Bisnis

Pajak Rendah, Pemerintah Harus Petakan Sektor Potensial yang Mampu Bertahan di Era Pandemi

Oleh : very - Sabtu, 23/05/2020 22:59 WIB

Postur APBN per 30 April 2020. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Postur APBN per 30 April 2020 secara umum masih menunjukan tren positif. Hal itu terlihat dari pendapatan yang tumbuh positif 3,2% (yoy), belanja negara yang turun tipis 1,4% (yoy), dan defisit sebesar Rp74,5 T (0,44% PDB) yang justru lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu. Pendapatan negara ditopang oleh penerimaan cukai yang tumbuh 16,7% (yoy) dan PNBP yang tumbuh 21,7 (yoy). Penerimaan pajak turun tipis 3,1% (yoy).

Penerimaan pajak hanya terealisasi Rp376,67 triliun (22,93% terhadap target APBN) atau dengan kata lain mengalami perlambatan 3,1% (yoy). Perlambatan ini disebabkan karena sebagian besar jenis pajak tumbuh negatif, kecuali PPh Pasal 21 yang tumbuh 4,12% (yoy), PPh Pasal 26 yang tumbuh 28,14% (yoy), PPh Final yang tumbuh 7,22% (yoy), dan PPN DN yang tumbuh 10,09% (yoy). Sementara itu, PPh badan terkontraksi lebih dalam yakni 15,23% (yoy). Meski demikian, pertumbuhan pajak periode ini masih lebih baik dari pertumbuhan pajak periode yang sama tahun 2016 silam yang mengalami kontraksi hingga -6,04% (yoy).

“Rendahnya pertumbuhan penerimaan pajak periode ini adalah bukti bahwa aktivitas ekonomi sedang mengalami gangguan serius akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, pemungutan pajak tahun ini kemungkinan besar akan sangat berat. Apalagi, pemerintah telah dan masih terus akan menggelontorkan insentif perpajakan demi memulihkan ekonomi nasional yang totalnya mencapai Rp123,01 T. Melihat sinyal perlambatan yang sudah mulai bulan ini, kita harus siap menghadapi shortfall pajak yang diproyeksikan akan mencapai Rp388 triliun pada akhir tahun nanti,” demikian siaran pers Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) di Jakarta, Rabu (20/5).

Untuk mengantisipasi hal itu, CITA meminta pemerintah untuk dapat memetakan sektor-sektor potensial yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. “Melalui Perppu No. 1/2020, yang kini telah menjadi Undang-Undang No. 2/2020, pemerintah harus bisa mengoptimalkan penerimaan dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Tentu dengan tetap memperhatikan efektivitas pemungutan dan komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan demi menjamin fairness,” demikian siaran pers tersebut.

Dari sisi belanja negara, realisasi di periode ini turun 1,4% (yoy) karena rendahnya transfer ke daerah (11,3%). Padahal, belanja pemerintah pusat tumbuh positif 3,4%  (yoy)  dan, yang menggembirakan, transfer dana desa tumbuh signifikan 49% (yoy). Transfer ke daerah perlu dioptimalkan dengan cara komunikasi aktif antara pusat dan daerah.

 

Tahun yang Sungguh Sulit

Menurut CITA, tahun 2020 sungguh menjadi tahun yang sulit bagi perekonomian Indonesia. Pandemi belum menunjukkan tanda akan berakhir. Pendapatan negara terutama penerimaan pajak diprediksi turun cukup dalam, sementara kebutuhan belanja justru naik untuk belanja penanganan kesehatan, pemulihan ekonomi nasional, dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan berbagai skema bansos.

Dengan alasan itu, pemerintah kembali akan melakukan perubahan APBN yang sebelumnya telah ditetapkan dengan Perpres 54/2020. Pendapatan negara diperkirakan akan lebih rendah Rp69,3 T atau tumbuh negatif 13,6% (yoy). Rinciannya kurang lebih: perpajakan akan tumbuh negatif 9,2% (yoy) dan PNBP akan tumbuh negatif 29,6% (yoy). Penurunan pendapatan negara terutama disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi serta turunnya parameter migas (ICP, kurs dan lifting migas).

Sementara itu, belanja negara lebih tinggi Rp106,3 T. Hal ini disebabkan adanya tambahan belanja baru berupa stimulus fiskal dan tambahan kompensasi untuk PLN dan PT Pertamina sebesar Rp76,08 T dan  Rp38,25 T secara berturut-turut.

“Tambahan-tambahan belanja baru ini dilakukan sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap masyarakat maupun pelaku usaha yang terdampak pandemi. Dalam situasi seperti sekarang, penyesuaian terhadap belanja negara diperlukan dan dapat dimaklumi,” ujar CITA.

Karena itu, CITA mengatakan, tak heran defisit APBN juga ikut mengalami perubahan dari 5,27% menjadi 6,27%. Besarnya defisit APBN sesungguhnya masih dapat diterima sejauh dihitung dengan cermat dan terukur. Pemerintah memang perlu ruang untuk mencari alternatif pembiayaan. Yang terpenting, hasil pembiayaan tersebut harus berkualitas dan jelas hasilnya. Secara berkala, pemerintah wajib melaporkan penggunaan dana (stimulus) dan sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh rakyat.

Meski dalam situasi sekarang dapat dimaklumi, pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan perubahan APBN dengan cepat dan tiba-tiba. Dalam kadar tertentu, perubahan APBN yang cepat dan tiba-tiba mengindikasikan analisis yang kurang mendalam. Perubahan yang tiba-tiba juga akan membuat semua kebijakan menjadi tidak fokus dan membingungkan dunia usaha. Kredibilitas fiskal kita dipertaruhkan.

“Pemerintah harus melakukan segala daya untuk memaksimalkan potensi yang ada. Jangan sampai pelonggaran defisit membuat lalai dan situasi ekonomi kita jatuh tak terkendali. APBN harus tetap dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, prudent, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan demi hajat hidup orang banyak,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait