Nasional

Trump, Agama Dan Politik Di Amerika

Oleh : indonews - Rabu, 03/06/2020 23:30 WIB

Presiden AS Donal Trump foto di depan Gereja St. John sambil memeng Alkitab. (Foto: Ist)

Oleh: Muhammad AS Hikam*)

INDONEWS.ID -- Sulit membantah bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang mengklaim sebagai paling religius. Kendati Konstitusinya terang-terangan adalah mengikuti sekularisme, tetapi salah satu motto yang paling terkemuka negara adidaya tersebut adalah "In God We Trust." Juga sulit dibantah bahwa para pendukung utama Presiden Donal Trump adalah kalangan ultra konservatif Kristen Evangelis, baik kulit putih atau berwarna.

Jadi rada mengherankan jika ketika sang POTUS (President of the United States) berpose mengangkat Alkitab di tangan kanan di depan Gereja St. John di dekat taman Lafayette, dekat Gedung Putih, lantas banyak komen yang kritis. Dan justru komen-komen kritis tersebut termasuk dari Pemimpin umnat Kristiani, baik Katolik maupun Protestan. Tentu saja banyak juga tokoh-tokoh Kristen Evangelis yang memuji laku Trump tersebut.

Kritik yang dilontarkan kepada Trump bukanlah karena soal photo-op itu belaka. Tetapi kaitan antara apa yang diucapkan dan dilakukan sang Presiden sebelum  tampilan di depan gereja itu terjadi. Trump dikritik karena sikapnya dan sikap para aparat keamanan yang mengawalnya dalam memahami dan mengelola peristiwa protes massa pasca terjadinya pembunuhan terhadap George Floyd di Minneapolis, Minnesota. Presiden Trump cenderung mencap protes itu sebagai ulah para pengacau atau bahkan kriminal (thugs) dan berjanji akan menggunakan cara militer unutk menumpasnya di seantero negeri. Dalam siaran persnya, Trump menyarakankan agar aparat kepolisian "mendominasi" para pemrotes dengan kekerasan.

Bukan berarti bahwa protes massal di berbagai kota dan negara bagian AS, termasuk di ibukota negara Washington, DC, semuanya damai dan tanpa kekerasan. Faktanya memang ada kelompok dan pribadi-pribadi yang memanfaatkan kemarahan dan kekacauan publik tersebut untuk melakukan onar dan penjarahan serta pembakaran serta kekerasan terhadap publik dan aparat!

Namun tetap saja Trump, sebagai pemimpin bangsa, dianggaap tak semestinya menggunakan narasi kekerasan yang berpotensi akan makin menyulut kemarahan serta mempersulit pencarian solusi untuk meredam kebringasan sosial. Setidaknya, Trump diharapkan menampilkan citra sebagai seorang pemimpin yang paham terhadap akar masalah dan bukan malah menampilkan gestur simpati terhadap pendekatan kekerasan.

Tak pelak, para pengritik Trump dari kalangan pemimpin ummat beragama malah mengatakan bahwa Tuhan beserta para pemrotes, dan menganggap foto di depan Gereja St. John tersebut sebagai tindakan pencemaran (sacrilege) terhadap kesucian tempat ibadah tersebut.

Seperti biasa, Trump tampaknya tak terlalu ambil pusing dengan para pengritiknya. Baginya kemenangan dalam Pilpres 2020 adalah segalanya, dan kondisi seperti saat ini, ketika kebijakan publiknya menghadapi wabah pandemi Covid19 tampak amburadul dan gagal mengerem jumlah korban di negaranya, maka ia pun tak malu-malu untuk memakai lambang religiusitas dan aksi berwarna militeristik.

Yang pertama ditujukan untuk memobilisasi dukungan basis massa bawah dan menengah dari kalangan ultra konservatif, dan yang kedua menciptakan citra penimpin yang keras, tegas, dan membela gakkum dan ketenangan publik (Law and Order). Bukan tidak mungkin bahwa dalam situasi krisis seperti sekarang ini di AS, kedua pendekatan tersebut mampu menarik kembali dukungan para pemilihnya yang kini mulai menurun. Bahkan di kalangan partainya sendiri, Partai Republik, konon, sudah terjadi perubahan pandangan terhadap Trump.

Pemilihan narasi dan citra religiusitas yang dipilih sebagai strategi komunikasi politik oleh Trump, kendati mengundang kritik dari sementara kalangan pemimpin ummat Kristiani di AS, bukanlah tanpa rasionalitas politik. Sebab ia berbasis pada karakter budaya politik di AS yang, menurut sejarawan kondang Alexis de Tocqueville, ditengarai punya akar keagamaan yang kuat. Nilai agama adalah salah satu landasan di atas mana institusi politik Amerika dibangun oleh masyarakat sipilnya.

Dalam situasi krisis, termasuk krisis kepercayaan terhadap kepemimpinannya, kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya, Trump melihat agama dan simbol-simbol ekspressi keberagamaan sebagai alat yang ampuh untuk memperkuat dan mengembalikan daya tarik politiknya.

*) Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University

Artikel Terkait