Nasional

Tambang Batu Gamping, Ancaman Krisis Lingkungan dan Kekerasan Aparat Lindungi Investor

Oleh : Mancik - Jum'at, 26/06/2020 21:30 WIB

PMKRI Cabang Ruteng dan GMNI Cabang Manggarai, melakukan aksi demonstrsi menolak renca pabrik semen dan tambang batu gambing di Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur. (Foto:Dokumen Aksi PMKRI Ruteng)

Jakarta, INDONEWS.ID - Rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur, menghadirkan perusahaan tambang semen di Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, mendapatkan penolakan keras dari Gereja Katolik Manggarai, Masyarakat setempat dan aktivis pemerhati lingkungan hidup.

Uskup Keuskupan Ruteng, Mgr Siprianus Hormat dalam prestasinya mengenai pokok-pokok pikiran tentang pembangunan NTT yang ditujukan kepada Gubernur Viktor Laiskodat, saat kunjungan kerja di Kabupaten Manggarai Raya, Rabu,(24/06)), memberikan penegasan tentang komitmen gereja Katolik Manggarai, menolak rencana investasi tambang di Lengko Lolok dan Luwuk.

Uskup Siprianus menerangkan, bumi NTT termasuk Manggarai raya, sangat kaya dengan kekayaan Sumber Daya Alam, berupa mineral pertambangan. Namun, ia menegaskan, kondisi geografis, geologis, ekologis, sosial, dan kultural masyarakat NTT, termasuk bumi Manggarai Raya, tidaklah cocok bagi pertambangan mineral seperti mangan, bijih besi, emas, dll.

"Kami mendukung keputusan bapak Gubernur untuk meninjau kembali seluruh perijinan tambang di wilayah NTT yang telah dibuat sebelumnya," jelas Uskup Siprianus dalam prestasinya.

Dalam persentasinya juga ,Uskup Siprianus, tidak hanya menyampaikan sikap sekaligus posisi Gereja Katolik Manggarai terhadap rencana invetasi tambang batu gamping di Manggarai Timur yang dinilai akan mendatangkan bencana besar dari lingkungan hidup dan keselamatan umat setempat.

Pada kesempatan tersebut, ia mengingatkan kepada Gubernur Viktor tentang potensi pertanian di Nusa Tenggara Timur. Pertanian, jelas Uskup Siprianus, merupakan mata percaharian utama masyarakat NTT, tidak terkecuali Manggarai Raya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten seharusnya lebih fokus memajukan pertanian sesuai dengan keadaan masyarakat, bukan tambang yang merusak alam lingkungan.

"Pengembangan pertanian organik yang intensif di NTT yang mendatangkan hasil ekonomis yang berkelanjutan, berwawasan ekologis, dan mendukung kesehatan manusia," ungkapnya.

Warga kampung Luwuk Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) membubuhkan tanda tangan penolakan pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping (Juni 2020) (Foto : Dokumen JPIC OFM Indonesia)

Aksi Menolak Tambang PMKRI Ruteng dan GMNI Manggarai


Sikap yang sama disampaikan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai. PMKRI Ruteng dan GMNI Manggarai dengan tegas, menolak rencana Pemda Matim dan Pemprov NTT, mendatangkan investor tambang di Lengko Lolok dan Luwuk, Lamba Leda, Manggarai Timur.

Mandataris PMKRI Cabang Ruteng, Hendrikus Mandela, dalam keterangannya, mengatakan, penolakan mereka terhadap rencana investasi tambang di Matim didasarkan dengan beberapa alasan mendasar.

Pertama adalah Peraturan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Keputusan Gubernur NTT terkait dengan moratorium tambang di NTT. Kedua adalah mayoritas masyarakat Lengko Lolok dan Luwuk yang pada umumnya adalah petani.

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, No: SK.8/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.3/ 1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. Dalam dokumen tersebut total wilayah karst mencapai 81.809 (33% dari luas kabupaten Matim).

Sementara, rencana pembagunan lokasi pabrik semen berada persis di ekosistem karst. Karena itu, kehadiran pabrik semen akan merusak wilayah karst yang ada. Kerusakan kawasan karst nantinya akan berdampak pada lingkungan dan sumber air untuk warga masyarakat.

Selain itu, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam momentum pelantikannya berjanji, akan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Nusa Tenggara Timur.

Moratorium tambang tersebut ditetapkan melalui peraturan gubernur NTT No 359/ Kep/ HK/ 2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Ijin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Provinsi NTT, yang disahkan pada tanggal 14 november 2018.

Dengan beberapa alasan tersebut, PMKRI Ruteng dan GMNI Manggarai, melakukan aksi demontrasi, menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat kepada Gubernur NTT saat melakukan kunjungan kerja di Manggarai, Rabu,(24/06) yang lalu.

Namun, Gubernur NTT tidak bersedia ditemui dan massa aksi mendapatkan perlawanan dan bahkan terjadi bentrokan dengan aparat hingga mendapatkan perlakuan represif dari pihak kepolisian yang mengawal jalannya kegiatan demonstrasi.

Berikut pernyataan sikap bersama PMKRI Ruteng dan GMNI Manggarai terhadap rencana pabrik semen dan tambang batu gamping di Manggarai Timur:

1.Mendukung pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk melanjutkan moratorium tambang di Nusa Tenggara Timur

2. Mendukung pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan pariwisata, pertanian, dan peternakan serta budaya sebagai leading sektor pembangunan di NTT

4. Mendukung penetapan pulau Flores sebagai wilayah ekoregional
Menolak tambang di Nusa Tenggara Timur

5. Mendesak pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk tidak mengeluarkan ijin eksplorasi tambang batu gamping di Lengko Lolok, desa Satar Punda, kecamatan Lamba Leda, kabupaten Manggarai Timur

6. Meminta gubernur NTT untuk menyarankan pemda Manggarai Timur agar membatalkan ijin lokasi pabrik semen di Luwuk , Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, kabupaten Manggarai Timur.

Aparat Kepolisian melakukan tindakan represif saat mengamankan aksi demonstrasi PMKRI Cabang Ruteng dan GMNI Cabang Manggarai di Reok, Rabu,(24/06/2020).

PP PMKRI Desak Kapolda NTT Copot Kapolres Manggarai dan Manggarai Timur


Menanggapi tindakan represif yang dilakukan oleh anggota Polres Manggarai Timur, Polres Manggarai dan Polisi Air terhadap massa aksi dari PMKRI Ruteng dan GMNI Manggarai, anggota Lembaga Advokasi dan HAM PP PMKRI, Felix Martuah Purba menegaskan, tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang.

PP PMKRI mengecam keras aksi represif yang dilakukan oleh anggota Polres Manggarai, Manggarai Timur, dan Polisi Air di Kecamatan Reok dalam aksi unjuk rasa tersebut.

"Apa yang dilakukan oleh aparat keamanan tersebut adalah tindakan represif yang tidak diperbolehkan secara konstitusi. Aparat keamanan dalam hal ini telah melanggar hak dan kebebasan berpendapat sebagai warga negara sebagaimana diatur dalam UU Dasar 1945 dan UU No.9 Tahun 1998 Pasal 2," jelas Felix.

Terhadap aksi kekerasan yang dilakukan anggota Polres Manggarai dan Manggarai Timur serta keterlibatan Polisi Air dalam pengamanan aksi unjuk rasa, Rabu,(24/06), Pengurus Pusat PMKRI mendesak Kapolda NTT untuk segera mencopot Kapolres Manggarai dan Manggarai Timur.

"Kami minta Kapolda NTT segera mencopot Kapolres Manggarai dan Manggarai Timur. Kedua Kapolres ini telah membiarkan anggotanya untuk mengangkangi hak dan kebebasan berpendapat dari masyarakat," tegasnya.

Sementara itu, Servas Jemorang, Ketua Lembaga Kajian Pengembangan SDM PP PMKRI, menyayangkan keterlibatan Polisi Air dalam pengamanan aksi unjuk rasa tersebut.

Ia menganggap, Kapolres Manggarai sudah dengan sengaja melibatkan mereka. Karena Polisi Air terlihat dengan pakaian lengkap dan sangat aktif dalam menghadang massa aksi.

"Aneh. Kok tiba-tiba ada Polisi Air, dengan seragam lengkap berwarna biru begitu aktif melakukan penghadangan terhadap massa aksi. Inikan menyalahi Tupoksi mereka sebagai Polisi yang bertugas di wilayah perairan. Berarti ada kesengajaan mengabaikan Tupoksi yang dilakukan oleh Kapolres Manggarai," ujar Servas.

Mantan Ketua PMKRI Ruteng ini meminta Kapolda NTT untuk mencopot Kapolres Manggarai, karena dinilai sengaja menugaskan Polisi Air untuk mengamankan aksi unjuk rasa pada Rabu, 24 Juni 2020 di Kecamatan Reok.

"Yah, Kapolresnya harus dicopot. Sudah sengaja menyalahi Tupoksi itu. Dimana-mana saya kira, Polisi Air tak pernah terlibat dalam urusan di wilayah daratan. Apalagi pengamanan aksi yang sudah jelas bukan tugas mereka," tutupnya.*

Artikel Terkait