Nasional

Hikmah Covid-19 dan Pembenahan Hubungan Pusat-Daerah

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 19/05/2020 11:45 WIB

Mantan anggota DPR RI dari fraksi Nasdem Lufthy Mutty bersama Pemred Indonews.id Asri Hadi (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Corona virus atau Covid-19 bukan sekadar persoalan kesehatan. Dampaknya, tidak hanya pada sektor ekonomi. Tidak pula hanya memicu meningkatnya kriminalitas. Namun lebih dari itu, juga menguak bahwa hubungan pusat-daerah masih menyimpan masalah serius.

Masalah hubungan pusat-daerah sudah muncul sejak awal kemerdekaan. Hubungan itu diwarnai rasa curiga dan saling tidak percaya. Pusat tidak percaya pada kemampuan daerah melaksanakan kewenangan otonomi yg diserahkan padanya.

Bahkan curiga bahwa daerah berupaya lepas dari pusat. Sebaliknya, daerah tidak percaya pada kesungguhan pusat memberikan kewenangan otonomi pada daerah. Pusat hanya setengah hati dalam menjalankan desentralisasi. Begitu pikir daerah.

Prasangka itulah yang kemudian memicu lahirnya gerakan perlawanan daerah di era 50`an. Kemudian jadi pemberontakan ketika penguasa militer setempat ikut terlibat. Misalnya, lahirnya Dewan Gajah di Sumatera Barat. Dewan Banteng di Sumatera Utara dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan. Dewan Manguni di Sulut. Perlawanan berlanjut dengan lahirnya gerakan PRRI/PERMESTA tahun 1958--yang oleh Barbara Sillars Harvey disebut sebagai "pemberontakan setengah hati".

Mengacu pada pendapat ilmuwan politik Dennis Kavanagh, hubungan pusat-daerah ditandai dua model. Pertama, agency model (model pelaksana). Model ini menempatkan daerah sekadar sebagai pelaksana. Semua kebijakan berasal dari pusat. Wewenang pemda sangat terbatas.

Pendeknya, daerah bekerja berdasarkan juklak dan juknis yang sudah dibuat rinci oleh pusat. Pemda tidak boleh mengambil inisiatif apalagi langkah berbeda dengan pemerintah pusat. Setiap saat, pusat dapat memperluas atau mempersempit, bahkan dapat mencabut wewenang daerah. Lebih dari itu, pemerintah pusat dapat membubarkan sebuah daerah otonom.

Kedua, partnership model (model mitra). Dalam model mitra, pemda memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan "local choice". Pusat tidak memandang daerah sekadar sebagai pelaksana kebijakan pusat, melainkan menempatkannya sebagai mitra kerja.

Dengan demikian, daerah memiliki independensi dalam menentukan berbagai langkah tindakan. Daerah juga berhak membuat kebijakan berdasarkan kepentingan daerah. Meskipun pemerintah daerah tetap dalam posisi subordinasi terhadap pemerintah pusat, namun pemda memiliki legitimasi politik tersendiri.

Pilihan atas model hubungan pusat-daerah berbanding lurus dengan politik hukum penyelenggaraan pemda. Dan pilihan model itu tercermin pada UU Pemda yakni UU No.5 Tahun 1974 yang sangat jelas menganut model pelaksana. Kehadiran Kepala Wilayah selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, setidaknya membuktikan itu.

UU ini menyebutkan bahwa Kepala Wilayah selaku Wakil Pemerintah Pusat adalah administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan kedudukan itu maka kepala daerah adalah penguasa tertinggi di daerah, lepas dari persoalan pangkat. Selain itu, hadirnya instansi vertikal hingga ke tingkat kecamatan kian membuktikan bahwa UU ini menganut model pelaksana.

Gerakan Reformasi

Gerakan reformasi 1998 mengakhiri kekuasaan Orba yang sentralistik otoriter. Pendulum politik bergerak ke arah demokrasi dan desentralisasi. Politik hukum penyelenggaraan pemda yang titik beratnya pada demokratisasi dan desentralisasi, melandasi lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemda.

UU ini memberikan kewenangan yg luas kepada daerah dalam membuat kebijakan. Termasuk dlm menentukan bentuk dan jenis organisasi perangkat daerahnya. Penetapan perda bersifat represif. Artinya, perda sebagai produk hukum daerah boleh langsung berlaku sejak ditetapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa penyelengaraan pemda di masa itu didasarkan pada model mitra.

Seiring berjalannya waktu, pendulum kian menjauh dari model mitra. UU No.32 Tahun 2004 yang menggantikan UU No.22 Tahun 1999, mulai berbalik arah. Perlahan tapi pasti, model mitra telah ditinggalkan kembali ke model pelaksana. UU No.23 Tahun 2014 yang lahir kemudian, kian mempertegas bahwa politik hukum penyelenggaraan pemda kembali ke agency model. Sekedar sebagai pelaksana. Ditariknya beberapa kewenangan daerah (kab/kota) menjadi kewenangan pusat membuktikan hal itu.

Jika dicermati, disinilah letak masalah hubungan pusat-daerah saat ini. Di satu sisi otonomi tetap diakui. Bahkan tiap tahun Hari Otonomi Daerah terus diperingati. Tetapi di sisi lain kewenangan daerah kian dipreteli. Campur tangan pusat semakin kuat mencengkram daerah. Resentralisasi terus terjadi.

Keberanian kepala daerah menentang kebijakan pusat dan mengevaluasi kinerja pusat dalam penangan pandemi Covid 19 berakar dari tidak jelasnya politik hukum penyelenggaraan pemda. Kepala daerah yg memiliki legitimasi politik yang kuat karena dipilih rakyat, merasa berhak dan bertanggung jawab atas nasib rakyatnya.

Maka jangan heran jika beberapa kepala daerah telah memutuskan "lockdown" ketika pusat belum berfikir untuk itu. Demikian pula kebijakan pusat utk memasukkkan TKA ke suatu daerah di tengah pandemi, dengan tegas ditentang oleh kepala daerah.

Mencermati hal-hal tersebut, pandemi covid 19 memberi hikmah. Sudah saatnya hubungan-pusat daerah di tata ulang untuk melahirkan pola hubungan yang ideal.

*) Lufthy Mutty adalah mantan anggota DPR RI dari fraksi Nasdem. Saat ini aktif di DPP Nasdem

Artikel Terkait