Dr. Ade Reza Hariyadi*)

INDONEWS.ID -- Masalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang berpotensi saling tumpang tindih telah dinyatakan presiden Jokowi saat berbicara di forum penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2019.  Jokowi menyebut ada sekitar 8.451 peraturan pusat dan 15.985 peraturan daerah yang menyebabkan kondisi hyper regulasi atau obesitas regulasi yang dapat membuat kita terjerat dalam aturan yang kita buat sendiri.  Pernyataan tersebut tidak berlebihan, PSHK mencatat ada 42.996 regulasi yang terdiri dari peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga pemerintah nonkementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965 di Indonesia, dimana peraturan terbanyak justru di Eksekutif (Kementerian dan Pemda).

Masalah obesitas regulasi muncul ketika pembentukan regulasi tersebut tidak terkendali, baik pada level undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), peraturan presiden (perpres), peraturan menteri (Permen), hingga peraturan di tingkat daerah.  Hal tersebut terjadi karena tiadanya pengawasan dan evaluasi terhadap regulasi, proses penyusunannya tanpa perencanaan yang matang sehingga tidak akuntabel dan tidak transparan, serta adanya inkonsistensi dalam pengaturan.  Masalah obesitas regulasi ini pada akhirnya menimbulkan birokratisasi, menghambat laju pembangunan dan menjadi beban negara dalam meningkatkan pelayanan publik.  Sehingga, wajar jika kini perhatian pemerintah diarahkan pada upaya untuk melakukan penyisiran dan penyederhanaan regulasi agar tidak tumpang tindih sehingga ada kepastian hukum, lebih adaptif terhadap perkembangan serta efektif dalam melakukan pengaturan urusan pelayanan publik.

 

Implikasi Obesitas Regulasi

Obesitas regulasi tidak hanya menyebabkan tumpang tindih aturan, tetapi juga telah menghambat reformasi birokrasi.  Patologi birokrasi yang dikenal dengan birokrasi parkinsonian dan birokrasi orwelian justru makin subur.  Munculnya beragam aturan berbanding lurus dengan perluasan struktur dan kewenangan birokrasi.  Hal ini menyebabkan organisasi birokrasi menjadi over size dan mengurusi beragam hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan dan bisa didelegasikan pada publik.  Imbasnya, pelayanan publik menjadi sangat birokratis dan berbelit-belit, serta menguras anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kepentingan publik.  Bahkan, birokratisasi ini menjadi lahan subur bagi munculnya KKN yang selama ini merupakan musuh dari reformasi birokrasi.

Masalah regulasi yang “bejibun” juga menjadi tantangan bagi pembangunan, terutama sektor ekonomi yang berkembang demikian cepat.  Karakteristik sektor ekonomi ditandai dengan kecepatan tranformasi mode dan kekuatan produksi, semakin cepatnya lalulintas barang dan jasa serta jangkauannya yang makin luas. Hal ini tentu memerlukan aturan-aturan yang adaptif dan fleksibel terhadap perkembangan, mendukung efektifitas dan efisiensi, serta mampu melindungi kepentingan publik.  Regulasi yang ada di Indonesia selama ini dianggap justru tidak adaptif dan menimbulkan birokratisasi dan tidak efisien menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Masalah lain yang timbul dari obesitas regulasi adalah terjadinya ketidakpastian hukum dan potensi konflik antar institusi.  Seringkali ditemukan ada satu bidang urusan yang diatur oleh banyak peraturan atau UU.  PSHK menunjukkan tentang profesi bidang kesehatan yang ternyata diatur oleh 3 UU yang berbeda.  Hal itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan digunakan dan memungkinkan terjadinya konflik kewenangan maupun kepentingan antar instansi pemerintahan maupun dengan publik terkait.     

 

Perlu Terobosan

Pernyataan presiden Jokowi untuk melakukan penataan regulasi seharusnya menjadi entry point untuk melakukan terobosan besar mengatasi obesitas regulasi.  Mengutip pendapat Cesar Cordova (2020), perlu pendekatan institusional untuk meningkatkan kualitas regulasi yang sudah eksis lewat deregulasi dan kodifikasi, memastikan kualitas regulasi yang akan dikeluarkan lewat beberapa pendekatan seperti Regulatory Impact Assesment (RIA), dan membentuk sistem manajemen regulasi yang lebih baik.  Dalam aspek manajemen regulasi, UU muncul melalui banyak pintu kementerian dan instansi, pendekatan institusional ini dapat diarahkan dengan membentuk suatu single centered body yang bertugas membentuk UU, melakukan perencanaan, harmonisasi dan sinkronisasi, serta monitoring dan evaluasi atas peraturan perundang-undangan.

 Selama ini, masalah tumpang tindih muatan peraturan perundangan di lingkungan pemerintah menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) dan dinilai tidak berfungsi efektif.  Oleh karena, gagasan tentang Pusat Legislasi Nasional seharusnya dapat segera direalisasikan sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan amanat, khususnya Pasal 21 ayat (4) yang menyatakan penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan pemerintah dikoordinasikan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, upaya penataan regulasi juga dapat dilangsungkan melalui pemangkasan, harmonisasi dan penyelaraan antar UU yang saling terkait melalui metode omnibus law.  Aturan yang tumpang tindih dapat diurai, disisir dan diharmonisasikan.  Meski sempat memicu pro kontra, omnibus law merupakan jalan yang efektif untuk mengatasi obesitas regulasi.  Persoalan subtansi materi dalam omnibus law yang masih menjadi polemik tentuk saja perlu dipecahkan bersama dengan melihat kepentingan nasional yang lebih luas.  Selain itu, seluruh pemangku kepentingan juga perlu membangun hubungan dialogis yang lebih efektif sehingga tidak terjebak dalam perspektif kepentingan subjektif semata.  Jika semua pihak dapat konstisten menjalankan upaya reformasi regulasi, niscaya problem obesitas regulasi ini dapat diatasi, pemerataan dan akselerasi pembangunan nasional dapat berjalan lebih cepat.

*) Penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) dan dosen

Artikel Terkait